Oleh: Ronald Reagen
“The Times 03/Jan/2009 Chancellor on brink of second bailout for banks.”
—Genesis Block, Bitcoin
Ketika Satoshi Nakamoto menanamkan kalimat itu dalam blok pertama Bitcoin, ia sedang menulis sebuah manifesto. Bukan manifesto dalam bentuk pamflet politik, melainkan dalam bentuk kode—sebuah blok digital yang jadi fondasi revolusi moneter terbesar abad ini. Bitcoin lahir bukan hanya sebagai alternatif teknologi, melainkan sebagai bentuk protes, sebagai counter-narrative terhadap sistem keuangan global yang disfungsional.
Sistem keuangan yang gagal menahan krisis, namun begitu cepat menyelamatkan lembaga-lembaga keuangannya sendiri, mencerminkan struktur kekuasaan yang timpang. Rakyat menanggung beban inflasi, pengangguran, dan kehilangan rumah. Bank—simbol kapitalisme keuangan modern—disuntik dana oleh negara, bukan karena layak, tapi karena terlalu besar untuk gagal (too big to fail).
Dalam konteks inilah Bitcoin muncul. Ia bukan hanya alat tukar, tetapi kode etika baru: anti-sentralisasi, anti-inflasi, dan anti-otoritarianisme. Ia dijanjikan sebagai uang milik semua orang, bukan uang yang tunduk pada pemerintah, bank sentral, atau elite ekonomi. Sebuah cita-cita tentang demokratisasi nilai.
Namun dua dekade berlalu, dan yang terjadi sungguh menggelikan: Bitcoin kini bukan lagi alat pemberdayaan, melainkan aset spekulatif. Bukan lagi senjata rakyat kecil, melainkan tameng kekayaan baru bagi mereka yang paham lebih dulu dan punya akses lebih besar. Ironi revolusi ini tak hanya terasa, tapi terlihat jelas: Bitcoin, yang dirancang untuk menantang kekuasaan terpusat, kini dikuasai oleh mereka yang paling mapan dalam struktur lama.
Kapitalisme Beradaptasi
Masalahnya bukan pada teknologi. Blockchain tetap netral. Algoritma Bitcoin tetap transparan. Yang berubah adalah konteks sosial-ekonomi tempat ia hidup. Seperti setiap teknologi revolusioner dalam sejarah, dari mesin cetak hingga internet. Bitcoin pun akhirnya dikooptasi. Kapitalisme, seperti biasa, tak memusuhi teknologi. Ia memeluknya, lalu menjadikannya alat reproduksi kuasa yang lebih halus dan tersembunyi.
Dulu, revolusi informasi dijanjikan akan membebaskan manusia dari ketidaktahuan. Hari ini, data dijadikan komoditas, dan algoritma mengatur pilihan hidup kita. Dulu, internet dijanjikan akan menyambungkan manusia dalam kesetaraan. Hari ini, koneksi berarti kekayaan: siapa yang punya infrastruktur, dialah yang menang.
Bitcoin mengalami nasib serupa. Ia menjadi alat investasi, bukan transaksi. Ia menjadi kendaraan akumulasi, bukan desentralisasi. Ia tak lagi membicarakan keadilan, hanya profitabilitas.
Rakyat dan Diskursus
Sementara para pemain besar mengumpulkan BTC dalam skala besar, publik masih berkutat di lapisan permukaan: apakah Bitcoin halal atau haram? Apakah ia teknologi penyelamat, atau skema ponzi terselubung? Apakah konsumsi listriknya etis, atau justru ancaman ekologis?
Pertanyaan-pertanyaan ini valid. Tapi terlalu lama kita terjebak dalam diskursus normatif, sementara pasar bergerak dalam logika akumulasi yang konkret. Kita mendiskusikan prinsip, sementara para elite membeli aset. Kita meragukan nilai, sementara mereka memperkuat kontrol. Seperti biasa, ketimpangan bukan lahir dari niat jahat, tapi dari perbedaan kecepatan memahami dan bertindak.
Dan yang paling menyakitkan: sistem yang diciptakan untuk “semua orang” ternyata tetap tunduk pada hukum lama, siapa yang punya modal lebih besar, akan menang lebih cepat. Siapa yang tahu lebih dulu, akan menguasai lebih luas.
Revolusi yang Dikhianati? Atau Sekadar Ilusi dari Awal?
Pertanyaan penting yang harus diajukan sekarang adalah ini: apakah benar Bitcoin pernah menjadi harapan? Ataukah kita hanya memproyeksikan ilusi ke atas teknologi yang sejak awal tak pernah netral secara sosial?
Apakah mungkin ada bentuk uang yang benar-benar membebaskan, jika ketimpangan sosial-ekonomi tidak dibereskan lebih dulu? Apakah desentralisasi digital cukup kuat melawan konsolidasi kekuasaan yang begitu mengakar?
Bitcoin hari ini berdiri di persimpangan: antara mitos dan kenyataan. Ia bisa tetap menjadi simbol perlawanan, jika akses terhadap literasi finansial dan digital benar-benar didemokratisasi. Tapi jika tidak, maka ia hanya akan jadi cerita klasik: bahwa setiap revolusi, jika tak dijaga, akan dikapitalisasi oleh mereka yang paling siap untuk mengeksploitasinya.
Bangun dari Tidur
Genesis Block adalah peringatan. Ia bukan hanya awal, tapi juga alarm. Kita sedang menyaksikan bagaimana teknologi yang diciptakan untuk membebaskan, perlahan berubah menjadi simbol dominasi baru.
Kalau kita tak bergerak, tak belajar, dan tak merebut kembali ruang yang dulu dijanjikan sebagai milik kita, maka kita tak lebih dari penonton sejarah. Dan Bitcoin, bukannya menjadi “uang rakyat”, justru akan menjadi artefak digital dari ironi terbesar abad ini: bahwa bahkan ketika kita diberi alat untuk merdeka, kita tetap bisa diperbudak ulang—oleh ketidaktahuan, kelambatan, dan pasifnya kesadaran kolektif.
Penulis adalah Founder DCInd. Corp serta aktiv di komunitas Dilarang Gondrong