Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE
Berita Terkini

Antara Panda dan Garuda

Di saat universitas-universitas China semakin mendominasi peringkat global, dunia menyambutnya dengan campuran kekaguman dan kecurigaan. Tsinghua, Peking, dan Zhejiang kini meroket dalam QS World University Rankings 2025, menyalip Yale dan Columbia dalam hal produktivitas ilmiah. Nature Index 2024 bahkan menobatkan China sebagai negara dengan jumlah artikel terbanyak di jurnal-jurnal paling bergengsi seperti Nature dan Science.

Namun anehnya, di ruang publik internasional, suara ilmuwan China tetap samar. Mereka unggul secara angka, tapi tak tampak dominan dalam diskursus global. Mengapa? Apakah penelitian penting mereka dikunci oleh negara?

Sejak diberlakukannya Data Security Law (2021) dan revisi Science and Technology Progress Law (2022), China mengunci sebagian besar riset strategisnya. Inovasi dalam kecerdasan buatan, teknologi kuantum, militer, hingga genetika diklasifikasikan sebagai milik negara. China seolah-olah anti sains, tapi saya pikir ini murni strategi geopolitik yang sedang diterapkan. Ilmu dijaga seperti senjata. Memungkinkan bagi China,b pengetahuan adalah alat kedaulatan negara, publikasi hanya turunan dari fungsi pengetahuan

Menurut MERICS (2025), kementerian sains di China bahkan mulai diubah menjadi struktur numerik seperti unit militer. Platform riset nasional seperti CNKI dijatuhi denda miliaran karena dianggap terlalu dominan dalam mengatur akses data. Ini bukan dunia akademik yang terbuka, tapi sistem riset yang dibentuk demi misi nasional. 

Tentu, sistem itu juga bukan tanpa celah. Sensor politik dan pembungkaman terhadap peneliti humaniora tetap menjadi noda serius dalam lanskap keilmuan mereka. Tapi arah mereka jelas yakni riset untuk negara.

Bagaimana dengan kita?

Indonesia tidak menyembunyikan riset karena strategis. Kita menyembunyikannya karena malu ( boleh tertawa😂),  Karena isinya kadang tidak layak dibaca. Sistem riset kita bukanlah mesin negara, melainkan mesin angka kredit. Akademisi lebih sibuk mengejar akreditasi, bukan kebenaran. Lebih fokus pada jumlah publikasi, bukan pada makna temuan.

Dalam laporan Komnas HAM (2023), ditemukan bahwa 37% dosen di perguruan tinggi negeri pernah terlibat pelanggaran etik;  dari plagiat, manipulasi data, hingga pemalsuan hasil. LIPI Watch (2021) menyatakan 40% jurnal SINTA tak memenuhi standar peer review. Riset bukan dilandasi panggilan intelektual, tapi formalitas. Kampus bukan tempat eksplorasi ide, tapi biro jasa pendidikan.

Di satu sisi, China menyensor karena takut hasilnya dicuri. Kita mempublikasikan semua demi kejar skor SINTA, bahkan saat isi risetnya disusun dengan Google Translate atau jasa penulisan skripsi online.

Di tangan China, ilmu menjadi senjata. Di tangan kita, ilmu menjadi stempel. Ilmuwan di sana menjadi arsitek kebijakan. Di sini, mereka menjadi pegawai yang sibuk mengejar potensi penelitian ( ini hanya kecurigaan).

Kita boleh berpendapat tidak semua akademisi kita buruk. Mungkin Masih banyak akademisi jujur, cerdas, dan berani. Tapi mereka menjadi bagian mayoritas hening,  bekerja dalam sistem yang tidak mendukung keberadaan nilai yang mereka pegang.

Lalu kita mau ke mana?

Barat mempertahankan sistem terbuka dan meritokratis. China memilih jalan tertutup dan sentralistik. Keduanya punya logika. Keduanya punya hasil. Keduanya sama-sama punya ambisi besar untuk memimpin lokomotif peradaban.

 Indonesia? Kita justru mengambang ( Setidaknya sampai hari ini) kita baru berani mengambil slogan kemajuan,. Kita masih coba-coba meritokratis, masih coba-coba  strategis. Dan masih berusaha keras untuk menyisir celah-celah diantara tembok  birokratis. 

Bisa jadi ini akar masalah kita. Kita tidak punya arah. Kampus masih berorientasi akreditasi, rebut-rebutan jumlah peserta dan angka kelulusan. Ilmu ditangan kita seperti peliharaan yang kekurangan nyawa.  Sialnya kita tahu semua ini keliru, tapi terus melakukannya.

Maka reformasi riset tak cukup hanya dengan dana. Kita perlu revolusi cara berpikir. Bahwa publikasi bukan tujuan. Bahwa indeks tidak sama dengan kebenaran. Dan bahwa kampus bukan biro pengurusan jabatan, melainkan medan tempur gagasan.

Kita tidak harus jadi seperti Panda. Tapi juga tak bisa terus jadi Garuda yang terbang melambai tanpa tahu ke mana arahnya.

 Daftar Pustaka

QS Quacquarelli Symonds. (2025). QS World University Rankings 2025. https://www.topuniversities.com

Nature Index. (2024). Annual Tables 2024: Research output rankings. https://www.nature.com/nature-index

MERICS. (2025). Greater secrecy in science and tech makes China’s progress harder to decipher. https://merics.org

China National People’s Congress. (2021). Data Security Law of the People's Republic of China.

Cambridge University Press. (2017). Academic Censorship in China: The Case of The China Quarterly.

Komnas HAM. (2023). Laporan Tahunan Pelanggaran Etika Akademik di Perguruan Tinggi.

LIPI Watch. (2021). Laporan Kualitas Jurnal Ilmiah di Indonesia.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI. (2024). Laporan Alokasi Dana Riset Nasional.

Detik.com. (2022). Kasus Dosen Jiplak Skripsi Mahasiswa Terjadi Lagi.