Menjelang HUT RI ke-80: Antara Harapan dan Ancaman Masa Depan Bangsa
Oleh: Saeed Kamyabi, Indarung, 25 Juli 2025
Jika kita jujur bertanya: "Apa sebenarnya yang menghalangi para pemimpin negeri ini—dari menteri sampai wali kota, dari gubernur sampai bupati—untuk serius memperhatikan pendidikan karakter dan spiritual rakyatnya?"
Jawabannya tidak sesederhana birokrasi. Tidak pula hanya karena kurangnya dana. Kemungkinan besar, yang menghalangi itu adalah ketakutan kehilangan kendali, dan dalam sebagian kasus, ketakutan kehilangan keuntungan pribadi/kelompok.
Mengapa?
Karena pemerintahan yang membangun rakyatnya menjadi cerdas, sadar, dan takut kepada Allah, adalah pemerintahan yang harus transparan, jujur, dan tidak bisa main-main.
Jika rakyatnya cerdas dan jujur, maka mereka tidak bisa lagi ditipu oleh janji politik. Jika rakyatnya taat agama, maka mereka tidak akan diam melihat pemimpinnya zalim.
Maka, sebagian dari mereka lebih suka rakyat yang pasif. Yang sibuk bertahan hidup. Yang malas berpikir. Yang takut tapi tidak taat.
Kita harus jujur mengakui: anggaran pendidikan kita memang ada. Tapi lihat bagaimana alokasinya. Pada tahun 2024, anggaran pendidikan nasional mencapai Rp 660 triliun, sebuah angka yang tampaknya besar. Tapi lihatlah lebih dekat — mayoritasnya habis untuk membayar gaji pegawai, infrastruktur fisik, dan proyek proyek besar yang jarang menyentuh isi hati anak-anak.
Pendidikan agama? Tak lebih dari 5-6% dari total anggaran pendidikan nasional. Itu pun banyak yang hanya bersifat administratif, bukan pembinaan ruhani. Sementara pelatihan karakter, pembinaan iman, pendidikan akhlak, pembangunan adab? Hampir nihil. Tidak dianggap penting.
Padahal semua tahu: hasil dari pendidikan agama yang benar adalah kejujuran, kedisiplinan, kesabaran, kesetiaan, semangat kerja, keterampilan, dan kebersamaan. Tapi sayangnya, banyak yang hanya ingin hasilnya tanpa mau menjalani prosesnya.
Mereka ingin rakyatnya jujur, tapi tidak mau memasukkan pelajaran takut kepada Allah dalam kurikulum.
Mereka ingin rakyatnya taat hukum, tapi tidak mau menanamkan iman yang membuat manusia tunduk meski tak diawasi.
Mereka ingin pemuda yang tangguh, tapi tidak pernah diajari sujud dan sabar sejak kecil.
Padahal, jika pemuda hari ini lemah — tidak tahan godaan, tidak kuat mental, tidak peduli agama, tidak tahu sejarah — maka negeri ini tinggal menunggu waktu untuk runtuh.
Dan jika suatu saat penjajah datang kembali — dalam bentuk asing yang membeli tanah, menguasai sumber daya, menyetir kebijakan, dan melemahkan identitas bangsa — maka tak ada lagi benteng yang bisa membela negeri ini. Karena benteng sejati bukan senjata. Bentengnya adalah hati yang beriman, dan jiwa yang merdeka.
Indonesia boleh saja punya program besar bernama "Indonesia Emas 2045." Tapi izinkan saya menyampaikan ramalan yang pahit: Indonesia emas akan menjadi tembaga usang, jika pemerintah dan rakyat tidak pernah bersepakat tentang arah masa depan bangsa.
Jika yang satu bicara pembangunan fisik, yang lain bicara tentang perut, dan tak ada yang bicara tentang hati.
Jika masjid dan sekolah agama dianggap pinggiran, dan mall serta pabrik dianggap kemajuan.
Maka menjelang ulang tahun kemerdekaan ke-80 Republik ini, mari kita tanyakan kembali: Merdeka dari apa?
Apakah kita sudah merdeka dari kebodohan, dari kemalasan, dari kedangkalan iman?
Usul saya inilah solusinya.
Bukan proyek besar. Bukan infrastruktur raksasa. Tapi gerakan nasional bangun jiwa bangsa. (GNBJB)
1. Masukkan pendidikan iman, akhlak, dan adab dalam setiap jenjang pendidikan — dari PAUD hingga kampus.
2. Berikan pelatihan spiritual kepada guru-guru. Jadikan mereka pembina hati, bukan hanya pengisi absen.
3. Bangun sekolah berbasis karakter, bukan hanya prestasi akademik.
4. Berdayakan masjid sebagai pusat pembinaan generasi, bukan hanya tempat salat.
5. Ajak keluarga kembali kepada tanggung jawab mendidik anak, bukan hanya menyerahkannya ke sekolah.
6. Evaluasi ulang anggaran: tambah proporsi untuk pendidikan agama dan pembinaan karakter.
7. Libatkan tokoh agama, tokoh adat, dan pemuda dalam merancang masa depan bangsa.
Jika solusi ini dijalankan, maka kita tidak hanya membangun jalan dan gedung. Tapi kita membangun manusia. Dan manusia yang dibangun dengan iman, akan menciptakan negeri yang benar-benar merdeka — bukan sekadar bebas, tapi juga berkualitas.
Sungguh, bangsa ini tidak miskin uang. Tidak miskin daratan, tidak miskin lautan...Tapi miskin arah.
Arah itu hanya bisa kembali, jika kita kembali pada suara hati nurani yang sejujurnya, karena suara hati akan berbisik:
Bangunlah jiwanya... baru bangun badannya....
Indarung, 25 Juli 2025
Penulis Buku Menyingkap Tabir Rahasia Homeschooling

