Dalam sistem pemerintahan yang sehat dan demokratis, asas meritokrasi adalah pilar utama dalam pengangkatan pejabat publik. Prinsip ini pula yang menjadi semangat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), di mana integritas, kompetensi, dan kinerja menjadi tolak ukur utama—bukan latar belakang hubungan pribadi atau kekerabatan.
Wali Kota Bengkulu, Dedy Wahyudi, belakangan menjadi sorotan karena mengangkat salah satu kerabatnya dalam jabatan strategis di lingkungan Pemerintah Kota. Namun alih-alih bersandar pada asumsi negatif, publik seharusnya melihat fakta yang lebih objektif: bahwa pengangkatan tersebut dilakukan atas dasar profesionalisme, rekam jejak, dan kemampuan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kinerja Pemerintah Kota Bengkulu dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kemajuan signifikan. Program-program pro-rakyat seperti gerakan sedekah, peningkatan pelayanan publik, dan tata kelola birokrasi yang lebih transparan telah mendapat apresiasi luas dari masyarakat. Capaian ini tentu bukan hasil kerja satu orang, melainkan kolaborasi seluruh jajaran, termasuk para pejabat yang dipilih secara cermat dan selektif oleh kepala daerah.
Tidak ada aturan dalam sistem merit yang melarang kepala daerah mengangkat kerabatnya apabila memenuhi syarat kompetensi dan melalui proses yang sah. Tuduhan nepotisme tidak relevan ketika yang bersangkutan menunjukkan kinerja yang sejalan dengan visi kepala daerah dan mampu memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan daerah.
Sudah saatnya publik lebih bijak dalam menilai, membedakan antara nepotisme yang koruptif dan penempatan orang yang memang layak berdasarkan kapabilitas. Ketika pejabat yang diangkat mampu membuktikan diri dengan hasil kerja dan loyalitas terhadap kepentingan publik, maka semestinya mereka mendapat dukungan, bukan prasangka.
Wali Kota Dedy Wahyudi telah mengambil langkah yang tidak hanya sah secara hukum, tapi juga relevan secara etika pemerintahan: menempatkan orang yang tepat di posisi yang tepat, tanpa mengabaikan aturan dan prinsip meritokrasi. Langkah ini layak diapresiasi dan dijadikan contoh bahwa reformasi birokrasi bisa berjalan beriringan dengan nilai kekeluargaan, selama profesionalisme tetap menjadi panglima.