Oleh : Ronald Reagen
Siapa itu Homo Deus? Atau barangkali, apakah aku sendiri adalah seorang Homo Deus? Pertanyaan ini bisa jadi hanya gema lain dari pertanyaan purba yang pernah diajukan Socrates: “Siapa saya?”
Tentu saja, Homo Deus yang kumaksud di sini mungkin beririsan dengan gagasan Yuval Noah Harari dalam bukunya yang terkenal, Homo Deus, tapi juga bisa jadi tidak sama sekali. Aku sedang membangun anasir ulang—menempatkan Homo Deus sebagai kerangka dalam arsitektur kepemimpinan; sebuah kebutuhan mendesak akan sosok yang melampaui batas-batas biasa Homo Sapiens.
Manusia—dalam bentuknya yang umum, Homo Sapiens—telah terlalu sering gagal. Kita berakhir dalam pepatah tua: homo homini lupus—manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Itikad hanya muncul untuk membahagiakan kulitnya saja, tunduk dalam adagium: Simulo ergo sum. Maka tak heran, rakyat Indonesia sejak lama menyimpan harapan akan hadirnya Ratu Adil—figur mistikal yang mewakili keadilan sejati, yang mereka yakini sebagai satu-satunya yang mampu membawa kebahagiaan.
Ratu Adil adalah Homo Deus: setengah dewa, setengah manusia. Sebuah oasis bagi para musafir sosial, bagi golongan Sapiens yang telah turun tahta menjadi sudra.
Namun, harapan akan hadirnya Homo Deus membutuhkan wadah—inkarnasi nyata dari janji-janji langit. Setelah sekian lama menetap di nirwana, Homo Deus harus menjelma dalam tubuh sahaya, tubuh Sapiens.
Sayangnya, ingatan kita tidak dilengkapi GPS spiritual. Tidak ada penanda pasti dalam sejarah Nusantara yang mampu memetakan jejak Homo Deus. Kita hanya tahu janjinya: bahwa ia akan hadir ke dunia fana dan memimpin bangsa menuju kesejahteraan merata.
Prabu Jayabaya, lewat ramalan-ramalannya, seperti melempar kutukan kepada kelas bawah—sudra, proletar, lumpen—untuk terus menggali ingatan itu. Ramalan itu diwariskan turun-temurun, disakralkan oleh dukun, disiarkan oleh tukang tenung, dilestarikan oleh dongeng.
Namun, Jayabaya tak pernah meramalkan bahwa pada suatu masa, Sapiens akan menciptakan segalanya sendiri. Bahwa mereka akan menjadi Tuhan dalam bentuk lain. Di sinilah muncul pertanyaan penting: apakah mitos masih cukup, ketika teknologi kini mampu menciptakan keajaiban yang dulunya hanya milik dewa?
Di dunia lain—di Eropa, di Amerika—Homo Sapiens tak lagi menunggu. Mereka ber-evolusi. Mereka mencipta. Mereka membuat AI yang bisa membangkitkan hasrat, yang bisa memasak, bahkan yang bisa mengkloning ulang George Washington dan Marilyn Monroe. Mereka membangun bahtera—bukan di laut, tapi di langit—menuju Mars, menuju koloni masa depan. Mereka menjalani proyek Homo Deus melalui nalar, bukan mitos.
Di sisi ini bumi, bagaimana nasib Sapiens Indonesia? Naikkah kelasnya menjadi Homo Deus, atau justru jatuh lebih dalam menjadi sudra?
Ceritanya panjang. Yang pasti, Sapiens Indonesia adalah makhluk mistikal—makhluk yang lebih suka menunggu dan percaya. Satu-satunya golongan yang cerdik sekaligus picik adalah para politisinya.
Ratu Adil, Homo Deus, Athena, atau Mesias—di tangan politisi, semuanya menjadi komoditas. Mitos dijual dalam kemasan media. Sosok dibentuk dengan polesan drama: aktor masuk gorong-gorong, pakai baju sederhana dua warna—hitam dan putih—badan kurus, logat desa. Maka digemalah suasana: “Itulah dia, Ratu Adil kita!”
Bisa jadi memang benar—bisa jadi itu Homo Deus juga. Kita tak menutup kemungkinan. Namun harus diingat: Homo Deus adalah darah campuran. Darah mana yang lebih dominan? Dewa atau manusia?
Di titik ini, kita butuh satu kehati-hatian kolektif: apakah kita sedang menyambut pemimpin yang benar-benar mewujudkan kebajikan transenden, atau sekadar versi upgrade dari citra kampanye yang dikemas lebih dalam mistik?
Sejak era Sukarno hingga Prabowo, ingatan akan eksistensi Homo Deus tak pernah benar-benar mati. Rakyat menunggu, berdoa, berharap. Tapi belum juga sejahtera. Yang paling sejahtera justru para politisi, karena mereka paling cakap memainkan mitos.
Homo Deus, Ratu Adil—mereka adalah harapan yang dikapitalisasi.
Karena kata-kata seperti "tegas, adil, amanah, religius" adalah mantra wajib setiap musim Pemilu. Maka bersyukurlah para politisi. Karena tanpa dongeng Homo Deus, tak ada papan reklame untuk menuliskan kebohongan mereka.
Namun pertanyaan yang tersisa untuk kita, bangsa mistikal ini:
Apakah kita akan terus menunggu, atau mulai mencipta?
Penulis adalah Founder DCBInd, Menaungi Brand Dcendolin dan Teheula, Tinggal di Bandung
