Oleh: Ronald Reagen
Pembaca karya Plato, khususnya Phaedo dan Republik, tentu tak asing dengan istilah Dataran Lethe. Dataran Lethe, secara singkat, adalah tempat di mana manusia melupakan kesadaran lamanya dan menemukan kesadaran baru. Dalam mitologi Yunani, Lethe adalah salah satu sungai di dunia bawah (Hades). Siapa pun yang meminum airnya akan melupakan seluruh kesadaran awalnya. Ia akan berinkarnasi menjadi pribadi baru, dengan kesadaran yang baru pula. Apa yang ia ketahui tentang kebenaran, penderitaan, dan cinta—semuanya hilang, digantikan oleh kehidupan baru yang mungkin membuatnya lupa bahwa ia pernah menjadi manusia.
Kini, sungai Lethe tak lagi mengalir di alam baka mitologis. Ia mengalir di sekitar kita, menjelma dalam bentuk kekuasaan: airnya adalah pengaruh, status sosial, dan akses. Siapa pun yang kerap meneguknya bisa lupa diri—bahkan bisa melahirkan wujud aslinya yang tersembunyi. Tak peduli siapa: akademisi, politisi—semua bisa tenggelam dalam arus Lethe.
Cobalah tengok: seseorang yang dulunya lantang menggugat ketimpangan, menghitung kerusakan sistem, dan mengobarkan kritik dari podium kampus, rapat rakyat, hingga kolom opini. Tapi semua itu memudar ketika pintu istana dibuka. Semangat mengubah sistem "dari dalam" terdengar mulia, hingga perjamuan kekuasaan digelar. Saat itu, gelas Lethe diangkat dengan manis, ditawarkan hangat:
“Minumlah—ini dunia barumu.”
Lalu waktu datang menghukum. Ia lupa berapa ribu kritik pernah ia suarakan. Kini, kritik baginya adalah gangguan, fitnah, bahkan "ditunggangi." Ia berubah menjadi penjaga pintu kekuasaan, menyerang siapa pun yang mengusik kenyamanan istana. Saat ditanya kenapa sistem tak kunjung berubah sejak ia berada di dalamnya? Ia menjawab:
“Tidak semudah itu.”
Mantra Lethe telah bekerja. Airnya kini mengalir deras di tubuhnya.
Namun, tak semua intelektual sudi meminum air Lethe. Ada yang tetap berdiri tegak meski berada di tengah istana. Mereka seolah pura-pura lupa, tapi sejatinya menolak lupa. Mereka tahu, sistem bukan hanya tempat mengubah kebijakan, tapi juga arena yang perlahan mengubah siapa kita. Dan Lethe bekerja paling efektif saat kita tak sadar sedang meminumnya.
Setiap zaman selalu melahirkan surplus orang pintar. Tapi juga, selalu surplus orang-orang yang lupa. Kita butuh mereka yang bukan hanya pintar, tapi juga ingat dari mana ia berasal. Yang menyadari bahwa ilmu bukan untuk mengabdi pada penguasa—melainkan untuk mengganggu kenyamanan kekuasaan.
Kita semua, mungkin di suatu titik, pernah berdiri di tepi Lethe. Bermain dengan alirannya. Mungkin tergoda untuk meneguknya. Maka pertanyaan yang penting bukan hanya:
“Siapa yang minum?”
Tapi:
“Siapa yang sadar bahwa dirinya sedang haus?”
Pada akhirnya, kita harus berjanji pada diri sendiri dan kepada siapa pun:
“Jangan percaya pada siapa pun yang bicara soal perubahan, tapi tak siap kehilangan posisi.”
Karena bisa jadi, mereka bukan agen perubahan—mereka hanya berenang di Lethe.
Bandung cerah, Juni 2025.