Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Harapan

Oleh; Ronald Reagen

Harapan, kalimat  sederhana, namun di baliknya tersembunyi beban sejarah, luka, dan mimpi kolektif umat manusia. Kata ini lahir bukan dari kenyataan yang manis, tapi justru dari kegagalan, dari kekalahan yang berulang. Kita mengenalnya bukan karena kita hidup dalam damai, tapi karena kita berkali-kali dihadapkan pada jurang kehancuran dan masih ingin hidup esok hari, dan melanjutkan cita-cita, maka istilah " Harapan" lahir menuntun.

Harapan bukan sekadar optimisme hampa. Ia adalah bentuk pertahanan terakhir manusia ketika kenyataan kehilangan makna. Ia muncul diam-diam, mengetuk pintu imajinasi, menyelinap ke dada yang sesak, lalu berkata: “Masih ada kemungkinan.”

Anehnya, harapan juga bisa berubah bentuk. Ia tidak selalu hadir sebagai penyembuh. Ia bisa menjelma menjadi stimulus peradaban ,mendorong manusia mencipta lebih banyak, menaklukkan lebih luas, dan membunuh lebih rapi. Kepemilihan manusia atas harapan berubah menjadi banyak bentuk,  Ia bisa berpihak, bahkan menjadi topeng dari kerakusan, kehendak untuk berkuasa, atau sekadar pelarian dari kenyataan yang tidak bisa diterima.

Demikianlah harapan bagi Jana Zawahra, seorang anak kecil di Jub-Eltib, Palestina, sebelah timur kota Betlehem. Tangis harapan membasahi debu sekolahnya yang hancur dibombardir oleh militer Israel. Ia kehilangan ruang belajar, namun bukan sekadar kehilangan bangunan. Ia kehilangan tempat untuk percaya bahwa perdamaian bisa dihafal, bisa dibaca, bisa diajarkan. Kini, yang tersisa hanyalah potongan teks yang ikut terbakar. Ia terpaksa menekan waktu demi menghafal ayat-ayat damai dari buku. Ya,  Jana menemukan istilah " Harapan" pada perdamaian di teks yang dia baca lalu terbang menjadi abu, bisa jadi harapannga tidak - Menjadi- memeluknya di kehidupan ini.

Jana bukan satu-satunya. Ibtisam Sami juga tertawa di sekolahnya, meski tetangganya adalah senapan dan granat. Ia tetap bermain, meski tawa itu bisa kapan saja diinterupsi oleh ledakan. Harapan mereka tumbuh di tempat paling brutal penuh dengan kekacauan, di tengah reruntuhan, di sela peluru, di antara serpihan tubuh dan bau mesiu. Dan barangkali justru di situlah harapan menjadi paling nyata bukan di ruang seminar, bukan di meja negosiasi, tapi di dada anak-anak kecil yang tak pernah diminta lahir di medan perang. Mereka betul-betul sedang membangun harapan bermain dan tertawa lepas di antara tumpahan ludah para politisi.

Sementara itu, kita, yang hidup jauh dari zona konflik, sedang bermesraan dengan realita, sambil berbincang tentang cinta universal. Kita bicara tentang kemanusiaan seperti mengucap salam. Tapi barangkali kita belum tahu apa itu cinta yang dipaksa bertahan di bawah tanah. Kita belum mengerti harapan yang disusun dari batu bata yang basah oleh darah. Paru-paru kita belum pernah merasakan debu runtuhan akibat mortir. Paru-paru baru tahu asap rokok, asap pabrik dan gas buangan kendaraan. 

" Itulah sebabnya solidaritas kita mudah lelah. Kita paham penderitaan sebagai teori, bisa jadi kita takut pasa pengalamannya"

Anak-anak Aleppo tidak diberi ruang untuk bercita-cita. Mereka tidak menulis karangan tentang masa depan, tapi tentang cara menghindar dari drone dan bom. Mereka tidak mengenal kata "libur", hanya tahu kata "lolos". Tapi mereka tetap bermain. Tetap menyusun mimpi dari batu-batu yang pernah dipakai sebagai kuburan darurat. Harapan mereka bukan berasal dari janji politisi atau deklarasi PBB, tapi dari sisa-sisa keberanian untuk tetap tertawa.

Kita ingat dalam tulisan Plato yang melukiskan kematian Socrates. Dalam pilihan untuk menenggak racun, Socrates membrikan pelajaran terakhir untuk masa depan.Ia sedang mengukuhkan harapan bahwa suatu hari nanti, kejujuran akan lebih berharga dari kesenangan.

 Harapan bukan hanya milik mereka yang tertindas. Ia milik siapa pun yang menolak tunduk pada kebohongan, siapa pun yang tetap bicara meski tahu itu bisa berujung maut. Di sanalah harapan menjadi bentuk keberanian tertinggi sebuah keyakinan bahwa kebenaran lebih abadi dari tubuh. Walaupun saya percaya seorang pembohong pun adalah seseorang yang sedang membangun harapan pada kebohongan yang dia ciptakan 

Namun dunia modern membungkus harapan dalam banyak rupa. Perang pun kini hadir atas nama harapan. Harapan untuk membebaskan, untuk menyelamatkan, untuk menyejahterakan. Tapi harapan yang dipakai untuk membunuh, masihkah bisa kita sebut harapan? Industri bahan bakar fosil terus merusak bumi, namun tetap dilindungi. Atas nama apa? Harapan akan kemajuan. Harapan akan stabilitas ekonomi. Harapan akan pertumbuhan nasional. Bahkan bencana bisa dibenarkan jika ada “harapan” di baliknya, setidaknya masih ada celah untuk mencuri uang bantuan, demi memenuhi harapan istri di rumah akan kemewahan.

Di ruang-ruang intelektual, perdebatan pun berlangsung atas nama harapan. Mazhab melawan mazhab. Teori melawan teori. Ego melawan ego. Semua mengaku membawa cahaya. Semua merasa paling tahu, paling sahih, paling suci. Kita saling membantai dengan diksi, membakar dengan referensi. Kita menyebutnya diskursus, tapi kadang yang sebenarnya terjadi adalah pemakaman akal sehat, dimana harapan mendikte kita agar lebih unggul dalam argumen.

Dalam seluruh percakapan tentang harapan ini, ada satu benang merah yang tidak bisa kita hapus, yaitu  cinta. Tapi cinta yang bagaimana? Cinta yang memeluk atau cinta yang menaklukkan? Cinta yang merawat atau cinta yang memaksakan? Kita sering mencampuradukkan antara cinta, harapan, dan ego. Kita bilang kita mencintai sesama, tapi tak bisa menahan tangan saat ingin menampar. Kita bilang kita punya harapan untuk dunia yang damai, tapi tetap mempersenjatai negara. Kita bicara tentang masa depan, tapi tetap memproduksi sistem yang tidak memungkinkan siapa pun sampai ke sana.

Maka pantas kita bertanya, harapan siapa yang sedang kita perjuangkan? Untuk siapa? Dengan cara siapa? Apakah atas nama harapan, kita menghancurkan harapan orang lain?

Harapan tumbuh bahkan dari abu. Tapi ia juga bisa tumbuh di balik tank dan pesawat tempur. Ia bisa menyala di jantung seorang anak Palestina, tapi juga bisa membara di ruang kebijakan yang merancang serangan. Harapan telah menjadi senjata yang sah dalam politik. Maka harapan bukan hanya alat bertahan, tapi juga bisa jadi alat dominasi.

Kita hidup dalam zaman yang aneh. Di mana harapan diperdebatkan, direbutkan, bahkan diperdagangkan. Harapan tak lagi gratis. Ia punya harga. Dan harga itu sering dibayar dengan nyawa.

Namun tetap saja, manusia akan terus berharap. Karena harapan adalah satu-satunya hal yang tak bisa dibom. Ia tumbuh liar. Kadang pada tempat yang salah. Kadang di dada orang yang ingin berbuat benar. Kadang pada senyum anak kecil yang belum tahu bahwa dunia tidak pernah adil, saat dia diperdagangkan secara getir melalui mafia perdagangan manusia dan bisnis prostitusi 

Dan akhirnya, kita sampai pada simpul terakhir,  bahwa atas nama harapan, kita telah membangun dan menghancurkan. Kita mencintai dan membenci. Kita tertawa dan menangis. Kita hidup dan mati.

Bukankah cinta itu sendiri adalah bentuk paling liar dan paling penuh luka dari harapan? 

Hmm saya masih berusaha mencari rasa yang paling menggetarkan dada !

Penulis Berdomisili di Bandung, Founder DCBind yang menaungi Brand Dcendolin Boba Indonesia dan Teheula.Indonesia