Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE
Berita Terkini

“Tabut Skala Langit"

Oleh: Saeed Kamyabi

PedomanBengkulu.com, Menjelang perhelatan akbar bertajuk Tabligh Akbar Indonesia Berdo’a yang akan digelar pada 28–30 November 2025 di Pantai Panjang, Bengkulu, denyut masyarakat terasa berubah. Ada harapan yang menguat, ada pula kegelisahan yang perlahan muncul ke permukaan.

Sebagai penulis yang telah menyelami denyut nadi masyarakat Bengkulu sejak 2019, saya telah menyaksikan sendiri betapa daerah ini—walau kecil di peta nasional—memiliki hati besar dan lengan terbuka. Penduduknya beragam: suku Rejang, Serawai, Lembak berpadu dengan pendatang Jawa, Sunda, Batak, Bugis, hingga Madura. Sikap mereka? Terbuka seperti masyarakat Betawi di Jakarta: hangat, penuh senyum, dan tahu cara memuliakan tamu. Tak heran jika banyak pejabat daerah bukan berasal dari suku asli—sebuah bukti bahwa Bengkulu tidak mengenal “ashobiyah”.

Namun wajar bila rencana kedatangan sejuta orang ke kota ini menuai beragam reaksi.

Yang Kontra: Kekhawatiran Akan Macet dan Beban Fasilitas

Sebagian warga mengkhawatirkan potensi kemacetan yang akan melumpuhkan kota. “Pantai Panjang itu kalau ada acara nasional saja sudah padat, apalagi ini ada jutaan orang,” ujar Pak Dedi, warga Kelurahan Berkas. Ibu Rani, seorang pedagang sayur di Pasar Panorama, mengeluh, “Jangan-jangan malah susah cari pembeli lokal, orang semua sibuk layani tamu luar.”

Kekhawatiran juga datang dari sebagian pengurus masjid. “Kalau jamaah numpuk di masjid, air bisa habis, tagihan listrik naik,” keluh seorang pengurus masjid yang tak mau disebut namanya.

Namun di balik keluh-kesah itu, ada secercah kalkulasi ekonomi yang justru membawa harapan.

Hitung-Hitungan Ekonomi: Rp100 Miliar Mengalir?

Menurut Helmi Hasan, jika satu juta peserta belanja konsumsi saja rata-rata Rp100.000 per hari, maka selama tiga hari akan terjadi perputaran uang sebesar Rp300 miliar di kota ini. Bahkan dengan asumsi konservatif satu hari belanja Rp200.000, sudah ada Rp200 miliar yang akan menggeliatkan ekonomi lokal.

Warung makan, ojek online, penginapan, laundry, pedagang asongan—semua bersiap menyambut berkah ekonomi dadakan.

Respon Masyarakat: Dari Rumah Kosong Sampai Kamar Kosong

Sambutan masyarakat Bengkulu sungguh luar biasa. Pak Haji Hilman, warga Padang Jati, bahkan menawarkan rumah kosongnya yang mampu menampung 30 orang. Ibu Nina, yang rumah baru nya yang sudah selesai dibangun, membuka pintunya untuk 20 orang. Bahkan Pak Sehmi yang hanya punya satu kamar kosong, dengan tulus berkata, “insya Allah enam orang bisa masuk kalau mau tidur beralaskan tikar, silakan.”

Inilah wajah Bengkulu yang saya kenal: ikhlas, ramah, terbuka dan suka memuliakan tamu.

Pemerintah: Total Mendukung

Pemerintah Provinsi Bengkulu di bawah komando Gubernur Helmi Hasan menunjukkan sikap yang sangat kooperatif. Sang Gubernur bahkan turun langsung menunjukkan lahan yang akan digunakan panitia di kawasan Pantai Panjang. Bersama Plt Sekda Herwan Antoni serta berbagai instansi, mulai dari Dinas Perhubungan, Dinkes, PUPR, Pariwisata, Satpol PP,  hingga unsur TNI dan POLRI. 

Pelajaran dari Martapura

Jika ada yang meragukan kesiapan Bengkulu menjadi tuan rumah bagi jutaan tamu, mungkin mereka belum menyaksikan bagaimana masyarakat Martapura menerima para peziarah dalam Haul Guru Sekumpul. Ratusan ribu bahkan sampai empat juta lebih, orang berdatangan dari seluruh Indonesia, bahkan mancanegara. 

Namun dengan gotong royong dan semangat melayani tamu Allah, acara itu selalu berjalan lancar. Warga Martapura menyambut tamu dengan hati, bukan fasilitas. Dan mentalitas itulah yang kini mulai tumbuh di Bengkulu.

Bang Ali dari Medan, dalam taushiyah semalam di Masjid Al Anshor Sukarami, mengatakan, “Pasti ada kebaikan yang Allah lihat dari kalian, kenapa Allah pilih Bengkulu sebagai tempat Ijtima Dunia.”

Bukan Beban, Tapi Kesempatan

Memang benar, mungkin jalanan akan macet, bahkan mungkin tertutup. Tapi bukankah hal itu sudah biasa bagi warga Bengkulu, khususnya warga Pantai Panjang saat perayaan Tabot setiap tahun yang menutup jalan hingga 10 hari? Perhelatan ini tak ubahnya “Tabot skala langit”—sebuah undangan berkumpul, bukan hanya oleh manusia, tapi juga oleh malaikat yang mencatat amal.

Bagi saya pribadi, ini bukan hanya tentang perhelatan tabligh. Ini tentang bagaimana masyarakat Bengkulu, sekali lagi, menunjukkan jati dirinya: terbuka, bersatu, dan siap jadi tuan rumah untuk dunia.

Insya Allah,  ini berkah untuk Bengkulu, berkah untuk Indonesia. Wallahu a'lam. 

Saeed Kamyabi