Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Sutan Takdir Alisyahbana dan Bengkulu

Sastrawan Pejuang, Pejuang Sastrawan

Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun) adalah seorang budayawan, sastrawan dan ahli tata bahasa Indonesia. Ia juga salah seorang pendiri Universitas Nasional, Jakarta.

Sutan Takdir Alisjahbana adalah tokoh Nasional terkemuka dan istimewa dalam sejarah kesustraan dan pemikiran kebudayaan di Indonesia. Sutan Takdir terlebih dahulu dikenal sebagai seorang sastrawan tapi kemudian pada tahun 1930-an ia menampilkan diri sebagai orang yang paling tegas dan kritis, suatu penampilan yang kemudian serta merta merupakan awal dari sesuatu ‘polemik kebudayaan’, dan dari inilah ia semakin dikenal oleh masyarakat sebagai budayawan yang gigih memperjuangkan kebudayaan Indonesia, meskipun kemudian melahirkan beberapa konsep dan pemikiran yang sangat kontras yang sulit diterima dan banyak yang mempertentangkan serta menolaknya, namun ia tetap kokoh dengan pendiriannya. Tidak hanya itu saja ia dikenal oleh masyarakat Indonesia tapi ia juga dikenal sebagai seorang cendikiawan terkemuka, seorang ilmuwan dan filsuf sekaligus pembaharu linguistik - tata bahasa baru Indonesia.

Sutan Takdir Alisjahbana atau kemudian ia biasa dikenal dengan sebutan STA. Nama ‘Sutan Takdir’ adalah nama sejak ia kecil sedangkan nama ‘Alisjahbana’ adalah diambil dari nama sukunya. Sutan Takdir lahir di Natal Tapanuli Sumatera Utara, pada 11 Februari 1908. Sutan Takdir Alisjahbana merupakan keturunan dari keluarga kerajaan Inderapura Putera bungsu dari Raja Pagaruyung. Pada awalnya keluarga Sutan Takdir Alisjahbana bertempat tinggal di Minangkabau, akan tetapi kemudian pindah ke Natal dan pada akhirnya dibuang ke Bengkulu oleh pemerintah Kolonial Belanda. Karena itulah Sutan Takdir Alisjahbana pernah menganggap dirinya berasal dari Minangkabau, lahir di Natal dan dibesarkan di Bengkulu.

Ayah Sutan Takdir bernama Sutan Alisjahbana dengan gelar Sutan Arbi. Yang di Bengkulu diberi gelar Raden Alisjahbana mempunyai banyak pekerjaan diantaranya menjadi kepala sekolah di Kerkap, penjahit, pengacara tradisional (pokrol bambu) dan juga ahli dalam reparasi jam. Selain itu, ayah Sutan Takdir juga dikenal sebagai pemain sepak bola yang handal. Sedangkan kakek Sutan Takdir atau orang tua ayahnya bernama Sutan Mohammad Zahab, seorang ulama terkemuka yang lama tinggal di Makkah dan dikenal sebagai seorang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan hukum yang luas. dan di atas makam kakeknya tertumpuk buku-buku yang sering ia saksikan terbuang begitu saja.

Setelah menamatkan sekolah HIS di Bengkulu (1921), STA melanjutkan pendidikannya ke Kweekschool, Bukittinggi. Kemudian dia meneruskan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari Universitas Indonesia (1979) dan Universitas Sains Malaysia, Penang, Malaysia (1987).

Kariernya beraneka ragam dari bidang sastra, bahasa, dan kesenian. STA pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933). Kemudian mendirikan dan memimpin majalah Poedjangga Baroe (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di Universitas Indonesia (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), guru besar dan Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).

Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota Société de linguistique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (1994).

STA merupakan salah satu tokoh pembaharu Indonesia yang berpandangan liberal. Berkat pemikirannya yang cenderung pro-modernisasi sekaligus pro-Barat, STA sempat berpolemik dengan cendekiawan Indonesia lainnya. STA sangat gelisah dengan pemikiran cendekiawan Indonesia yang anti-materialisme, anti-modernisasi, dan anti-Barat. Menurutnya, bangsa Indonesia haruslah mengejar ketertinggalannya dengan mencari materi, memodernisasi pemikiran, dan belajar ilmu-ilmu Barat.

Setelah lulus dari Hogere Kweekschool di Bandung, STA melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di Jakarta (Batavia), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Di Jakarta, STA melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dia diterima setelah melamar, dan di dalam biro itulah STA bertemu dengan banyak intelektual-intelektual Hindia Belanda pada saat itu, baik intelektual pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan intelektualnya yang terdekat, Armijn Pane.

Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli dan kemudian ketua Komisi Bahasa selama pendudukan Jepang, STA melakukan modernisasi Bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali menulis Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia, yang mana masih dipakai sampai sekarang. Serta Kamus Istilah yang berisi istilah-istilah baru yang dibutuhkan oleh negara baru yang ingin mengejar modernisasi dalam berbagai bidang.

Setelah Kantor Bahasa tutup pada akhir Perang Dunia kedua, ia tetap mempengaruhi perkembangan Bahasa Indonesia melalui majalah Pembina Bahasa yang diterbitkan dan dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, STA adalah pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970, STA menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi Pertama Bahasa- bahasa Asia tentang "The Modernization of The Languages in Asia (29 September-1 Oktober 1967)

Sampai akhirnya hayatnya, ia belum mewujudkan cita-cita terbesarnya, yakni menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar kawasan di Asia Tenggara. Ia kecewa, Bahasa Indonesia semakin surut perkembangannya. Padahal, bahasa itu pernah menggetarkan dunia linguistik saat dijadikan bahasa persatuan untuk penduduk di 13.000 pulau di Nusantara. Ia kecewa, bangsa Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, sebagian Filipina, dan Indonesia yang menjadi penutur Bahasa Melayu gagal mengantarkan bahasa itu kembali menjadi bahasa pengantar kawasan.

Diolah dari Berbagai Sumber