Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Memenangkan Pasal 33 UUD 1945 Di Meja Perundingan Freeport



Kawasan Grasberg di Tembagapura, Papua. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)

Menurut saya, ada dua isu penting terkait soal Freeport ini.

Pertama, kehadiran Freeport tidak melalui proses bisnis yang sehat, melainkan proses politik. Dan itu sangat terkait dengan perubahan politik di Indonesia pasca 1965.

Ini berimbas pada model Kontrak Karya (KK) Freeport. Menurut Denise Leith, penulis The Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia”, Freeport dengan koneksi politiknya yang kuat sangat kuat dalam proses negosiasi, sehingga bisa mendiktekan persyaratan kontrak.

Akibatnya, banyak klausul kontrak itu yang sangat menguntungkan Freeport. Seperti dicatat Leith, Freeport dibebaskan dari kewajiban pajak selama 3 tahun. Tidak ada sepeser saham pun untuk pemerintah Indonesia; tidak ada kewajiban ganti rugi atas lahan masyarakat asli Papua–terutama suku Amungme dan Kamoro–yang dirampas; dan tidak ada kewajiban perlindungan ekologi.

Saya kira, Freeport adalah warisan perjanjian investasi ala Orde Baru, yang menempatkan investor sebagai “Tuan” dan pemerintah RI sebagai “pelayan”.

Kedua, bisnis Freeport memposisikan Indonesia hanya “penyuplai bahan baku” dalam pembagian kerja internasional. Sekiranya tidak ada UU nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba, belum tentu Freeport punya niat membangun smelter. Sekarang pun mereka terus mengulur waktu terkait tagihan smelter itu.

Kalau anda baca literatur, dua hal di atas identik dengan praktik ekonomi kolonial. Karena itu, tidak ada tawar-menawar lagi, dua-duanya harus dihentikan.

Gambaran Skema Investasi Pertambangan kedepan

Sekarang kita bicara gambaran skema kedepan. Tetapi saya hanya menyentuh prinsip-prinsipnya saja.

Pertama, negara harus berdaulat atas kekayaan nasionalnya, termasuk SDA. Karena itu, model KK ala Freeport harus diakhiri. Begitu juga perjanjian-perjanjian investasi yang membelenggu Indonesia sebagai negara berdaulat.

Sebagia konsekuensi dari negara berdaulat itu, semua perjanjian investasi kedepan harus mematuhi UU indonesia. Indonesia siap menerima investasi dari negara manapun, asalkan tidak berlagak sebagai “Tuan” atas bangsa kita. Kita ingin “mitra bisnis”, bukan “Tuan”.

Kedua, investasi Freeport harus menguntungkan bangsa: royalti, dividen, dan pajak. Juga soal penggunaan konten lokal, dialog sosial dengan warga sekitar, dan kepastian soal transfer teknologi dan pengetahuan.

Mendorong Freeport untuk memberi kontribusi sosial ke masyarakat sekitar sebetulnya tidak akan mengganggu keuntungan mereka. Sebab, faktanya, selama ini mereka rutin mengeluarkan uang pengamanan kepada aparatus resmi. Di tahun 2010, misalnya, mereka merogoh kocek sebesar 14 juta USD atau sekitar Rp 180 milyar untuk dana pengamanan

Ketiga, harus memberi landasan untuk keluar dari posisi “negara pengespor bahan mentah”. Karena itu, selain alih teknologi, mengawal kewajiban perusahaan asing membangun smelter sesuai amanat UU Minerba harus dilakukan.

Keempat, mulai memberi tempat pada pengembangan usaha Pertambangan Rakyat, sebagaimana dimandatkan UU nomor 4 tahun 2009 tentang minerba. Disamping itu untuk peningkatan ekonomi rakyat, pengaturan usaha pertambangan rakyat juga untuk mencegah praktek brutal dalam pertambangan liar yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat banyak. Alangkah baiknya usaha pertambangan rakyat ini diorganisasikan melalui Koperasi-Koperasi rakyat.

Kelima, harus ada bentuk konkret berupa transfer keuntungan pengelolaan SDA untuk rakyat banyak. Entah itu melalui program sosial maupun pembangunan infrastruktur publik. Ini untuk membumikan mandat pasal 33 UUD 1945 ayat 3: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Perundingan dengan Freeport

Sekarang ini, perwakilan Indonesia tengah bernegosiasi dengan Freeport di meja perundingan. Dari pihak pemerintah ditegaskan tiga prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, yakni perubahan dari KK menjadi IUPK, divestasi 51 persen, dan pembangunan smelter.

Saya mendukung tiga hal itu. Namun, perlu penjelasan lebih lanjut, agar berkait dengan kepentingan nasional yang lebih luas dan masa depan tata kelola pertambangan.

Yang pertama, soal perubahan dari KK ke IUPK. Saya kira, semangatnya adalah menegakkan posisi Indonesia sebagai negara berdaulat di hadapan korporasi. Dalam konteks itu, jangan lagi ada perjanjian investasi yang membelenggu kedaulatan Indonesia, termasuk dalam membuat UU yang menyangkut kepentingan nasionalnya.

Karena itu, selain memaksa Freeport menerima perubahan KK menjadi IUPK, pemerintah juga harus berhati-hati dan tidak begitu saja mengamini tuntutan Freeport soal perjanjian stabilisasi investasi. Perlu dihitung dimensi hukumnya, jangan sampai perjanjian itu mengekang kedaulatan pemerintah Indonesia dalam membuat peraturan/UU.

Yang kedua, soal divestasi 51 persen, harus membuka jalan bagi negara sebagai pengendali dan penerimaan manfaat terbesar dari kegiatan penambangan Freeport di Papua. Saya kira itu juga amanat dari konstitusi: pasal 33 UUD 1945.

Nah, supaya itu terjadi, maka skema divestasi ini hanya bermuara pada dua pilihan: pemerintah atau BUMN sebagai representasi bisnis negara. Dengan demikian, tidak ruang bagi swasta nasional maupun skema pelepasan saham ke publik (initial public offering/IPO).

Pertanyannya, apakah pemerintah sanggup membeli saham Freeport?

Ada beberapa pernyataan di media massa yang menegaskan bahwa pemerintah sanggup membeli saham Freeport. Seperti pernyataan Staf Khusus Menteri ESDM, Hadi M. Djuraid, sebagaimana dilansir oleh kumparan.com pada 24 Februari 2017. BUMN juga menyatakan kesiapannya. Bisa melalui Holding BUMN tambang yang terdiri atas PT Antam (Persero) Tbk, PT Pertambangan Bukit Asam (Persero) Tbk, dan PT Inalum.

Hanya saja, supaya Negara tidak dirugikan, pembelian saham divestasi Freeport perlu dihitung seksama dan secermat-cermatnya. Sebab, sampai sekarang ada perbedaan hitungan nilai saham Freeport antara versi Freeport dan versi pemerintah Indonesia.

Versi Freeport, nilai saham divestasi mereka mencapai 8,11 milyar USD. Sedangkan versi pemerintah hanya 3,01 milyar USD atau Rp 40,7 triliun. Perbedaannya sangat jauh.

Kenapa bisa hitungan Freeport sangat tinggi? Sebab, Freeport menghitung rencana investasi dan cadangan bawah tanah. Padahal, cadangan bawah tanah itu milik Negara kita. Freeport juga memakai hitungan harga pasar. Dimana-mana harga pasar tidak mencerminkan nilai sebenarnya.

Di sisi lain, ada banyak usulan agar pemerintah menggunakan hitungan replacement cost. Yang dihitung adalah kumulasi biaya investasi yang dikeluarkan Freeport sejak tahap eksplorasi hingga tahun divestasi. Dengan hitungan ini, nilai saham divestasi Freeport lebih murah.

Ketiga, soal kewajiban pembangunan smelter. Karena ini sudah berulangkali dilalaikan oleh Freeport, maka perlu ada batas waktu dan kewajiban untuk membuat progress report kepada pemerintah.

Saya kira, selain soal upaya memberi nilai tambah dari pertambangan minerba, kewajiban smelter ini juga untuk mengakhiri peran Indonesia sebagai pengekspor bahan baku dalam pembagian kerja kapitalisme global. Juga untuk membuka jalan bagi cita-cita industrialisasi nasional.

Karena itu, selain soal kewajiban pembangunan smelter, perlu juga ditagih soal kewajiban transfer teknologi dan pengetahuan kepada korporasi asing itu.

Keempat, pemerintah RI harus menagih pengakuan dan tanggung jawab Freeport atas kerusakan sosial dan ekologis yang ditimbulkannya di Papua. Tagihan ini penting, agar perundingan dengan Freeport ini ada sangkut-pautnya secara langsung dengan persoalan kehidupan rakyat di Papua.

Rudi Hartono, Wakil Sekretaris Jenderal KPP Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan Pimred Berdikari Online - Berpikir Maju.

Catatan: artikel ini merupakan makalah penulis dalam diskusi bertajuk “Membedah Skema Perundingan antara Pemerintah dan PT Freeport” di Jakarta, 10 Maret 2017.