Oleh Ronald Reagen
Kita hidup di era pasca-ironi. Di mana perayaan Hari Buruh, yang dulunya simbol perlawanan, kini hanya menjadi ritual nostalgia. 1 Mei, yang semestinya memperjuangkan hak buruh, telah kehilangan maknanya dalam dunia yang dikuasai oleh kapitalisme digital. Buruh yang dulu menjadi tulang punggung ekonomi kini menjadi objek statistik, bukan lagi subjek politik. Kapitalisme tak lagi membutuhkan manusia, dan di sinilah kita berada sekarang: di tengah-tengah revolusi yang diam-diam mengubah wajah dunia kerja dan kehidupan manusia.
Wajah post - Kapitalism
Kapitalisme generasi baru tidak lagi mengandalkan pabrik atau jam kerja panjang. Ia muncul lewat server dingin, algoritma yang terus belajar, dan korporasi tak bernama yang bersembunyi di balik aplikasi. Amazon, Google, Tencent, dan ratusan unicorn lainnya membentuk kartel global tanpa batas negara, dan negara, sayangnya, bukan lagi pengatur. Negara hanya menjadi pelayan kapital digital.
Indonesia, misalnya, bukan lagi negara dengan kedaulatan ekonomi yang utuh. Dengan deregulasi yang terus berlangsung, buruh semakin kehilangan hak-haknya. Gaji ditekan, serikat pekerja direpresi, dan infrastruktur digadaikan demi kepentingan investasi asing. Banyak yang menyebutnya transformasi digital, padahal ini adalah penyerahan kedaulatan ekonomi kepada sistem yang bahkan tak bisa kita pahami. Kita melihat fenomena outsourcing dan pasar tenaga kerja temporer yang semakin berkembang, di mana buruh tak lagi memiliki kedudukan atau hak yang jelas. Dalam banyak kasus, buruh hanya dianggap sebagai angka dalam statistik produktivitas.
Dimana serikat pekerja?
Di Indonesia, buruh menghadapi tantangan serius. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023, jumlah tenaga kerja Indonesia mencapai lebih dari 135 juta orang, namun 34,1% di antaranya bekerja di sektor informal dengan upah yang tidak memadai dan tanpa jaminan sosial. Hal ini menunjukkan ketergantungan besar pada pekerjaan yang tidak terorganisir dan tidak dilindungi oleh hukum.
Meskipun ada sekitar 150 ribu serikat pekerja di Indonesia, representasi mereka dalam kebijakan politik masih sangat terbatas. Banyak serikat pekerja yang seharusnya menjadi agen perubahan terjebak dalam sistem yang direpresi oleh negara dan pengusaha. Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pada tahun 2020, misalnya, dianggap sebagai pukulan telak terhadap hak-hak buruh. Undang-undang tersebut tidak hanya melemahkan serikat pekerja tetapi juga memberikan keleluasaan lebih bagi pengusaha untuk mengurangi hak-hak buruh, seperti jaminan sosial dan upah yang layak.
Di sisi lain, meskipun serikat pekerja secara tradisional berfungsi sebagai alat untuk memperjuangkan hak-hak buruh, mereka kini semakin kehilangan daya politiknya. Dulu, serikat pekerja adalah kekuatan besar dalam menentukan kebijakan ekonomi dan sosial di Indonesia. Namun, seiring dengan masuknya kapitalisme digital, serikat pekerja justru lebih sering dijadikan simbol perlawanan yang terpinggirkan, tanpa kekuatan politik yang nyata. Kapitalisme digital berfungsi sebagai sistem yang menekan serikat pekerja, mengurangi peran mereka dalam menentukan kebijakan, dan menggantikan posisi mereka dengan sistem kerja yang lebih fleksibel dan tidak terorganisir.
Sisi lain dengan kehadiran Platform Ojek online seperti Gojek ,Grab, seolah-olah menjadi penolong bagi dunia kerja. Tapi sektor informal yang mengatasnamakan mitra ini bukanlah solusi masa depan bagi buruh, jika issue emansipasi tetap harus didorong. Para driver Ojol sangat bergantung pada Algoritma, review dan beberapa persyaratan perusahaan pemilik aplikasi - tentunya hal ini diluar kendali mereka.
AI: Pengganti Otot dan Otak Manusia
Kapitalisme digital membawa dampak yang jauh lebih besar daripada sekadar pekerjaan yang hilang. Dengan hadirnya kecerdasan buatan (AI), kini bahkan pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan dan intuisi manusia mulai tergantikan. Dari dokter yang mengandalkan sistem diagnosis berbasis AI hingga desainer yang menggunakan algoritma untuk menciptakan karya seni—semuanya bisa diotomatisasi. Bahkan media massa, yang dulunya sepenuhnya bergantung pada penulis dan jurnalis, kini mulai beralih menggunakan algoritma untuk membuat berita dan konten.
Data dari McKinsey Global Institute memperkirakan bahwa 50% pekerjaan di dunia dapat digantikan oleh otomatisasi dan AI dalam 20 hingga 30 tahun ke depan, dengan sebagian besar pekerja yang terdampak adalah mereka yang bekerja di sektor white-collar seperti pendidikan, media, dan hukum. Menurut studi dari World Economic Forum, pada tahun 2025 diprediksi sekitar 85 juta pekerjaan akan hilang akibat otomatisasi, tetapi 97 juta pekerjaan baru juga akan tercipta, meskipun dengan jenis dan keterampilan yang sangat berbeda dari pekerjaan yang ada saat ini. Di sinilah titik kritisnya: manusia bukan lagi pencipta, melainkan konsumen pasif dari sistem yang tidak sepenuhnya mereka pahami.
Yuval Noah Harari, dalam bukunya Homo Deus: A Brief History of Tomorrow, menggambarkan bahwa manusia akan semakin terpinggirkan dalam dunia yang dikendalikan oleh algoritma dan kecerdasan buatan. Harari menulis, “Di masa depan, manusia tidak akan lagi menjadi makhluk yang unik. Mereka akan digantikan oleh sistem yang lebih cerdas dan lebih efisien, yang tidak memerlukan perasaan atau empati untuk mengambil keputusan.” Dalam konteks ini, AI tidak hanya menggantikan pekerjaan, tetapi juga menggantikan nilai-nilai manusia yang selama ini membentuk peradaban kita.
Indonesia: Koloni Digital Tanpa Kendali
Di Indonesia, ketergantungan terhadap kapitalisme digital semakin terasa. Negara menjadi subjek dalam pasar global, kehilangan kemampuan untuk melindungi buruhnya. Sistem outsourcing, yang semakin merajalela, meminggirkan pekerja dari hak-hak dasar mereka. Banyak pekerja yang kini hanya punya status sebagai buruh kontrak tanpa jaminan sosial atau upah yang layak.
Tentu, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap maraknya praktik data harvesting yang melibatkan perusahaan-perusahaan teknologi besar. Menurut Global Data Review, di tahun 2022, Indonesia berada di urutan ke-10 dalam hal negara yang paling banyak menjadi sumber data global, namun hak-hak data pribadi warganya hampir tidak terproteksi. Data kita dijual, disalahgunakan, dan bahkan dijadikan komoditas tanpa kita sadari.
Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?
Jika kita terus membiarkan kapitalisme digital menguasai segalanya, masa depan akan menjadi dunia yang terbagi dua. Di satu sisi, akan ada kelas elit teknokrasi yang mengendalikan AI, data, dan algoritma. Di sisi lain, ada kelas buruh yang semakin terpinggirkan—mereka yang tidak lagi punya tempat dalam sistem ekonomi formal. Sebagian besar dari kita akan hidup dalam kondisi yang disebut sebagai krisis produktif, di mana teknologi dan AI mengambil alih semua aspek kehidupan kita tanpa menyisakan ruang bagi manusia.
Pada tahun 2035, diperkirakan 60% tenaga kerja dunia tidak akan lagi memiliki posisi dalam sistem ekonomi formal, dan negara akan gagal merespons tantangan besar ini. Krisis ini tidak hanya soal pekerjaan yang hilang, tetapi juga tentang hilangnya nilai manusia itu sendiri—dimana manusia hanya menjadi objek statistik dan data.
Tawaran jalan keluar
Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk menghadapinya? Solusinya bukan dengan reformasi kecil atau pelatihan kerja yang lebih banyak. Yang dibutuhkan adalah dekonstruksi total terhadap sistem produksi yang ada. Sistem ekonomi yang didorong oleh profit dan efisiensi, yang hanya mengutamakan akumulasi modal dan mengesampingkan nilai kemanusiaan, harus dihancurkan.
Kita harus melawan dominasi teknologi dengan cara kolektivisasi teknologi, bukan dengan menyerah pada privatisasi yang dikuasai oleh korporasi besar. Kita harus mempolitikan kembali kerja, waktu, dan kehidupan. Jika tidak, kita akan terus merayakan Hari Buruh setiap tahun… sampai akhirnya tidak ada lagi buruh yang bisa merayakannya.
Krisis eksistensial yang kita hadapi ini bukan hanya tentang pekerjaan yang hilang, tetapi tentang hakikat kita sebagai manusia yang menjadi tidak penting dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh algoritma dan mesin. Kalau kita tidak segera bertindak, kita akan hidup dalam dunia di mana kita ada, tetapi tak dianggap—hanya menjadi statistik dalam sistem yang tidak peduli.
Bahan tulisan
1. Obrolan Grup Dilarang Gondrong
2. McKinsey Global Institute, "The Future of Work: Automation, Employment, and Productivity," 2017.
3. World Economic Forum, "The Future of Jobs Report," 2020.
4. Global Data Review, "The Global Data Economy," 2022.
4.Badan Pusat Statistik (BPS), "Tenaga Kerja Indonesia," 2023.
5. Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow, 2015.