PedomanBengkulu.com - Mantan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah yang merupakan terdakwa dalam kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi untuk pendanaan Pilkada 2024 perkaranya telah bergulir di persidangan Pengadilan Tipikor Bengkulu.
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI), terdapat beberapa pasal yang tertuang. Termasuk pasal gratifikasi. Dalam dakwaan KPK juga menganggap gratifikasi Rp 30 miliar merupakan pemberian suap karena berhubungan dengan jabatan Rohidin.
Berikut pasal yang tertuang dalam dakwaan JPU KPK RI :
Rohidin Mersyah selaku Gubernur Bengkulu telah menyalahgunakan kekuasaan atau kewenangannya dalam kaitannya sebagai Penyelenggara Negara yang sedang mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebagai Calon Gubernur Bengkulu Tahun 2024, mengumpulkan para Pegawai di Lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu untuk menjadi Tim sukses dan membantu biaya Pilkada, yang bertentangan dengan Pasal 70 Ayat (1) huruf b Undang-Undang nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang, dan Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Perbuatan terdakwa Rohidin Mersyah bersama dengan Isnan Fajri (terdakwa mantan Sekda) dan Evriansyah alias Anca (terdakwa mantan ajudan) telah bertentangan dengan kewajiban terdakwa Rohidin Mersyah selaku Penyelenggara Negara sebagaimana ketentuan yang tertuang dalam : Pasal 70 Ayat (1) huruf b UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang, yang berbunyi :
(1) Dalam Kampanye, Pasangan Calon dilarang melibatkan :
b. Aparatur Sipil Negara, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia. Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang berbunyi : Pasal 5 : Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk :
- angka 4 : “tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme”.
- angka 6 : “melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni maupun kelompok dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf e Jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana Jo. Pasal 65 Ayat (1) KUHPidana.
Bahwa terhadap penerimaan uang total sejumlah Rp30.300.000.000,00 (tiga puluh miliar tiga ratus juta rupiah), USD42,715.00 (empat puluh dua ribu tujuh ratus lima belas Dolar Amerika), SGD309,581.00 (tiga ratus sembilan ribu lima ratus delapan puluh satu Dolar Singapura) dan barang berupa kaos sebanyak 14.500 pcs senilai Rp130.500.000,00 (Seratus tiga puluh juta lima ratus ribu rupiah).
Terdakwa Rohidin Mersyah tidak pernah melaporkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima, sebagaimana diatur dalam Pasal 12C Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga seluruh penerimaan uang tersebut merupakan Gratifikasi yang tidak ada alas hak yang sah menurut hukum.
Bahwa perbuatan terdakwa Rohidin Mersyah bersama-sama dengan Evriansyah alias Anca, Isnan Fajri dan Alfian Martedy yang menerima gratifikasi dalam bentuk uang dan barang tersebut, haruslah dianggap pemberian suap karena berhubungan dengan jabatan terdakwa Rohidin Mersyah selaku Gubernur Bengkulu serta berlawanan dengan kewajiban dan tugas terdakwa Rohidin Mersyah sebagai penyelenggara Negara yang tidak boleh melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme serta menerima gratifikasi sebagaimana dalam ketentuan Pasal 4 angka 5 dan angka 6 Undang-undang RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Perbuatan terdakwa Rohidin Mersyah tersebut merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 12B jo Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHPidana Jo Pasal 65 Ayat (1) KUHPidana. (Tok)