Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Bansos dan Pro-Justicia

Belakangan ini publik di daerah bayak bertanya apakah penanganan kasus dugaan korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) sudah sesuai koridor hukum?

Kejaksaan Negeri Kota Bengkulu banyak menuai kritik publik karena dinilai gagal melindungi hak azasi para saksi dan tersangka dalam kasus digaan korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) tahun 2012-2013.

Misal penyitaan alat bukti tanpa seijin pengadilan jelas melanggar Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Penghilangan hak mendapatkan advokat sendiri melanggar Pasal 55 KUHAP.

Padahal, dalam Putusan Mahkama Agung No 1565 K/Pid/1991 tertanggal 16 September 1993, dinyatakan bahwa pengabaian atas permintaan penasehat hukum maka tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima.

Pemeriksaan saksi-saksi dari pagi hingga subuh selama belasan jam dinilai memberi tekanan psikis. Padahal dalam KUHAP, setiap orang dalam proses pemeriksaan (B.A.P) mesti dibebaskan dari tekanan, paksaan, rasa takut, bujuk rayu, dan sebagainya.

Ini artinya, sekalipun penegak hukum (low inforcement) diberikan kekuasaan memaksa (pro-justicia) atas nama keadilan, tetap tidak boleh bertindak sewenang-wenang (abuse).

Tindakan memaksa dari penegak hukum dibatasi oleh Undang-undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Tujuan utama KUHAP tersebut untuk menjamin agar proses penggalian kebenaran dapat tercapai. Jangan sampai dengan cara paksa membuat orang yang tidak bersalah turut menanggung hukuman pidana.

Jika ini terjadi maka praktek penegakan hukum sudah dicederai oleh tindakan yang tidak profesional. Dan martabat penegak hukum bisa sama kerdilnya dengan “coboy” jalanan, bertindak tanpa aturan.

Meskipun penegak hukum berhasrat besar mengungkap kebenaran dan menangkap para penjahat yang diduga koruptor, akan tetapi rasa keadilan tidak boleh dilangkahi. KUHAP lah yang mengatur lahirnya keadilan prosedural.

Keadilan prosedural adalah keadilan yang diatur didalam KUHAP. KUHAP menjamin agar praktek kekerasan dan kriminalisasi hukum tidak terjadi.

Sayangnya ada nada sumir yang sering didengar publik dari Kepala Kejari Bengkulu, Wito SH. Seperti lansiran media nasional Liputan 6, tanggal 22 Januari, yang sangat naif dan tendensius kepada Kepala Daerah H. Helmi Hasan SE, yang statusnya sebagai saksi dalam kasus ini.

Pernyataan kejaksaan sebagai koruptor dengan terang-terang melucuti hak praduga tak bersalah (presumption of innocence). Kejaksaan seakan-akan mendahului tugas pengadilan.

Dengan alasan apapun, upaya paksa (pro-justicia) dan main hakim sendiri bertentangan dengan sistem peradilan pidana di Indoensia yang tercantum dalam Pasal 8 UU Nomor 4/2004, yang menyatakan:

“Setiap orang yang ditahan, disangka, ditangkap, dituntut, dan/atau dihadapkan didepan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap”.

Oleh karena itu, KUHAP berupaya melindungi hak asasi setiap orang. Karena dimasa kolonialisme Pemeritahan Hindia-Belanda dulu, perlidungan atas nasib orang dimuka hukum sama sekali dilucuti.

Banyak kasus dimana keadilan samasekali tidak dapat dicapai, dimana rakyat bumiputra diperlakukan semena-mena oleh hukum Pemerintahan Hindia-Belanda.

Lalu, apakah penegak hukum ingin mengulangi tradisi hukum kolonial Belanda di Bengkulu? Sebaiknya tidak. Sebab keadilan dan kewibawaan penegak hukum dimata publik hanya bisa tegak jika sungguh-sungguh menjalankan amanat Undang-undang.

Untuk semua warga negara berlaku hukum: dibeo in proreo—tidak dihukum jika tidak ada kesalahan.