Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Relevansi Gagasan Bung Hatta

Saat ini, The Economic Collapse melaporkan bahwa krisis subprime mortage dan krisis utang yang terjadi di Amerika Serikat selama 5 tahun semakin menghebat. Utang konsumsinya meningkat menjadi 98 persen dari PDB. 100 juta rakyat AS kehilangan pekerjaan.

Krisis ekonomi yang tak teratasi ini kemudian bertiup ke Uni Eropa. Utang negara Yunani, Spanyol, Italy, Portugal, Irlandia, Inggris, dan lainnya, membengkak sampai 100% dari PDB (Produk Domestik Bruto). Padahal, rasio utang normal negara-negara maju tidak boleh lebih dari 60 persen PDB.

Situasi ini telah mengancam masa depan negara-negara kapitalis. Solusi yang diberikan justru memicu kemacetan ekonominya. Setidaknya ideologi kapitalisme yang selalu dipromosikan Uncle Sam kehilangan kepercayaan dunia.

Ketika terjadi krisis global tahun 1930-an, Roosevelt mengatasinya dengan penciptaan sistem Jaminan Sosial dan lapangan kerja massal, solusi yang sama baru-baru ini dikemukan oleh Professor ekonom liberal dari New York University, Nouriel Roubini.

Sekalipun ekonom-ekonom liberal mengakui ketepatan ramal Marx akan penyakit bawaan dari sistem kapitalisme: krisis, tetapi obat yang ditawarkan sebatas pencegahan rasa sakit. Kapitalisme lahir dari penghisapan hasil kerja yang menciptakan nilai lebih (surplus volue), dan ditempat kerjalah ekspolitasi itu terjadi.

Seorang profesor ekonom emiritus di Universitas New School, New York City, Richard Wolff, memberi analisis baru, yakni krisis kapitalisme dapat disembuhkan dengan menciptakan “demokratisasi ditempat kerja” (Democracy at Work).

Gagasan Wolff ini lahir dari kritiknya terhadap demokrasi yang dipuja-puji oleh AS ternyata tidak berlaku ditempat kerja. Di tempat kerja, otoritas berada ditangan pemilik saham, yang selalu memberikan putusan sepihak dari atas (top-down).

Bagi Wolff, kita semua hidup dari hasil kerja bersama namun tidak memiliki suara dalam pengambilan keputusan. Segelintir orang menjadi penentu di tempat kerja dan kita hidup dari keputusan yang mereka buat tetapi ditanggung bersama. Ketika terjadi krisis ekonomi, mereka menjadi penentu sebuah perusahaan tutup atau tidak. Jika demokrasi ditempat kerja diterapkan maka distribusi keuntungan lebih merata dan efisiensi tenaga kerja tidak perlu dilakukan karena kemampuan untuk menjaga permintaan agregat.

Tempat kerja yang diselenggarakan secara demokratis menurut Wolff berwujud Koperasi, dimana semua orang dapat terlibat dalam pengambilan keputusan dan bertanggungjawab secara bersama atas dasar solidaritas.

Caja Labora, sebuah Bank Koperasi di wilayah Basque, Spanyol, dapat dicontoh. Ketika negara itu diterpa krisis ekonomi, perusahaan berguguran dan melakukan PHK. Caja Labora merelokasi 250 pekerja dari 83,000 pekerjanya, meskipun begitu koperasi ini tergolong kuat. Koperasi yang berdiri sejak tahun 1956 itu berkembang, memproduksi peralatan rumah tangga dan mendirikan supermarket-supermarket. Mereka mengembangkan model partisipatif dengan dasar solidaritas.

***


Teori tersebut bukan hal baru,—menurut penulis—gagasan Bung Hatta yang dicetak antara tahun 1935-1941 di dalam tulisan “Beberapa Fasal Ekonomi (Jilid I)” lebih canggih. Dalam pidatonya di Istana tahun 1976, Bung Hatta menandaskan kalau “cita-cita koperasi Indonesia menetang individualisme dan kapitalisme secara fundamental.

Kapitalisme dibangun atas dasar indvidualisme, dan semangat inilah yang selalu diperangi Bung Hatta. Bung Hatta membedakan antara individualisme yang menuntut kebebasan pribadi diatas kepentingan umum, dengan individualitas sebagai kepribadian manusia, jujur, etos, kecakapan, dll.

Semangat indvidualisme tidak cocok karena menimbulkan pertentangan dalam masyarakat. Ia menempatkan orang-seorang dimuka dan masyarakat dibelakang. Berlainan dengan corak kolektivisme kata Bung Hatta, tenaga ekonomi dan penghidupan rakyat dipengaruhi paham umum.

Di dalam produksi timbul relasi antara manusia dengan manusia. Dalam masyarakat kapitalis, disebutnya sebagai “kerjasama yang aneh”, yang mendorong pertentangan antara buruh dan pemodal. Situasi ini mendorong perjuangan klas dimana buruh menuntut hak demokrasi dalam perburuhan dan ditempat kerja.

Bung Hatta memberikan argumentasi yang cukup memadai tentang organisasi produksi/ekonomi yang dibutuhkan manusia mestilah bersifat kolektif. Organisasi ekonomi yang bersifat kolektif berwujud koperasi. Ini ciri pertama pemikiran Bung Hatta.

Bung Hatta berpendapat bahwa dalam masyarakat kolektif di desa di Indonesia inisiatif perusahaan enggan timbul, yang dikhendaki adalah usaha bersama. Bentuk perekonomian yang terbaik untuk masyarakat itu ialah koperasi. Karena itu, koperasi dinilai cocok dengan tipe demokrasi yang berkembang di desa di Indonesia.

Dalam desa Indonesia yang asli, semangat hidup berdasarkan cita-cita kolektivisme, yang terdapat dalam sistem gotong-royong, yaitu tolong-menolong.

Bung Hatta mengulas tentang ciri demokrasi asli desa di Indonesia: (1) Ada cita-cita rapat atau tempat rakyat bermusyawarah dalam memecahkan persoalan untuk mencapai mufakat secara bersama-sama. (2). Cita-cita protes, yaitu hak rakyat untuk membantah segala peraturan negeri yang dianggap tidak adil. (3) Cita-cita tolong-menolong dan kolektivisme, yang sesuai konsep kepemilikan kolektif dan semangat gotong-royong.

Demokrasi asli Indonesia yang berkembang di desa berlainan wataknya dengan demokrasi Eropa yang berdiri diatas tiang individualisme, yaitu liberalisme dan persaingan bebeas (free competetion). Jadi, demokrasi yang cocok bagi kapitalisme adalah demokrasi liberal, demokrasi yang hanya bisa menghasilkan kesetaraan politik namun gagal menciptakan kesetaraan ekonomi.

Yang dikhendaki oleh Bung Hatta bukanlah demokrasi impor, tetapi demokrasi yang cocok dengan masyarakat asli Indonesia, yang mengawinkan sekaligus demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.

Di dalam susunan prekonomian agar dapat menjamin kemakmuran bersama maka demokrasi yang terpakai pun demokrasi asli desa Indonesia. Satunya demokrasi politik dan demokrasi ekonomi merupakan ciri pemikiran kedua Bung Hatta.

Dihadapan para Bankir AS, di New York, 1960, Bung Hatta menyatakan bentuk perekonomian yang terbaik dari masyarakat Indonesia adalah kooperasi, yang didalam konsepsi ekonomi nasioal disebutnya sebagai sosialisme kooperatif.

Menurut Judy Mulqueeny, dalam volume akhir dari Kapital, Marx menulis bahwa koperasi sebagai transisi dapat menghilangkan relasi klas didalam kapitalis. Co-operative atau koperasi atas kepemilikan alat produksi bersama didalam perusahaan akan menghapus pertentangan antara pemodal dan tenaga kerja, tetapi masih memproduksi barang untuk dijual di pasar.

Revolusioner Rusia, Lenin, dalam tulisan “On Co-operation”, bahkan menyokong gagasan Marx tersebut. Katanya, koperasi memainkan peran penting dalam membangun kerjasama yang beradab. "Sistem kerjasama yang beradab adalah sistem sosialisme".

Di Rusia, selama periode Kebijakan Ekonomi Baru (NEP), koperasi dipakai sebagai program transisi keekonomi Sosialis untuk mengorganisasikan produksi petani-petani di desa-desa, program ini diselenggarakan dalam skala besar di bawah pengawasan negara.

Bung Hatta menyebutkan, selain pengaruh dari Sosialisme Barat (Marxisme) tadi, sumber yang melahirkan gagasan Sosialisme-nya adalah teologi dan corak kolektif dari masyarakat Indonesia asli: gotong-royong.

Jadi, Bung Hatta memaknai koperasi bukan usaha-usaha kecil, bukan tempelan dipabrik-pabrik, tetapi lebih luas, yakni koperasi sebagai organisasi ekonomi nasional yang bersifat Sosialis.

Sosialisme kooperatif, yang dibangun diatas semangat solidaritas dan kolektif ini menjadi ciri pemikiran ekonomi-nya yang ketiga.

Supaya cita-cita ideal ini tidak menjadi utopia (Sosialsime Utopis) seperti di Barat dulu, maka politiklah yang memimpin jalannya perekonomian: politik-perekonomian yang sesuai dengan cita-cita tersebut.

Dalam buku “Beberapa Fasal Ekonomi (Jilid I)”, Bung Hatta memaksudkan koperasi bukan semata kegiatan ekonomi an sich, koperasi adalah politik-perekonomian, yakni corak politik dan ideologi dari suatu Negara. Sebaik-baiknya ilmu ekonomi tidak dapat berlaku tanpa kekuasaan negara.

Politik-perekonomian yang dijalankan negara untuk tujuan memperbesar kemakmuran rakyat. Politik-perekonomian semacam ini bertentangan dengan prinsip Kapitalisme: persaingan bebas atau laissez faire yang menentang adanya campur-tangan negara. Ini adalah ciri keempat.

Koperasi yang berkembang di Eropa tentu berlainan bentuknya dengan koperasi di negara-negara miskin (Underdeveloped). Di Negara Eropa yang berbasis industri maka koperasi yang banyak berdiri adalah koperasi jasa dan konsumsi untuk menampung barang-barang produksi.

Koperasi di negara maju berkembang bersama dengan industrinya. Di Indonesia yang merupakan negara bekas jajahan, industri tidak dapat berkembang ditangan swasta yang wataknya lebih senang menjadi pedagang daripada berproduksi. Watak yang disebutnya sebagai “economische minderwaardigheid” atau ekonomi inferior.

Dengan adanya koperasi maka dapat menumbuhkan semangat percaya diri, semangat kemandirian (self-help). Koperasi dapat digunakan secara berangsur-angsur menjadi perekonomian yang besar (industrialis). Singkatnya, koperasi dapat menjadi pembentuk kapital nasional dalam waktu yang lebih cepat.

Perekonomian yang disusun dengan koperasi juga antisipasi terhadap kepemilikan swasta/dan asing. Selain itu, Bung Hatta tidak berharap pada modal asing yang hanya menghancurkan tenaga produktif. Katanya, dengan koperasi maka ekonomi rakyat yang terbelakang dapat dibangun kembali. Dengan adanya Koperasi Produksi dan Koperasi Konsumsi, maka perusahaan swasta yang memperberat ongkos dan memahalkan harga dapat disingkirkan.

Industri dapat dibangun secara berangsur-angsur jika ada tenaga pembeli dari rakyat. Sebab itu, yang utama kata Hatta bukan soal industri, melainkan tenaga pembeli yang memungkinkan hasil-hasil produksi terserap ke pasar. Demikian pula dengan kapital dapat diadakan sendiri dengan jalan Bank  Koperasi (kredit).

Dengan jalan koperasi maka semangat inferiority complex terhadap watak ekonomi kolonial dapat dilawan. Kepercayaan untuk membangun ekonomi dengan jalan kemandirian dapat terlaksana. Semangat self-help di dalam koperasi ini menjadi ciri kelima.

Cita-cita politik-perekonomian tersebut sudah tersusun didalam konstitusi, yakni asas kekeluargaan (kooperasi) sesuai Pasal 33 UUD 1945.

***


Tulisan Bung Hatta tentang koperasi sebenarnya menemukan basis relevansinya ditengah situasi Indonesia yang sudah masuk perangkap kapitalisme. Pertama, Bung Hatta sendiri menulis soal perekonomian dan koperasi tersebut sebagai antisipasi dari sistem kapitalisme.

Ketika negara-negara kapitalis melakukan penghematan belanja domestik, privatisasi, menekan upah, pemotongan anggaran publik dan dana pensiun, dll, yang dapat kita ramalkan menambah buruk perekonomian mereka, sebenarnya resep Neoliberalisme tersebut sudah lama diadopsi oleh Indonesia sejak tahun 1980-an yang menyebakan krisis moneter 1997/1998, dan sampai sekarang.

Institusi-institusi internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan Organisasi Dagang Dunia (WTO) menjadi ujung tombak yang mempormosikan Neoliberalisme dengan skema Structural Adjustment Program (SAP), yang mekasakan deregulasi, pasar bebas dan privatisasi, dll.

Neoliberalisme telah mendeformasi peran negara. Negara tidak lagi bertanggung jawab pada pemenuhan kebutuhan rakyat, karena setiap orang bertanggung jawab atas nasibnya sendiri. Selain itu, suberdaya alam semakin liberal, dan dominan dikuasai modal asing.

Mantan Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah, mengungkapkan bahwa rakyat Indonesia hanya menikmati 10% dari keuntungan ekonominya sedangkan 90% terbang sebgai capital flow keluar negeri.

Situasi ini menggambarkan kepada kita bahwa neoliberalisme, yang merupakan bungkusan dari sistem kapitalisme, telah merubah arientasi negara dan pengalihan sumberdaya ekonomi nasional untuk kepentingan asing, sangatlah bertentangan dengan konstitusi: UUD 1945

Kedua, hancurnya tenaga produktif nasional. Ekonomi nasional tidak pernah tumbuh, yang terjadi adalah gejala deindustrialisasi. Selama kurun waktu 2000-2013 yang penyerapan tenaga kerja sektor industri hanya tumbuh berkisar 1 persen.

Pun, pasar kita bergantung di luar negeri yang tidak berkontribusi pada ekonomi nasional. Produksi pertanian hanya menyumbang 15 persen dari pertumbuhan ekonomi, yang sebagian besar adalah hasil produksi mentah untuk tujuan ekspor.

Keadaan ini disebabkan karena kebijakan liberalisasi pertanian yang mendorong perusahaan asing menguasai dari hulu sampai hilir pertanian. Akibatnya keuntungan dari pasar pertanian senilai 409 miliar dollar AS per tahun mengalir ke perusahaan trans-nasional (TNC) seperti Nestle (Swiss), Cargill (AS), Archer Daniels Midland, Unilever (Inggris-Belanda), dan Kraft Foods (AS), dll.

Modal asing yang masuk kedalam negeri, 80 persen masuk disektor jasa dan konsumsi. Dan akhir-akhir ini, sering terjadi spekulasi harga yang menyebabkan harga komoditi pangan mengalami kenaikan harga, daging, bawang, kedelai, dll.

Sejak Orde Baru, industri nasional tidak pernah terbukti terbangun sekalipun kita sudah membuka keran investasi. Misalnya tenaga produktif pertanian kita masih terbelakang, padahal corak prekonomi rakyat adalah pertanian. Sebagai akibat dari gagalnya industry nasional, maka yang tumbuh saat ini adalah sector informal yang mencapai 75 persen.

Untuk itu, koperasi menjadi alat alternatif untuk membentuk kapital nasional dan pembangunan industri nasional. Perlu dibangun organisasi distribusi berupa koperasi-koperasi konsumsi, yang mengatur hasil-hasil produksi dan kebutuhan pangan murah untuk rakyat.

Pemerintah juga perlu menggerakkan rakyat sebagai tenaga produktif, misalnya dengan memberikan akses tanah garapan kepada rakyat, sehingga produktifitas ekonomi dengan jalan koperasi dapat lebih cepat tumbuhnya.

Ketiga, kita hidup dibawah bayang-bayang krisis kapitalisme global. Ini terjadi karena hacurnya tingkat kesejahteraan rakyat dan juga pasar komoditas kita yang bergantung pada pasar luar negeri.

Gross Nasional Product (GNP) Indonesia hanya berada diurutan 146 dunia dengan GNP per kapita sebesar US$ 3.830 per tahun atau setara 38 juta rupiah, dan 112 juta angkatan kerja kita menganggur. Ini menggambarkanbahwa daya beli rakyat sangatlah rendah di dalam negeri.

Barang-barang produksi di dalam negeri lebih banyak untuk tujuan ekspor. Soal ini, Bung Hatta pernah menulis “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”. Katanya, kelemahan ekonomi Indonesia dimasa lalu yang jatuh oleh krisis kapitalisme global, di saman malaise tersebut karena pusatnya terletak pada export-ekonomi. 

Untuk menjawab hal tersebut maka Bung Hatta menggambarkannya dalam “Politik Harga Beras Bagi Kemakmuran Rakyat”. Kita perlu membangun “pasar internal”, yang menampung hasil produksi dan konsumsi sendiri. Dengan membeli barang produksi sendiri mungkinkan devisa hasil produksi dan konsumsi berputar di dalam “pasar sendiri”, sebab keuntungan yang jatuh ditangan masyarakat, tetap tertanam di dalam negeri sendiri.

Selan itu, bila berpatokan pada ekspor-impor, ini hanya menguntungkan negara imperialis, yakni perdagangan bebas sesuai khendak WTO dan Free Trade Agreement (FTA), yang berakibat matinya produksi dan pasar sendiri.

Keempat, UU Koperasi Pro-modal. Saat ini, koperasi yang dirumuskan oleh pemerintah dalam UU Nomor 17/2012 tentang Koperasi sangat pro-pemodal. Koperasi lebih diartikan sebagai Persero atau Firma, yang dibolehkan modal non-anggota koperasi. Ini berarti kepentingan pemodal untuk masuk kedalam ekonomi rakyat semakin besar, selain itu merubah orientasi koperasi sebagai usaha bersama dan digantikan oleh usaha perseorangan.

Sejak masa Orde Baru, koperasi sudah dimandulkan sebagai badan usaha saha menurut UU Nomor 25/1992 tentang Koperasi. Roh koperasi tidak lagi terletak pada usaha sukarela para anggota, tetapi bergantung pada pada stempel pemerintah.

Maka dari itu, sudah saatnya koperasi dikembalikan sebagai cita-cita politik-perekonomian nasional, cita-cita self-help, cita-cita kolektifisme (kekeluargaan), cita-cita rakyat Indonesia sesuai Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945.*

Agus Pranata, Pendiri Pedoman Bengkulu