Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Darurat Agraria di Bengkulu

PROVINSI BENGKULU memiliki predikat buruk dalam soal konflik agraria. Wahan Lingkungan Hidup (WALHI) menyebutkan jika Bengkulu berada di rengking pertama dengan jumlah korban konflik lahan terbesar.

Sebagai contoh pada tahun 2012, sebanyak 38 petani yang jadi korban. Jumlah korban lebih banyak dibandingkan daerah Sulawesi Tengah dan Lampung.

Potret konflik agraria di Bengkulu ini menggambarkan betapa buruknya pembangunan agraria kita. Pemerintah setiap tahun menabung masalah baru tanpa sanggup meneyelesaikan utang-utang kasus agraria masalalu.

Padahal, Otonomi Daerah yang seyogyanya dapat menjadi ruang keadilan bagi rakyat ternyata justru menjadi petaka kemiskinan dimana kekayaan alam dan ruang agraria diobral murah.

Akibatnya pemerintah gagal memanfaatkan ruang otonomi sebab yang terjadi bukanlah distribusi kesejahteraan yang semakin merata melainkan distribusi masalah yang makin meluas.

Masalah konflik agraria bermula dari kebijakan pemerintah yang membuat politik “pintu terbuka” bagi investasi asing di sektor perkebunan, pertambangan, perumahan, dan sebagainya.

Sejauh ini pemerintah tidak memiliki solusi terkait upaya penyelesaian konflik agraria. Redistribusi tanah yang dijanjikan sebanyak + 8 Juta Hektar pun tidak menyentuh akar masalahnya.

Semestinya Pemerintah tidak boleh hanya melihat sisi pembagian tanah yang memang sudah timpang. Tapi juga menyangkut aspek pembangunan agraria yang senafas dengan tujuan kemerdekaan.

Seperti yang pernah dikatakan Sadjarwo, Menteri Agraria semasa pemerintahan Soekarno, bahwa perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman modal asing.

Untuk menyelesaikan benang kusut agraria ini maka pemerintah perlu melakukan terbosan. Perlu cetak biru kemandirian pembangunan daerah untuk mengantisipasi agar otonomi daerah tidak menjadi ajang pengobralan kekayaan alam.

Jika selama ini master plan pembangunan (MP3I) yang dicanangkan pemerintah sangat pro-swasta dan asing, maka program kemandirian kedepan mesti memberi ruang sebesarnya bagi tenaga rakyat dalam pembangunan.

Tanpa merubah konsep pembangunan yang berwatak pro-pengusaha menjadi pro rakyat maka mustahil dapat dicapai pembangunan yang berkeadilan sosial. Di daerah, Rancangan Pembangunan Jangkah Menengah (RPJM) Daerah mesti disesuaikan dengan kepentingan kedaulatan nasional dan kehidupan rakyat.

Pemerintah Daerah juga perlu menggantisipasi masalah regulasi yang sangat pro-pemilik modal, seperti Undang-undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 2/2012 tentang Pengadaan Tanah, UU No 22/2001 tentang Minerba, dan sebagainya.

Regulasi yang perlu disediakan Pemerintah Daerah berupa Peraturan Daerah yang dapat memberikan ruang keadilan dan melindungi usaha produktif dan ekonomi rakyat.

Pemerintah Daerah tidak perlu khawatir, sebab payung hukumnya ada dalam konstitusi dan UU Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

UUPA 1960 ini bukan saja melindungi kepentingan warga negara (nasional), tetapi juga melindungi kepentingan rakyat yang ekonominya lemah (miskin).

Terbitnya UUPA 1960 memberi harapan bagi kesejahteraan rakyat setelah semua hak atas tanah dinyatakan berfungsi sosial, dimana hak milik atas tanah mesti mendahulukan kebutuhan rakyat dan bukan kebutuhan individu.

Terakhir yang diharapkan oleh rakyat dari pemerintah adalah keberanian dan political will seperti yang dikatakan oleh Bung Hatta bahwa seluruh tanah kolonial dulunya adalah tanah rakyat, dan harus dikembalikan pada rakyat.