Isu yang menuding Zulkifli Hasan sebagai penyebab banjir yang baru-baru ini melanda wilayah Sumatera bukan hanya keliru dan tidak berdasar, tetapi juga sebuah penistaan terhadap ikhtiar seorang pelayan negara yang saat itu tengah berupaya menyelesaikan persoalan agraria berlarut-larut. Mengaitkan kebijakan administratif tata ruang dengan bencana ekologis tanpa memahami konteks dan dasar hukumnya adalah tindakan yang meracuni ruang publik dengan kesimpulan instan dan menyesatkan.
Kebijakan pelepasan 1,6 juta hektare kawasan hutan yang kembali diangkat secara serampangan sesungguhnya memiliki landasan hukum yang jelas: SK Menhut No. 673/Menhut-II/2014 dan SK No. 878/Menhut-II/2014. Keduanya bukan instrumen yang membuka pintu bagi konsesi sawit atau pembabatan hutan primer seperti yang kerap digoreng dalam opini publik. Dokumen tersebut adalah tindak lanjut administratif atas revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau yang lama tertahan di meja birokrasi.
Di tengah perdebatan yang kini kembali bergema, publik perlu diingatkan: tidak ada satu pun klausul dalam SK itu yang memberikan izin baru untuk merambah hutan lindung. Yang diatur adalah perubahan status lahan yang secara de facto sudah menjadi permukiman, pusat ekonomi rakyat, fasilitas umum, dan lahan garapan turun-temurun, namun secara de jure masih tercatat sebagai “kawasan hutan” dalam peta lama negara. Tanpa koreksi tata ruang, ribuan warga akan terus dianggap tinggal secara ilegal di tanah mereka sendiri, memantik konflik agraria yang tak kunjung padam.
Inilah konteks yang sering hilang dalam pusaran narasi liar. Legalisasi tata ruang bukanlah pembabatan hutan. Penataan ulang ruang bukanlah penghancuran ekologi. Upaya memberi kepastian hukum kepada rakyat bukanlah tindakan pro-industri sebagaimana dituduhkan sebagian pihak. Justru sebaliknya, langkah tersebut merupakan jalan tengah untuk menghindari kekacauan hukum serta memastikan pembangunan daerah bergerak dalam koridor yang sah.
Ironisnya, angka 1,6 juta hektare yang terus dikutip sebagai simbol “deforestasi besar-besaran” sesungguhnya menutupi fakta bahwa objek administrasi tersebut mencakup desa, jalan, sekolah, rumah ibadah, rumah sakit, dan wilayah padat penduduk yang sudah lama berdiri. Memaksa melihatnya sebagai “hutan yang dibuka” adalah bentuk kesengajaan mengaburkan realitas lapangan.
Karena itu, menyebarkan narasi bahwa Zulkifli Hasan adalah biang banjir Sumatera bukan hanya tidak adil, tetapi juga bertentangan dengan akal sehat dan tanggung jawab moral dalam menyikapi isu kebencanaan. Perubahan cuaca ekstrem yang saat ini diperingatkan BMKG, degradasi lingkungan yang terjadi selama puluhan tahun, serta tata kelola daerah yang kompleks tidak boleh dibungkus menjadi tudingan personal yang sembrono.
Tajuk ini mengajak publik untuk lebih jernih menilai: kritik boleh, perbedaan pendapat wajar. Namun membangun fitnah atas kebijakan yang berbasis hukum dan aspirasi rakyat adalah langkah yang justru menodai etika demokrasi. Dalam situasi bangsa menghadapi cuaca ekstrem dan ancaman bencana, energi kita seharusnya tersalurkan pada mitigasi dan edukasi, bukan memproduksi kambing hitam yang keliru sasaran.
