Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Perspektif Sosiologi Hukum Terhadap Kasus Pedagang Kaki Lima di Pasar Panorama Bengkulu

Penulis  

Shintia Claudia, Dr. Herlita Eryke,S.H.,M.H, Fakultas Hukum Universitas Bengkulu 


Pasar Panorama yang terletak di jalan salak raya, Kec. Singaran Pati, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu. Pasar ini menjadi salah satu pusat aktivitas ekonomi bagi masyarakat. Setiap hari, pasar ini ramai dikunjungi oleh pembeli maupun pedagang yang berjualan di sana dari berbagai daerah. Namun dibalik adanya keramaian tersebut muncul berbagai persoalan sosial dan hukum yang menarik untuk dikaji dari pandangan sosiologi hukum.  

Salah satu permasalahan yang sering terlihat dan sekarang masih ada di pasar panorama adalah banyaknya pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di pinggir jalan tetapi mengambil bagian jalan yang cukup banyak.  Keberadaan mereka itu memang membantu perekonomian keluarga dan membuat pasar terlihat lebih ramai atau lebih hidup, tetapi di sisi lain menimbulkan kemacetan, gangguan parkir, dan kesulitan bagi pejalan kaki. Ada beberapa pedagang maupun pembeli yang masih membuang sampah sembarangan dari aktivitas jual belinya yang menumpuk di pinggir jalan dan menimbulkan pula masalah kebersihan. 

Pemerintah daerah Bengkulu sebenarnya telah berupaya menetapkan pedagang dengan memindahkan mereka ke dalam area pasar resmi agar mereka tidak melakukan kegiatan jual beli di bagian pinggir jalan yang mengganggu aktivitas. Namun kebijakan ini justru menimbulkan masalah baru bagi mereka. Banyak pedagang mengaku kehilangan pembeli karena masyarakat itu lebih suka berbelanja di luar pasar yang lebih mudah dijangkau. Akibatnya, sebagian dari mereka kembali berjualan di pinggir jalan meskipun sudah dilarang karena menurut mereka jika berjualan di dalam pasar ya sudah dibangun resmi oleh pemerintah itu pemasukan yang didapat lebih sedikit dibandingkan jika mereka berjualan di pinggir jalan meskipun sudah dilarang oleh pemerintah tetapi pendapatan mereka lebih tinggi daripada mereka berjualan di dalam area pasar yang resmi. 

Jika dilihat dari sudut pandang sosiologi hukum persoalan ini sebenarnya menggambarkan adanya tunjangan antara aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah dengan penerapan sosialnya di masyarakat. Dalam hal ini, hukum itu seharusnya tidak hanya dipandang sebagai seperangkat peraturan yang harus ditaati, tetapi juga sebagai bagian dari kehidupan sosial yang harus menyesuaikan dengan kondisi yang ada di lingkungan masyarakat. Ketika hukum itu tidak mampu memahami kebutuhan ekonomi masyarakat kecil, maka pelanggaran hukum bisa terjadi bukan karena niat buruk, tetapi karena adanya tuntutan hidup yang harus dipenuhi. 

Menurut pandangan saya pribadi, masalah pedagang kaki lima ini menunjukkan bahwa hukum tidak bisa berjalan sendiri tanpa adanya pemahaman mengenai penerapan sosialnya. Pemerintah memang memiliki niat yang baik untuk menertibkan dan menjaga kebersihan pasar, tetapi jika aturan itu tidak disertai dengan penerapan sosial yang nyata untuk kebutuhan ekonomi pedagang maka penertiban yang dilakukan tersebut akan sulit berhasil diterapkan. 

Saya melihat bahwa pendekatan sosial dan kemanusiaan itu perlu lebih diutamakan contohnya dengan menyediakan tempat yang strategis di dalam pasar, membantu mempromosikan agar pembeli mau berbelanja di area yang sudah dibuat oleh pemerintah secara resmi, atau membuat sistem daerah yang adil antara pedagang dalam dan pedagang yang ada di luar pasar. Melalui kajian sosiologi hukum keberhasilan hukum itu bukan hanya diukur dari ketaatan terhadap aturan yang dibuat, tetapi dari sejauh mana hukum itu diterima dan dijalankan dengan kesadaran oleh masyarakat. Jika aturan yang dibuat dengan memperhatikan kondisi sosial maka masyarakat akan lebih mudah menerima dan menjalankan aturan yang dibuat tersebut dengan sukarela tanpa adanya paksaan dan tekanan bukan menjalankannya karena takut dikenai sanksi.