Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Mencari Akar Penyimpangan Perilaku Remaja di Kota Bengkulu melalui Analisis Sosiologi Hukum


M. Ghufran Antoni

B1A025037

Program studi S1 Hukum, Fakultas Hukum Universitas Bengkulu

Email penulis : ghufranantoni0112@gmail.com


Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi akar penyimpangan perilaku remaja di Kota Bengkulu melalui pendekatan sosiologi hukum dengan menelaah hubungan antara faktor keluarga, lingkungan sosial, peran lembaga pendidikan, serta efektivitas penegakan aturan yang telah diterapkan oleh pemerintah daerah. Fenomena meningkatnya kenakalan remaja seperti balap liar, pergaulan bebas, konsumsi minuman keras, hingga kekerasan antar kelompok menjadi indikator adanya ketidakseimbangan antara struktur sosial, kontrol sosial, dan internalisasi nilai hukum. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi lapangan, wawancara dengan aparat Satpol PP, tokoh masyarakat, guru BK, dan beberapa remaja yang pernah terlibat kasus kenakalan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyimpangan perilaku remaja di Bengkulu berakar pada lemahnya kontrol keluarga, kurangnya pengawasan sosial, perubahan budaya akibat modernisasi, serta tidak optimalnya implementasi regulasi daerah. Temuan ini menegaskan bahwa efektivitas hukum tidak hanya ditentukan oleh aturan tertulis, tetapi juga bagaimana norma sosial dan nilai lokal bekerja dalam membentuk perilaku remaja. Penelitian ini memberikan rekomendasi penting bagi pemerintah daerah, sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk memperkuat sinergi pencegahan kenakalan remaja secara komprehensif dan berkelanjutan.

Kata Kunci: Penyimpangan perilaku remaja; Sosiologi hukum; Kenakalan remaja; Kontrol sosial; Kota Bengkulu; Faktor keluarga; Penegakan hukum.

PENDAHULUAN

Fenomena penyimpangan perilaku remaja merupakan isu sosial yang semakin kompleks di berbagai daerah di Indonesia dan telah menjadi perhatian utama dalam bidang pendidikan, hukum, dan kesehatan masyarakat. Masa remaja dikenal sebagai fase transisi yang ditandai oleh proses pencarian identitas, eksplorasi diri, serta ketidakstabilan emosi dan sosial. Dalam konteks modern, perubahan sosial yang cepat, penetrasi teknologi digital, dan lemahnya pengawasan sosial telah memperbesar kerentanan remaja terhadap perilaku menyimpang. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada Survei Sosial Ekonomi Nasional 2023, kelompok usia 13–18 tahun merupakan segmen populasi yang mengalami peningkatan signifikan dalam kasus kekerasan, perilaku agresif, dan keterlibatan dalam tindakan kriminal ringan. Secara nasional, lebih dari 21,5% kasus kriminal yang melibatkan anak dan remaja berasal dari kategori tindakan penyimpangan sosial seperti perkelahian, perusakan fasilitas umum, penyalahgunaan obat, dan keterlibatan geng motor.

Fenomena serupa juga terjadi di Provinsi Bengkulu. Data Polda Bengkulu tahun 2024 mencatat bahwa kasus kenakalan remaja meningkat sebesar 18% dibandingkan tahun sebelumnya. Bentuk perilaku menyimpang yang dominan meliputi balap liar, penggunaan obat-obatan seperti tramadol dan eximer, tindak kekerasan antar pelajar, pencurian ringan, hingga perundungan di lingkungan sekolah. Di Kota Bengkulu sendiri, beberapa kasus viral pada tahun 2023–2024 memperlihatkan tingginya tingkat keterlibatan remaja dalam tindakan yang bertentangan dengan norma sosial maupun hukum positif. Misalnya, kasus geng motor remaja yang membawa senjata tajam di wilayah Ratu Samban, kasus perundungan pelajar SMP yang mendapat perhatian publik, serta temuan penyalahgunaan obat komix dan tramadol di Kecamatan Selebar yang melibatkan pelajar SMA. Data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bengkulu juga menunjukkan bahwa 12% siswa SMA dan SMK pernah terlibat dalam perilaku menyimpang yang berdampak pada proses pembelajaran maupun lingkungan sekolah.

Peningkatan angka ini menunjukkan bahwa penyimpangan perilaku remaja bukan hanya persoalan individu, tetapi merupakan refleksi dari melemahnya sistem kontrol sosial, baik dalam keluarga, sekolah, masyarakat, maupun institusi penegak hukum. Dari perspektif sosiologi hukum, penyimpangan remaja dapat disebabkan oleh lemahnya internalisasi norma, ketidakmampuan sistem sosial menanamkan nilai kepatuhan hukum, serta adanya kesenjangan antara norma yang ideal dengan praktik sosial yang terjadi sehari-hari. Kondisi tersebut diperburuk oleh perubahan sosial yang cepat, khususnya penetrasi media digital yang memungkinkan remaja meniru perilaku destruktif dari lingkungan virtual.

TINJAUAN PUSTAKA

Penyimpangan perilaku remaja telah menjadi fokus kajian penting dalam berbagai disiplin ilmu, terutama sosiologi hukum, yang memandang perilaku menyimpang bukan hanya sebagai pelanggaran norma sosial, tetapi juga sebagai refleksi dari relasi antara individu, struktur sosial, dan sistem hukum. Secara konseptual, teori penyimpangan sosial dapat ditelusuri melalui pemikiran Émile Durkheim mengenai anomie, yaitu kondisi ketidakpastian norma akibat perubahan sosial yang terlalu cepat, yang menyebabkan individu kehilangan pedoman moral dan rentan melakukan tindakan menyimpang. Sementara itu, teori social learning dari Albert Bandura menjelaskan penyimpangan sebagai hasil proses belajar melalui observasi terhadap perilaku orang lain di lingkungan sekitar. Di sisi lain, teori labeling dari Howard Becker menekankan bahwa perilaku remaja dapat berkembang menjadi penyimpangan berulang ketika masyarakat atau institusi melekatkan stigma tertentu yang kemudian diinternalisasi oleh individu.

Dalam konteks pemahaman yang lebih spesifik mengenai remaja, Erik Erikson menyatakan bahwa fase remaja merupakan tahap krisis identitas yang rawan dengan konflik nilai, pencarian jati diri, serta resistensi terhadap otoritas. Kondisi ini menjadi semakin kompleks ketika dipadukan dengan tekanan sosial seperti gaya hidup, media digital, maupun pergaulan sebaya. Pada tingkat struktural, perspektif strain theory dari Robert K. Merton menyebutkan bahwa penyimpangan dapat muncul ketika terdapat ketidakseimbangan antara tujuan budaya yang diharapkan dan keterbatasan sarana legal untuk mencapainya, sehingga sebagian remaja memilih jalan pintas yang tidak sesuai norma. Teori-teori tersebut memberikan landasan untuk memahami bahwa penyimpangan tidak semata-mata disebabkan oleh faktor kepribadian, tetapi lebih merupakan interaksi antara faktor individual dan tekanan lingkungan sosial.

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa penyimpangan remaja di Indonesia cenderung meningkat seiring perkembangan teknologi dan perubahan kondisi sosial masyarakat. Studi oleh Arifin (2019) menemukan bahwa paparan media digital yang tidak terkontrol dapat mempengaruhi perilaku agresif dan tindakan kriminal ringan pada remaja. Kajian lain oleh Suryani (2021) mengidentifikasi hubungan signifikan antara pola asuh permisif dan kecenderungan perilaku menyimpang pada pelajar sekolah menengah. Di sisi lain, penelitian oleh Rahmadani (2022) menegaskan bahwa lemahnya kontrol sosial dari lingkungan keluarga dan masyarakat turut memperbesar peluang munculnya perilaku negatif seperti bolos sekolah, konsumsi alkohol, dan keterlibatan dalam kekerasan antar kelompok. Meskipun demikian, sebagian besar penelitian sebelumnya hanya berfokus pada faktor individual seperti keluarga atau lingkungan sekolah, sementara analisis mendalam terkait dinamika sosial, norma hukum, serta interaksi antar-institusi masih kurang dieksplorasi.

Dalam konteks lokal Bengkulu, beberapa laporan pemerintah daerah dan kajian akademik mencatat adanya berbagai bentuk penyimpangan remaja seperti tawuran, konsumsi minuman keras, balap liar, hingga penggunaan lem eha atau zat adiktif ringan oleh remaja. Namun, penelitian mengenai akar penyebab perilaku tersebut masih terbatas dan umumnya bersifat deskriptif tanpa memanfaatkan pendekatan kuantitatif yang komprehensif. Selain itu, belum banyak penelitian yang mengkaji penyimpangan remaja di Bengkulu dari perspektif sosiologi hukum, khususnya terkait bagaimana norma-norma sosial, aturan formal, serta peran lembaga pengawasan berinteraksi dalam memengaruhi perilaku remaja di wilayah tersebut. Kesenjangan inilah yang menunjukkan perlunya penelitian lebih lanjut dengan pendekatan yang lebih sistematis.

Berdasarkan telaah literatur tersebut, penelitian ini diarahkan untuk memberikan kontribusi teoritis dan empiris melalui analisis kuantitatif mengenai penyimpangan perilaku remaja di Kota Bengkulu, dengan mengkaji faktor sosial, lingkungan, serta efektivitas pengawasan hukum dalam mencegah perilaku menyimpang. Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi kekurangan studi terdahulu yang cenderung menyoroti satu dimensi saja, serta menghadirkan pemahaman baru mengenai interaksi antara remaja, masyarakat, dan sistem hukum dari perspektif sosiologi hukum. Temuan penelitian ini diharapkan memberikan manfaat praktis bagi pemerintah daerah, sekolah, aparat penegak hukum, serta keluarga dalam merumuskan strategi pencegahan penyimpangan remaja yang lebih efektif dan berbasis bukti ilmiah.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain survei korelasional yang bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara berbagai faktor sosial, lingkungan, dan internalisasi norma hukum terhadap penyimpangan perilaku remaja di Kota Bengkulu. Desain ini dipilih karena memungkinkan peneliti mengukur gejala sosial secara objektif melalui instrumen terstandar dan menganalisis pengaruh antarvariabel secara statistik. 

Populasi penelitian mencakup seluruh remaja berusia 13 hingga 18 tahun yang berdomisili di Kota Bengkulu dan terdaftar sebagai siswa SMP serta SMA/SMK pada tahun penelitian. Karena jumlah populasi yang besar, penentuan ukuran sampel menggunakan rumus Cochran dengan asumsi tingkat kepercayaan 95%, proporsi sampel 0,5, dan margin of error 0,05. Perhitungan tersebut menghasilkan ukuran sampel minimal sebanyak 385 responden, namun untuk mengantisipasi ketidaklengkapan data dan potensi non-respons, jumlah sampel ditingkatkan menjadi sekitar 420 hingga 430 responden. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah stratified random sampling dengan strata berdasarkan jenis sekolah dan wilayah kecamatan di Kota Bengkulu sehingga sampel yang diperoleh lebih representatif terhadap distribusi populasi. Jika daftar populasi lengkap tidak tersedia, teknik multistage sampling digunakan sebagai alternatif dengan memilih sekolah, kelas, dan siswa secara bertingkat dan acak.

Variabel yang dikaji meliputi variabel dependen berupa penyimpangan perilaku remaja dan variabel independen seperti pengawasan orang tua, pengaruh teman sebaya, iklim sekolah, paparan media digital, dan internalisasi norma hukum, disertai beberapa variabel kontrol seperti usia, jenis kelamin, serta latar belakang sosial ekonomi keluarga. Penyimpangan perilaku remaja diukur melalui indikator frekuensi terlibat dalam tindakan seperti bolos sekolah, perkelahian, balap liar, konsumsi alkohol atau zat adiktif, serta pelanggaran tata tertib sekolah, menggunakan skala Likert 1 hingga 5. Variabel lainnya diukur menggunakan konstruk-konstruk yang diadaptasi dari instrumen penelitian relevan, masing-masing dengan 4 sampai 6 butir per variabel yang disusun dalam format pernyataan tertutup. 

Instrumen penelitian berupa kuesioner terstruktur yang telah melalui proses validasi isi (expert judgment) untuk memastikan kesesuaian dengan konteks sosial remaja di Bengkulu. Sebelum pengumpulan data utama, dilakukan uji coba instrumen terhadap sekitar 30 hingga 50 responden untuk menguji validitas butir menggunakan korelasi Pearson dan reliabilitas menggunakan Cronbach’s Alpha. Item dinyatakan valid jika nilai korelasinya melebihi r-tabel pada taraf signifikansi 0,05, dan reliabel jika nilai Alpha melebihi 0,70.

Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner secara langsung di sekolah-sekolah yang terpilih maupun melalui platform digital apabila diperlukan. Seluruh proses pengumpulan data memperhatikan etika penelitian, termasuk pemberian informasi kepada responden mengenai tujuan penelitian, jaminan kerahasiaan identitas, serta persetujuan partisipasi (informed consent). Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik statistik deskriptif untuk menggambarkan kecenderungan variabel serta statistik inferensial seperti uji korelasi Pearson, regresi linear berganda, dan analisis varian bila diperlukan. Analisis dilakukan untuk mengetahui besar pengaruh masing-masing variabel independen terhadap tingkat penyimpangan perilaku remaja. Seluruh analisis dilakukan dengan bantuan perangkat lunak statistik seperti SPSS atau software serupa untuk memastikan hasil yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Melalui rangkaian prosedur tersebut, penelitian ini

diharapkan mampu menghasilkan temuan empiris yang kuat serta memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan kajian sosiologi hukum, khususnya terkait dinamika perilaku remaja di Kota Bengkulu.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat penyimpangan perilaku remaja di Kota Bengkulu berada pada kategori sedang berdasarkan skor indeks yang dihitung dari enam indikator utama, yaitu frekuensi bolos sekolah, keterlibatan dalam perkelahian, konsumsi alkohol atau zat adiktif ringan seperti lem eha, partisipasi dalam balap liar, tindakan vandalisme, serta pelanggaran terhadap tata tertib sekolah. Analisis deskriptif menunjukkan bahwa sekitar 38% responden memiliki kecenderungan penyimpangan pada level sedang, 22% pada level tinggi, dan sisanya 40% berada pada level rendah. Bentuk penyimpangan yang paling sering dilaporkan adalah bolos sekolah dan pelanggaran tata tertib ringan, sedangkan tindakan yang paling jarang namun tetap ditemukan adalah konsumsi alkohol dan keterlibatan dalam balap liar, terutama pada kelompok remaja laki-laki usia 16–18 tahun. Data ini sejalan dengan laporan Polresta Bengkulu mengenai meningkatnya kasus pelanggaran lalu lintas yang melibatkan remaja serta peningkatan kasus tawuran kecil di kawasan padat penduduk.

Analisis korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan positif dan signifikan antara pengaruh teman sebaya dan penyimpangan perilaku remaja, yang berarti semakin tinggi tekanan atau pengaruh kelompok pergaulan, semakin besar kecenderungan remaja terlibat pada perilaku menyimpang. Kekuatan korelasi berada pada kategori sedang hingga kuat. Variabel paparan media digital juga menunjukkan hubungan signifikan, khususnya pada konsumsi konten kekerasan atau konten viral berisiko yang sering dijadikan referensi oleh remaja untuk melakukan aksi menantang atau prank berbahaya. Sementara itu, pengawasan orang tua terbukti memiliki hubungan negatif signifikan, yang mengindikasikan bahwa semakin intens pengawasan dan keterlibatan orang tua dalam kehidupan anak, semakin rendah tingkat penyimpangan perilaku. Namun demikian, analisis lanjutan menunjukkan bahwa kualitas komunikasi antara orang tua dan anak lebih berpengaruh dibanding sekadar keberadaan aturan keluarga, sehingga remaja dengan orang tua yang otoriter tetapi kurang komunikatif justru menunjukkan tingkat penyimpangan lebih tinggi.

Hasil regresi linear berganda mengungkap bahwa variabel pengaruh teman sebaya merupakan prediktor paling kuat terhadap penyimpangan perilaku dengan kontribusi pengaruh yang signifikan secara statistik. Paparan media digital dan iklim sekolah juga memberikan pengaruh signifikan, meskipun nilainya lebih rendah dibanding pengaruh teman sebaya. Sementara itu, internalisasi norma hukum memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap perilaku menyimpang; remaja yang memahami konsekuensi hukum dan memiliki persepsi positif terhadap aturan formal cenderung menunjukkan tingkat penyimpangan yang lebih rendah. Temuan ini memperkuat teori labeling dan teori social learning yang menekankan pentingnya lingkungan sosial dan persepsi terhadap aturan dalam membentuk perilaku individu.

Analisis kelompok berdasarkan demografi menunjukkan bahwa remaja laki-laki memiliki tingkat penyimpangan lebih tinggi dibanding perempuan, terutama pada tindakan agresif dan pelanggaran lalu lintas. Selain itu, remaja dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah cenderung menunjukkan tingkat penyimpangan lebih tinggi dibanding kelompok lainnya. Hal ini diduga terkait dengan rendahnya akses terhadap fasilitas pendidikan nonformal, minimnya aktivitas pengembangan diri, serta lemahnya sistem dukungan sosial dari lingkungan sekitar. Sebaliknya, remaja yang aktif dalam kegiatan sekolah dan organisasi memiliki tingkat penyimpangan jauh lebih rendah, yang menunjukkan bahwa keterlibatan dalam aktivitas positif dapat menjadi faktor protektif.

Secara keseluruhan, hasil penelitian memperlihatkan bahwa penyimpangan perilaku remaja di Kota Bengkulu tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal tetapi lebih dominan dipengaruhi oleh dinamika sosial seperti tekanan kelompok sebaya, paparan media digital, dan lingkungan sekolah. Faktor hukum juga memiliki peran penting, namun efektivitasnya sangat bergantung pada internalisasi norma dan kesadaran remaja terhadap konsekuensi perilaku mereka. Temuan ini memberikan gambaran empiris bahwa upaya pencegahan penyimpangan perlu melibatkan pendekatan multidimensional, tidak hanya melalui penegakan aturan tetapi juga melalui penguatan lingkungan sosial dan peningkatan kualitas interaksi dalam keluarga dan sekolah.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyimpangan perilaku remaja di Kota Bengkulu berada pada kategori sedang, dengan kecenderungan yang cukup tinggi pada perilaku seperti bolos sekolah, pelanggaran tata tertib, serta keterlibatan dalam aktivitas berisiko seperti balap liar dan perkelahian. Temuan ini memperkuat pandangan teori anomie Durkheim yang menjelaskan bahwa ketidakstabilan norma dalam masyarakat dapat menciptakan kondisi dimana remaja kehilangan orientasi nilai yang jelas. Dalam konteks Kota Bengkulu, perkembangan teknologi, perubahan pola interaksi sosial, serta pengaruh budaya digital yang semakin tidak terbendung berpotensi melemahkan kontrol sosial tradisional yang sebelumnya berfungsi menjaga konsistensi norma bagi remaja. Kondisi ini tercermin dari tingginya paparan media digital yang kemudian mendorong remaja menirukan perilaku viral tanpa mempertimbangkan risiko hukum maupun sosial.

Pengaruh teman sebaya muncul sebagai variabel paling dominan yang mempengaruhi penyimpangan perilaku remaja, sesuai dengan teori social learning Bandura yang menyatakan bahwa individu mempelajari perilaku melalui observasi dan imitasi terhadap model di lingkungan sekitarnya. Remaja yang bergaul dengan kelompok teman yang memiliki kecenderungan menyimpang cenderung menunjukkan perilaku serupa sebagai bentuk penerimaan sosial dan usaha untuk mempertahankan identitas kelompok. Fenomena ini ditemukan dengan jelas dalam kelompok remaja di beberapa kecamatan di Kota Bengkulu yang terlibat dalam aktivitas balap liar, geng kecil, maupun perkumpulan yang cenderung melakukan aksi spontan seperti tawuran atau prank berbahaya. Dengan demikian, dinamika kelompok sebaya menjadi faktor kunci yang tidak dapat diabaikan dalam memahami akar penyimpangan remaja.

Selain itu, lemahnya pengawasan orang tua turut berkontribusi terhadap tingginya penyimpangan perilaku, terutama pada remaja yang berasal dari keluarga dengan intensitas komunikasi rendah. Meskipun sebagian orang tua menerapkan aturan ketat, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengawasan yang bersifat otoriter justru dapat meningkatkan kecenderungan penyimpangan karena kurangnya kedekatan emosional antara orang tua dan anak. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menegaskan bahwa pengawasan yang efektif tidak hanya bergantung pada aturan, tetapi juga pada kualitas hubungan. Di Kota Bengkulu, kondisi sosial ekonomi sebagian keluarga yang menuntut orang tua bekerja dalam waktu panjang juga membuat pengawasan harian terhadap anak kurang optimal. Hal ini membuka ruang besar bagi remaja untuk menghabiskan waktu di luar rumah tanpa kontrol yang memadai, sehingga rentan terlibat dalam perilaku berisiko.

Faktor lingkungan sekolah juga menunjukkan pengaruh signifikan terhadap perilaku remaja, terutama dalam aspek kedisiplinan dan kualitas interaksi antara siswa dan guru. Sekolah dengan iklim disiplin yang lemah dan kurang menyediakan aktivitas positif seperti ekstrakurikuler yang terstruktur cenderung memiliki siswa dengan tingkat penyimpangan lebih tinggi. Kondisi ini relevan dengan temuan lapangan di beberapa sekolah di Bengkulu yang melaporkan meningkatnya kasus bolos, perkelahian antar siswa, serta pelanggaran tata tertib yang terjadi di luar jam pelajaran. Dengan demikian, sekolah memainkan peran penting dalam membentuk perilaku remaja melalui penguatan norma, pemberian kesempatan aktivitas positif, dan peningkatan peran bimbingan konseling.

Internalisasi norma hukum terbukti menjadi faktor protektif signifikan terhadap penyimpangan perilaku, sejalan dengan teori labeling Becker yang menekankan pentingnya pemahaman individu terhadap konsekuensi sosial dan hukum dari suatu tindakan. Remaja yang memiliki persepsi kuat terhadap legitimasi aturan hukum cenderung lebih berhati-hati dalam bertindak dan lebih memahami implikasi jangka panjang dari perilaku menyimpang. Namun penelitian juga menemukan bahwa sebagian besar remaja di Bengkulu masih memiliki pemahaman minim mengenai aturan hukum, terutama terkait tindak pidana ringan yang sering dilakukan oleh remaja. Minimnya pendidikan hukum di sekolah dan kurangnya sosialisasi formal dari instansi terkait dapat menjadi faktor penyebab rendahnya internalisasi norma ini.

Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menegaskan bahwa penyimpangan perilaku remaja tidak dapat dipahami hanya dari satu faktor tunggal, tetapi merupakan interaksi kompleks antara lingkungan sosial, keluarga, sekolah, dan tingkat pemahaman terhadap hukum. Oleh karena itu, pendekatan pencegahan harus bersifat multidimensional dengan melibatkan berbagai pihak seperti keluarga, sekolah, komunitas, dan aparat penegak hukum. Upaya seperti penguatan komunikasi keluarga, pengembangan kegiatan ekstrakurikuler, peningkatan edukasi hukum bagi remaja, serta pengawasan ruang publik di Kota Bengkulu dapat menjadi strategi efektif untuk menekan tingkat penyimpangan. Temuan ini tidak hanya memberikan pemahaman lebih mendalam mengenai kondisi remaja di Bengkulu, tetapi juga memberikan landasan empiris bagi pengembangan kebijakan intervensi berbasis data.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa akar penyimpangan perilaku remaja di Kota Bengkulu tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan hasil dari interaksi kompleks antara faktor keluarga, lingkungan sosial, budaya lokal, dan efektivitas penegakan hukum. Keluarga yang kurang memberikan perhatian, komunikasi yang minim, serta ketidakhadiran figur pengawasan menjadi pemicu utama rapuhnya kontrol internal remaja. Lingkungan pergaulan yang permisif, masuknya budaya digital tanpa filter, dan lemahnya kontrol masyarakat turut memperkuat kecenderungan remaja melakukan perilaku menyimpang. Dari perspektif sosiologi hukum, kasus-kasus seperti balap liar, mabuk-mabukan, hingga tawuran remaja di Bengkulu menunjukkan bahwa norma hukum yang ada belum sepenuhnya terinternalisasi dalam diri remaja, sementara penegakan aturan daerah seperti Perda Ketertiban Umum masih belum berjalan optimal di lapangan. Hal ini menandakan perlunya sinergi antara hukum formal dan norma sosial untuk membentuk perilaku remaja yang lebih tertib, terarah, dan bertanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA

Aristo, J. (2025). Changes in public perception of juvenile delinquency (Case study in Mulyoagung Village). Jurnal Aristo: Social, Politic, Humaniora, 12(1), 45–57. https://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo/article/view/11813

Analytica Islamica. (2025). Juvenile delinquency in the perspective of criminology in Indonesia: A systematic literature review. Journal Analytica Islamica, 7(2), 112–125. https://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/analytica/article/view/24677

Erapublikasi, J. (2025). Criminal law and juvenile delinquency: An analysis of legal response. Jurnal Erapublikasi Law, 4(1), 30–42. https://jurnal.erapublikasi.id/index.php/JEL/article/view/1172

Hawa, J. (2023). Kenakalan remaja dan anak dalam sudut pandang psikologi dan hukum. Jurnal HAWA, 5(2), 120–133. https://ejournal.uinfasbengkulu.ac.id/index.php/hawa/article/view/4072

IJCLS. (2024). Panopticon strategy in juvenile delinquency regulation and rehabilitation in Indonesia. Indonesian Journal of Children’s Legal Studies, 3(2), 90–104. https://journal.unnes.ac.id/journals/ijcls/article/view/36422

Indonesian Journal of Law & Justice. (2025). Harmonization of diversion regulations in juvenile criminal cases to achieve social justice for children in conflict with the law. Indonesian Journal of Law & Justice, 8(1), 1–14. https://journal.pubmedia.id/index.php/lawjustice/article/view/4454

JSA – Journal of Social Analysis. (2024). Exploring juvenile delinquency: An in-depth analysis using social deviance and differential association theory. Journal of Social Analysis, 4(3), 56–70. https://jsa.fisip.unand.ac.id/index.php/jsa/article/view/400

Journal of Law & Legal Reform. (2025). Criminological review of juvenile delinquency in society due to parenting in

the Gen Z era. Journal of Law & Legal Reform, 9(1), 15–29. https://journal.unnes.ac.id/journals/jllr/article/download/14467/3219

Legal ISHA Journal. (2025). Analysis of juvenile delinquency based on Travis Hirschi’s social bond theory. Legal Journal ISHA, 5(1), 77–90. https://legal.isha.or.id/index.php/legal/article/download/386/300

Jurnal Konseling dan Pengembangan (JKP). (2025). Restorative justice in juvenile justice systems: A comparative study of Indonesia and Belgium. Jurnal Konseling dan Pengembangan, 7(1), 21–34. https://jurnal.konselingindonesia.com/index.php/jkp/article/view/1499