Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Di Balik Tragedi Ayah dan Anak Tiri di Bengkulu: Kajian Sosiologi Hukum tentang Law in the book dan Law in Action

Behind the Tragedy of Father and Stepson in Bengkulu: A Sociological Study of Law in the Book and Law in Action

Rani Aulia Insani, B1A025064, Fakultas Hukum, Universitas Bengkulu, Indonesia

Email: raniraniauliainsani@gmail.com

Abstrak

Tragedi seorang ayah tiri yang membunuh anak tirinya di Bengkulu Tengah menjadi studi sosiologi hukum untuk meninjau ketegangan antara hukum formal (law in the books) dan realitas sosial (law in action). Peristiwa ini mencerminkan kegagalan pengendalian sosial informal di tingkat keluarga, diperparah oleh kerapuhan struktur keluarga tiri. Analisis berfokus pada kesenjangan antara konsep ideal pembelaan terpaksa (noodweer excess) dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP dan kondisi law in action pelaku yang didominasi respons naluriah dan panik. Penelitian ini menekankan bahwa putusan hakim tidak steril dari konteks sosiologis, status tiri, dan sentimen publik (living law), menantang sistem peradilan untuk mengakomodasi kompleksitas relasi sosial alih-alih penerapan hukum yang kaku.

Kata Kunci: Sosiologi hukum, law in the books, law in action, noodweer excess, keluarga tiri, pengendalian sosial.

The tragedy of a stepfather who murdered his stepdaughter in Central Bengkulu has become a legal sociology study examining the tension between formal law (law on the books) and social reality (law in action). This incident reflects the failure of informal social control at the family level, exacerbated by the fragility of the stepfamily structure. The analysis focuses on the gap between the ideal concept of a forced defense (noodweer excess) in Article 49 paragraph (2) of the Criminal Code and the perpetrator's law-in-action, which is dominated by instinctive and panic responses. This study emphasizes that the judge's decision is not free from sociological context, the stepdaughter's status, and public sentiment (living law), challenging the judicial system to accommodate the complexity of social relations rather than the rigid application of the law.

Keywords: Sociology of law, law on the books, law in action, noodweer excess, stepfamily, social control.

1. Pendahuluan

Sebuah insiden tragis yang mengguncang ketenangan masyarakat Bengkulu Tengah, di mana seorang ayah tiri mengakhiri hidup anak tirinya sendiri, memicu diskursus yang jauh lebih kompleks daripada sekadar penerapan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Peristiwa fatal ini, yang bermula dari teguran sepele perihal penggunaan ponsel, menyoroti kerapuhan hubungan interpersonal dalam struktur keluarga modern dan menantang pendekatan hukum pidana murni atau dogmatik. Dari perspektif dogmatik, fokus analisis cenderung menyempit pada satu pasal kunci: Pasal 49 ayat (2) KUHP, yang mengatur tentang noodweer excess (pembelaan terpaksa yang melampaui batas). Dalam kacamata hukum murni, pertanyaan sentral yang diajukan adalah "Apa hukumnya?" (das sollen), yang berkutat pada pembuktian unsur-unsur pasal secara formal: apakah tindakan pelaku memenuhi kriteria pembelaan diri yang melampaui batas wajar akibat guncangan jiwa yang hebat. Namun, pendekatan ini seringkali gagal menangkap konteks sosial, emosional, dan normatif yang melatarbelakangi terjadinya tragedi tersebut.

Artikel ini bertujuan untuk menggeser lensa analisis tersebut secara fundamental, beralih dari perspektif dogmatik murni menuju kerangka pikir Sosiologi Hukum. Berbeda dengan hukum pidana murni yang menekankan aspek normatif, sosiologi hukum mengajukan pertanyaan yang lebih luas dan mendalam: "Bagaimana hukum itu bekerja dalam masyarakat?" (das sein). Pendekatan ini memandang kasus di Bengkulu ini bukan sekadar sebagai tindak pidana terisolasi, melainkan sebagai sebuah "laboratorium sosial" yang sempurna untuk menguji dan memahami bagaimana hukum formal, norma-norma sosial yang berlaku, dan dinamika kekuasaan berbenturan dalam satu ruang keluarga yang berakhir fatal. Tragedi ini menjadi pintu masuk untuk mengeksplorasi realitas hukum yang hidup di masyarakat (living law), yang mungkin berbeda secara signifikan dari hukum yang tertulis di buku (law in the books).

Dengan menganalisis kasus ini dari kacamata Sosiologi Hukum, beberapa ketegangan krusial akan diungkapkan dan dibedah. Pertama, analisis ini akan menyoroti konflik laten antara norma sosial otoritas keluarga tradisional dengan hak individu dan otonomi korban yang telah dewasa. Kedua, fokus akan diberikan pada kesenjangan signifikan antara hukum di buku (law in the books) konsep ideal tentang pembelaan diri yang proporsional dan hukum dalam aksi (law in action) kondisi panik, adrenalin, dan respons naluriah pelaku di lapangan. Ketiga, analisis ini akan peka terhadap peran struktur keluarga tiri yang unik dalam memengaruhi efektivitas penegakan hukum dan interpretasi hakim. Pada akhirnya, melalui perspektif sosiologi hukum, diharapkan dapat ditarik pemahaman yang lebih komprehensif bahwa putusan hakim dalam kasus ini nantinya tidak hanya akan menjadi soal bersalah atau tidak bersalah secara formal, tetapi juga akan merefleksikan akomodasi hukum formal terhadap realitas sosial yang kompleks, di mana batas antara membela diri, amarah, dan keadilan menjadi kabur dalam hitungan detik.

2. Kerangka Teori

Kerangka teori dalam analisis ini berakar kuat pada mazhab sosiologi hukum yang memandang hukum bukan sekadar sebagai norma tertulis (law in the books atau das sollen), tetapi sebagai fenomena sosial yang hidup dan beroperasi dalam masyarakat (law in action atau das sein).


2.1. Teori Utama, Hukum dalam Aksi (Law in Action) oleh Roscoe Pound

Analisis ini secara eksplisit menggunakan dikotomi yang diperkenalkan oleh Roscoe Pound, yaitu pemisahan antara "hukum di buku" dan "hukum dalam aksi".

Law in the Books (Hukum dalam Kitab) merujuk pada aturan formal, abstrak, dan tertulis, seperti rumusan Pasal 49 ayat (2) KUHP tentang noodweer excess. Dalam teori, pasal ini adalah "katup pengaman yang elegan" yang menyediakan dasar pembenar bagi tindakan berlebihan akibat guncangan jiwa. Law in Action (Hukum dalam Aksi) merujuk pada realitas empiris bagaimana hukum dijalankan, diinterpretasikan, dan dialami oleh individu dalam kehidupan nyata. Dalam kasus ini, law in action adalah kondisi psikologis pelaku yang diliputi "kekacauan, adrenalin, dan respons primal untuk bertahan hidup," di mana pertimbangan rasional mengenai proporsionalitas serangan tidak ada. Sosiologi hukum berfungsi menjembatani kesenjangan (gap) antara kedua realitas hukum ini.

2. 2. Teori Pendukung, Pengendalian Sosial (Social Control) oleh Soerjono Soekanto

Peristiwa ini juga dianalisis melalui lensa teori pengendalian sosial, yang menjelaskan bagaimana norma-norma ditegakkan dalam masyarakat. Peran keluarga sebagai agen pengendalian sosial primer. Tindakan ayah tiri untuk "menegur" anak tirinya yang berusia 30 tahun dianggap sebagai upaya menjalankan pengendalian sosial informal untuk menegakkan ketertiban rumah tangga. Tragedi ini dipandang sebagai bukti kegagalan mekanisme pengendalian sosial informal (teguran) yang berujung pada kekerasan fisik.

2. 3. Teori Tambahan: Efektivitas Hukum dan Struktur Sosial (Max Weber / Soerjono Soekanto)

Analisis ini juga menyentuh aspek efektivitas hukum yang dipengaruhi oleh struktur sosial yang melingkupinya. Efektivitas norma dan penegakan hukum dipengaruhi oleh status sosiologis pelaku dan korban (ayah tiri vs anak tiri). Otoritas yang "rapuh" dari ayah tiri dianggap memengaruhi penerimaan korban terhadap teguran, yang berpotensi memperburuk konflik.

Sentimen Publik (Living Law), analisis ini mengasumsikan bahwa putusan hakim tidak steril dari persepsi dan sentimen sosial (living law/hukum yang hidup di masyarakat). Sentimen ini dapat memengaruhi interpretasi hukum formal (Pasal 49 KUHP) oleh aparat penegak hukum.

3. Metode Penelitian

Analisis dalam artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus berbasis data sekunder (berita dan literatur hukum). Artikel ini mengacu pada laporan berita (detikSumbagsel) sebagai data primer kasus, dan berbagai literatur hukum (buku, jurnal, artikel ilmiah) sebagai data sekunder untuk landasan teoretis. Data penelitian dianalisis secara kualitatif dengan mengaitkan fakta-fakta peristiwa (kronologi kejadian, status tiri, kondisi panik) dengan kerangka teori yang telah dijelaskan di atas (terutama law in action dan pengendalian sosial) untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai interaksi antara hukum dan masyarakat dalam tragedi tersebut.

4. Hasil dan Pembahasan

Pembahasan kasus tragis di Bengkulu Tengah ini, dengan menggunakan pendekatan kualitatif studi kasus, berfokus pada analisis interaksi kompleks antara hukum formal dan realitas sosial, sebagaimana dijelaskan dalam kerangka teori law in action Roscoe Pound dan pengendalian sosial Soerjono Soekanto. Hasil analisis menunjukkan bahwa tragedi ini merupakan manifestasi dari kegagalan sistematis norma informal di tingkat keluarga yang berujung pada kekerasan fatal.

4.1. Konflik Norma dan Kegagalan Pengendalian Sosial Informal

Peristiwa ini bermula dari teguran ibu korban perihal penggunaan ponsel, yang kemudian melibatkan pelaku (ayah tiri). Berdasarkan teori pengendalian sosial, tindakan menegur tersebut merupakan upaya primer untuk menegakkan ketertiban dalam rumah tangga, suatu bentuk pengendalian sosial informal yang dianggap sah secara norma sosial di Indonesia. Namun, analisis menunjukkan adanya benturan serius antara norma sosial tersebut dengan otonomi individu korban yang telah berusia 30 tahun. Korban, dalam perspektif sosiologis, mungkin menganggap dirinya telah mandiri dan teguran tersebut sebagai pelanggaran privasi, bukan sebagai bentuk didikan orang tua yang sah. Kegagalan mekanisme teguran informal ini untuk berfungsi secara efektif yang justru memicu kemarahan dan serangan fisik menggunakan cangkul oleh korban mengindikasikan kerapuhan dan ketidakjelasan hierarki otoritas dalam struktur keluarga tiri tersebut.

4.2. Kesenjangan Law in the Books dan Law in Action dalam Penerapan Pasal 49 KUHP

Analisis mendalam terhadap kronologi kejadian menyingkap kesenjangan tajam antara hukum yang ideal (law in the books) dan realitas di lapangan (law in action). Secara dogmatik hukum, Pasal 49 ayat (2) KUHP (noodweer excess) menyediakan konsep rasional mengenai pembelaan diri yang melampaui batas akibat "guncangan jiwa yang hebat". Namun, realitas empiris yang terjadi pada pelaku adalah kondisi "kekacauan, adrenalin, dan respons primal untuk bertahan hidup". Pelaku tidak sedang dalam posisi menimbang-nimbang proporsionalitas serangan (ancaman cangkul versus penggunaan pisau yang ada di pinggangnya), melainkan bereaksi secara spontan dan naluriah. Fakta bahwa pisau yang digunakan adalah senjata yang tersedia secara kebetulan di pinggangnya, bukan yang disiapkan sebelumnya, memperkuat argumen law in action bahwa tindakan tersebut didorong oleh kepanikan sesaat, bukan niat jahat yang terencana. Kasus ini memaksa aparat penegak hukum untuk menginterpretasikan realitas sosial yang kacau ini ke dalam bahasa hukum formal yang kaku.

4.3. Efektivitas Hukum di Tengah Struktur Keluarga Tiri dan Sentimen Publik

Aspek sosiologis yang krusial dari kasus ini adalah status "tiri" pelaku dan korban, yang memengaruhi efektivitas hukum. Otoritas seorang ayah tiri seringkali tidak sekuat otoritas ayah kandung, yang mungkin menjadi salah satu faktor penolakan korban terhadap teguran dan memicu konflik yang lebih besar. Analisis ini mengasumsikan bahwa sentimen sosial (living law) di masyarakat Bengkulu Tengah akan memengaruhi proses peradilan. Apakah hakim nantinya akan lebih mudah menerima klaim "bela diri" karena pelaku berusaha melerai pertengkaran istri dan anak, atau justru sentimen negatif terhadap status "tiri" akan membuat penegakan hukum pidana berjalan lebih kaku? Hasil pembahasan menunjukkan bahwa putusan hakim tidak akan steril dari persepsi sosial ini, dan penerimaan klaim noodweer excess oleh hakim akan menjadi cerminan bagaimana hukum formal mengakomodasi kompleksitas relasi sosial dalam keluarga tiri.

5. Kesimpulan

Secara keseluruhan, analisis sosiologi hukum terhadap tragedi pembunuhan ayah tiri terhadap anak tiri di Bengkulu Tengah menunjukkan bahwa kasus ini jauh lebih kompleks daripada sekadar penerapan pasal pidana murni. Tragedi ini merupakan cerminan nyata dari interaksi dinamis dan seringkali penuh ketegangan antara hukum formal (law in the books) dengan realitas sosial (law in action) di masyarakat. Kesimpulan utama dari analisis ini adalah bahwa hukum tidak beroperasi dalam ruang hampa normatif, melainkan dipengaruhi secara signifikan oleh struktur sosial, norma informal, dan emosi manusia yang mendasar.

Pertama, peristiwa ini menggarisbawahi kegagalan fungsi pengendalian sosial informal di tingkat unit keluarga. Benturan antara norma otoritas orang tua tradisional dengan otonomi individu korban yang dewasa menjadi pemicu utama eskalasi kekerasan. Teguran yang dimaksudkan sebagai penegakan ketertiban justru ditolak mentah-mentah, mengindikasikan kerapuhan hubungan interpersonal dan ketidakjelasan hierarki dalam keluarga tiri, yang berujung pada tindakan fatal.

Kedua, terdapat kesenjangan substansial antara konsep hukum ideal mengenai pembelaan terpaksa (noodweer excess) dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP (law in the books) dengan kondisi psikologis pelaku di lapangan (law in action). Hukum formal menuntut adanya "guncangan jiwa yang hebat" sebagai pembenar, namun realitas yang dialami pelaku adalah respons naluriah, panik, dan spontan saat diserang dengan cangkul. Sosiologi hukum menekankan bahwa respons primal untuk bertahan hidup ini seringkali tidak rasional dan tidak proporsional, menantang aparat penegak hukum untuk menerjemahkan realitas brutal ini ke dalam bahasa hukum yang kaku.

Ketiga, status sosiologis "ayah tiri" dan "anak tiri" adalah faktor krusial yang memengaruhi efektivitas hukum dalam kasus ini. Otoritas yang melekat pada peran ayah tiri cenderung rapuh dan tidak sekuat ayah kandung, yang dapat menjadi pemicu penolakan dan konflik yang lebih besar. Putusan hakim nantinya tidak akan steril dari sentimen publik dan living law (hukum yang hidup dalam masyarakat) mengenai peran dan status ayah tiri tersebut.

Pada akhirnya, putusan hakim dalam kasus ini akan menjadi sebuah cerminan penting tentang bagaimana sistem peradilan formal di Indonesia merespons dan mengakomodasi realitas sosial yang kompleks ini. Apakah hakim akan menerapkan hukum secara kaku dan dogmatis, ataukah akan mempertimbangkan konteks sosiologis, kegagalan norma keluarga, dan kondisi panik pelaku? Jawaban atas pertanyaan tersebut akan menentukan apakah keadilan ditegakkan berdasarkan teks undang-undang semata, ataukah berdasarkan pemahaman yang mendalam tentang hukum yang hidup dan bekerja di dalam masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Abintoro Prakoso. (2018). Pengantar Hukum Indonesia. Yogyakarta: Laksbang Pressindo.

Formaninsi, R. (2014). “ STIGMA MASYARAKAT TERHADAP KELUARGA PELAKU PEMBUNUHAN ” (Studi Kasus Pada Keluarga Pelaku Pembunuhan di Kecamatan Padang Guci Hulu Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu) ”. Universitas Bengkulu.

Gani, M. A. (2025). Konstelasi Alasan Penghapus Pidana. Mahkamah Agung Republik Indonesia. MARI News. https://marinews.mahkamahagung.go.id/artikel/konstelasi-alasan-penghapus-pidana-0ec.

Halperin, Jean-Louis. (2011). “ Law in Books and Law in Action: The Problem of Legal Change ”. Maine Law Review, 64(1), 45-98.

Howard Community College. (t.t.). 7.1 Social Control and the Relativity of Deviance. Dalam Sociology 101. Pressbooks. https://pressbooks.howardcc.edu/soci101/chapter/7-1-social-control-and-the-relativity-of-deviance/

Juniarti, S., Putri Awwaliyah, R., Trisnawati, T., Rabbani Kurniawan, H., & Marizal, M. (2024). “ Analisis Penggunaan Alasan Penghapus Kesalahan dalam KUHP (Studi Kasus Pembunuhan Redho Tri Agustian 2023) ”. Innovative: Journal Of Social Science Research, 4(2), 984–993. https://doi.org/10.31004/innovative.v4i2.9485

M, M. Y. D., Wijaya, K. A., Arman, A., & Arta, O. C. (2023). Perspektif Sosiologi Terhadap Terhadap Efetivitas Penegakan Hukum Di Masyarakat. Innovative: Journal Of Social Science Research, 3(2), 5892–5900. https://j-innovative.org/index.php/Innovative/article/view/1028

Murhan (Ed.). (2025, 10 November). Bacok Anak Tiri Sampai Tewas, Sa Tak Terima Istrinya Dipukul Pakai Cangkul, Ditegur Hanya Main HP. Banjarmasinpost.co.id. https://banjarmasin.tribunnews.com/news/1337641/bacok-anak-tiri-sampai-tewas-sa-tak-terima-istrinya-dipukul-pakai-cangkul-ditegur-hanya-main-hp

Nicholas, M., Panjaitan, P. I., & Saragih, R. (2023). Analisis Yuridis Pembelaan Terpaksa Diri Sendiri Berdasarkan Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jurnal Hukum tora: Hukum Untuk Mengatur dan Melindungi Masyarakat, 9(Edisi Khusus), 202–215. https://ejournal.fhuki.id/index.php/tora/article/view/548

Sanjaya, I Gede Windu Merta., Sugiartha, I Nyoman Gede., & Widyantara, I Made Minggu. (2022). Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas (Noodweer Exces) Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Begal Sebagai Upaya Perlindungan Diri. Jurnal Konstruksi Hukum, 3(2), 406-413.

Soekanto, S. (1982). Sosiologi Suatu Pengantar (Ed. Baru ke-4, Cet. 30). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soekanto, Soerjono. (2014). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Supandi, H. (2025). 'Terungkap! Ini Motif Ayah di Bengkulu Tengah Bunuh Anak Tiri', detikSumbagsel, 8 November. https://www.detik.com/sumbagsel/hukum-dan-kriminal/d-8199751/terungkap-ini-motif-ayah-di-bengkulu-tengah-bunuh-anak-tiri

Wibowo, Rahmat Ibnu. (2022). Pembelaan Terpaksa (Noodweer) Apakah Bisa Dipidana?. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-palopo/baca-artikel/15466/Pembelaan-Terpaksa-Noodweer-