Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Sumpah "TUMBAL" Pemuda

Oleh: Ronald Reagen 

Obrolan ini saya mulai dengan pernyataan " Pada negara yang model pengelolaannya buruk, tidak ada sumpah yang layak dipercaya dan dipegang sebagai pedoman"

Ini adalah pernyataan yang subjektif tentunya, tapi kita harus mengingat fakta, bahwa semua aktivitas pembelaaan dan kesetiaan kepada negara membutuhkan nyawa dan napas pemuda untuk dijadikan sebagai tumbal perlawan atau pembebenan tugas kepemimpinan?

Argumentasi ini berangkat dari catatan sejarah, bahwa heroisme tidak melulu bicara karena kesadaran akan pembelaan pada nilai-nilai kebaikan? Bahwa kesetiaan bela negara tidak juga bicara bahwa itu ada karena kesadaran. Semua rasa dalam konteks kesetiaan,heroisme dan bela negara adalah kesadaran palsu yang ditanamkan oleh kekuasaan. Sebagai tumbal gratis jika di masa depan ada konflik pecah. Disana ada pemuda yang menyiapkan nyawanya untuk berperang demi; agar para elit bisa menceritakan sejarah kepahlawanannya dalam memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankan dominasinya atas wilayah tertentu - yang hari ini kita sebut "negara"

Mari kita beranjak kedalam catatan kelam perang Dunia I dan peristiwa ikonik yang menggugah kemanusiaan kita

Perang Dunia l , dalam banyak catatan sejarah, adalah perang paling konyol yang memakan hampir lebih dari 16 juta nyawa, yang didominasi oleh para pemuda. Perang ini sebuah model inisiasi kebangsaan-  kebanggaan nasional yang kehilangan kendali. Bayangkan, peritiwa ini dimulai  dari pembunuhan Putra Mahkota Austria-Hongaria, Archduke Franz Ferdinand, pada 28 Juni 1914 di Sarajevo, oleh seorang pemuda Nasionalis Serbia-Bosnia, " Gavrilo Princip" yang saat itu baru berusia 19 tahun. Peristiwa tunggal ini, yang seharusnya bisa diselesaikan lewat diplomasi, justru memicu reaksi berantai akibat sistem aliansi politik Eropa yang sarat ego kekuasaan.

Tidak lama, pasca kematian Franz Ferdinand, dalam hitungan hari, dataran eropa berubah menjadi lapangan pembantaian kaum muda. Negara-negara besar seperti, Jerman, Austria-Hongaria, Rusia, Inggris, dan Prancis memulai babak pertama yang meruntuhkan kedamaian masyarakat sipil Eropa. Lucunya; Peristiwa kemanusiaan yang merubah lanskap politik Eropa dan dunia ini, dirancang oleh "inisiator perang keluarga bangsawan". Sebagai catatan, para bangsawan yang menumbalkan jutaan pemuda ke lapangan pembantaian ini adalah para bangsawan yang sebagian besar masih memiliki hubungan darah: Kaiser Wilhelm II dari Jerman, Tsar Nicholas II dari Rusia, dan Raja George V dari Inggris adalah sepupu satu sama lain.

Sentimen dan kecumburuan politik dalam keluarga yang digawangi oleh hubungan sepupuan " satu nenek" ini, selanjutnya membawa  jutaan pemuda Eropa untuk saling membunuh di parit-parit pertahanan dan penuh dengan amis darah itu. Ini betul-betul diluar akal sehat kita dalam melihat geopolitik.

Disisi lain, pemuda yang terpapar propaganda nasionalisme ini sebenarnya pemuda-pemuda segar yang masih merindukan keakraban sosial. Jadi, ada realita yang sangat sentimentil. Pada malam natal 1914. Di tengah kekacauan itu, para pemuda tentara ini menangis haru, saat salju malam natal turun. Malam itu, tentara dari kedua belah pihak, -Jerman di satu sisi, Inggris dan Prancis di sisi lain secara spontan menghentikan tembakan. Mereka keluar dari parit, menyalakan lilin, bertukar hadiah kecil, dan bahkan bermain sepak bola di antara kawat berduri. Banyak tentara Jerman saat itu pernah bekerja di Inggris dan bisa berbahasa Inggris, sehingga percakapan berlangsung hangat meski sehari sebelumnya mereka saling membunuh. Peristiwa ini selanjutnya di kenal dengan " Cristmace truce".

Para pemuda yang dipaksa jadi tentara dan saling bunuh itu, sambil berlinang air mata menyanyikan lagu natal dari dalam parit pertahanan mereka masing-masing. Betul-betul catatan getir dari hasil penumbalan manusia

Namun kedamaian itu hanya bertahan sebentar; keesokan harinya, perintah dari komando pusat memaksa mereka kembali ke parit dan melanjutkan perang. Peristiwa ini menunjukkan bahwa kemanusiaan dan keakraban individual mampu dihancurkan oleh kebencian kolektif yang sengaja diciptakan oleh para elit, tetapi juga menegaskan betapa sistem politik dan militer bisa menelan nurani manusia (Keegan, The First World War; Hobsbawm, The Age of Extremes).

Perang Dunia I menelan lebih dari 16 juta jiwa  sebagian besar pemuda yang dikirim untuk membela “kehormatan tanah air.” berakhir dalam kekacauan etis dalam membaca  kehormatan. Karena pasca perang  dalam beberapa catatan sejarah barat menulis, bahwa perang dunia I adalah ladang pembantaian massal yang memutus satu rantai generasi muda Eropa ( Lihat Beberapa artikel sejarah dalam History.com) .

Pasca-perang, banyak veteran hidup dalam kemiskinan dan trauma, sementara elite politik terus berbicara atas nama “pengorbanan.” Yang paling menyedihkan lagi adalah Paradoks perang ini tidak hanya terjadi di Eropa saja, walaupun dengan case yang berbeda, baik secara temprament maupun motif, tetapi kejadian pasca perang bukanlah kemerdekaan dalam artian semua bagian penting dalam pembicaraan aksesibilitas pada kesejahteraan, yang  "disini adalah pemuda" memiliki kesempatan dan sama dalam menikmati hidup baik pasca perang. Tentu hal ini tidak saja terjadi di Eropa-  Indonesia pun mengalami hal serupa.

Setelah kemerdekaan 1945, ribuan pemuda Indonesia ikut angkat senjata dalam revolusi mempertahankan kedaulatan. Banyak di antaranya bergabung dalam laskar rakyat, Tentara Pelajar, dan berbagai unit perjuangan lokal. Namun setelah perang usai, sebagian besar menghadapi nasib pahit: negara yang mereka perjuangkan gagal dalam memberi serta mendistribusikan jaminan sosial, pendidikan, atau penghidupan yang layak. Sejarah mencatat perjuangan panjang para veteran untuk mendapatkan pengakuan dan hak mereka pada era 1950-an ke atas - sebuah fenomena yang disebut para sejarawan sebagai “the making and taming of the veteran” (McGregor, History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia’s Past, 2007).

Kondisi itu menceritakan suatu siklus peralihan posisi para pejuang. Diawal dari Negara atau aktor era perang memobilisasi semangat pemuda ketika butuh pasukan yang ditempatkan di garis depan, lalu mereka yang selamat, lagi- lagi harus bertempur dengan realita hidup mereka sendiri. Dalam konteks ini, nasionalisme yang idealistis bisa berubah menjadi beban moral sepihak,  seperti yang menimpa jutaan pemuda di Eropa seratus tahun lalu.

Hari ini, 28 Oktober, kita memperingati Sumpah Pemuda 1928 - momen yang dikisahkan sebagai tonggak kesadaran nasional: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa. Tapi seiring waktu, mempertahan istilah " Satu" ini tidak lagi memiliki relevansi yang kuat. Ini bukan sekedar kritik yang menjelaskan bahwa sumpah pemuda berakhir pada simbol. Tapi membawa ulang semangat Sumpah Pemuda di 28 Oktober 1928 ke Era pemuda 28 Oktober di fase Revolusi Industri ke 5 ini benar-benar bukanlah kebudayaan baik. kesetiaan apa yang ingin kita bicarakan sekarang? Apakah makna satu itu juga berada dalam terminologi satu aksesibilitas kesejahteraan? Tentu tidak ada garansinya. Membandingkan "Satu" nasib pemuda bernama Romi atau Fitrah dengan nasib "Satu" seorang pemuda bernama Gibran atau Agus Yudhoyono tentu adalah kekacauan. Ini juga yang memberikan dukungan atas pernyataan Nugroho bahwa" Sejumlah akademisi menilai bahwa narasi resmi Sumpah Pemuda kerap diromantiskan untuk membentuk loyalitas generasi muda tanpa memberi ruang bagi evaluasi terhadap tanggung jawab negara terhadap mereka (Nugroho, Pemuda dan Kekuasaan: Ideologi, Identitas, dan Gerakan Sosial, 2013).

Padahal, dalam realitas sosial hari ini, banyak pemuda Indonesia justru berada dalam posisi “double burden.” Mereka diminta menjadi penerus bangsa, menjunjung nasionalisme, dan siap berkorban bila negara memanggil. Tapi di sisi lain, mereka harus berjuang memenuhi kebutuhan dasar: pekerjaan, pendidikan, kesehatan mental, dan masa depan yang layak. Studi tentang imajinasi nasional anak muda menunjukkan bahwa banyak generasi muda masih mencintai Indonesia, namun juga skeptis terhadap janji negara yang tak kunjung ditepati (Heryanto & Adi, Youth, Media, and the Spirit of Reformasi, 2019).

Kritik terhadap peringatan Sumpah Pemuda pun makin menguat. Beberapa peneliti dan aktivis menilai bahwa ritual tahunan ini tidak boleh berhenti pada seruan moral, tapi harus menjadi kontrak sosial dua arah antara negara dan pemuda. Negara tak cukup hanya menagih kesetiaan; ia juga wajib memberi jaminan kesejahteraan, akses pendidikan, dan ruang partisipasi politik yang setara (Aspinall & Fealy, Sparks of Democracy: Youth, Activism, and the State in Indonesia, 2020). Ini Pernyataan ganjil bagi Kekuasaan hari ini, tetapi kebenaran di pihak pemuda, jika makna " Satu" dalam sumpah pemuda tersebut masih diyakini masih layak eksistensinya dijaga.

Tentu kita tidak ingin lagi mengulang cerita dari balik parit-parit Flanders 1914, jika semangat sumpah 28 Oktober ingin dihidupkan sebagai energi pembebasan. Kita ingin makna " satu" ini bukan tumbal dari istilah Nasionalisme, tetapi sebagai alat terapi kebijakan untuk menyediakan jembatan perjuangan bagi para pemuda, dimana jarak antara pemuda yang bernama " Fitrah" dan " Gibran" tidak dibatasi oleh istilah elit.

Itu sebaik-baiknya sumpah yaitu sumpah yang relevan dengan kebutuhan aktual, yang punya ukuran, punya gaya, punya rasa yang bisa dinikmati langsung. Jika tidak mau yang seperti ini, ya artinya kita masih menyiapkan diri untuk menjadi tumbal pertempuran, tumbal kebijakan dan tumbal elit di episode kebangsaan berikutnya.