PedomanBengkulu.com, Bengkulu – Dalam perjalanan reformasi birokrasi dan penataan tenaga kerja pemerintah, semangat efisiensi dan profesionalisme harus berjalan seiring dengan keadilan bagi para tenaga honorer yang selama ini menjadi bagian penting dari pelayanan publik di daerah.
Namun, di banyak daerah dengan kemampuan fiskal terbatas seperti Provinsi Bengkulu, kebijakan pembatasan belanja pegawai yang diatur pemerintah pusat justru menjadi tantangan serius dalam menjaga keseimbangan antara aturan dan realitas.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Hj Leni Haryati John Latief mengatakan, ia menyaksikan langsung bagaimana pemerintah daerah berjuang menyesuaikan struktur belanja agar tetap sesuai dengan ketentuan.
"Persentase maksimal belanja pegawai yang ditetapkan pemerintah pusat sering kali sulit diterapkan secara ideal di daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang masih rendah. Akibatnya, ruang fiskal daerah menjadi sempit, sementara di sisi lain, masih banyak tenaga honorer yang telah lama mengabdi belum sepenuhnya bisa diangkat menjadi PPPK penuh waktu," kata Hj Leni Haryati John Latief, Rabu (15/10/2025).
Lulusan Magister Administrasi Publik Universitas Bengkulu ini menjelaskan, masalah ini bukan sekadar soal administrasi keuangan, melainkan menyentuh aspek keadilan sosial dan keberlanjutan pelayanan publik.
"Banyak honorer yang selama ini menjadi tulang punggung pelayanan dasar di sekolah, puskesmas, hingga perkantoran desa terancam kehilangan kepastian kerja karena keterbatasan anggaran. Padahal, mereka telah berkontribusi nyata bagi kemajuan daerah dan layak mendapatkan penghargaan yang setimpal," ujar Hj Leni Haryati John Latief.
Ketua Badan Koordinasi Majelis Taklim Masjid Dewan Masjid Indonesia (BKMM-DMI) Provinsi Bengkulu ini menekankan, DPD RI berpandangan bahwa kebijakan nasional harus memperhatikan disparitas fiskal antarwilayah.
"Pemerintah pusat perlu memberikan fleksibilitas fiskal bagi daerah ber-PAD rendah, termasuk dalam penerapan batas belanja pegawai. Mekanisme penyesuaian bertahap, skema insentif fiskal, atau dukungan transfer tambahan dari APBN bisa menjadi solusi agar daerah tetap patuh pada regulasi tanpa harus mengorbankan tenaga honorer," ungkap Hj Leni Haryati John Latief.
Pembina Bundo Kanduang Provinsi Bengkulu ini menambahkan, pembangunan nasional yang berkeadilan tidak bisa diseragamkan begitu saja, sebab setiap daerah memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda.
"Fleksibilitas bukan bentuk pelanggaran terhadap disiplin fiskal, melainkan bentuk keadilan struktural agar setiap daerah dapat tumbuh sesuai potensinya tanpa meninggalkan mereka yang telah lama mengabdi. Saatnya kebijakan fiskal nasional berpihak pada daerah yang masih berjuang," demikian Hj Leni Haryati John Latief. [**]
