Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Membongkar "Tender Doa": Ustadz Yusuf Mansur

Sebuah kontroversi merebak ketika Ustadz Yusuf Mansur (UYM) memperkenalkan konsep "doa berbayar" dengan tarif tertentu. Banyak yang langsung menyalahkan, menuduhnya mengkomersialkan agama dan mengeksploitasi keimanan umat. Namun, sebelum kita terjebak dalam penilaian yang hitam-putih, mari kita selami lebih dalam logika dan pesan di balik tindakannya yang sering disalahtafsirkan ini.

Mengapa Pengorbanan Besar Dianggap Membuat Doa Lebih Makbul?

UYM menggunakan analogi yang tajam dan duniawi: "Siapa yang membayar lebih tinggi, dialah yang memenangkan tender." Ini bukanlah menyamakan Tuhan dengan panitia tender proyek. Ini adalah metafora untuk menjelaskan sebuah prinsip spiritual yang sangat mendasar dalam Islam:

Hukum Sebab-Akibat (Kausalitas): Dunia ini diatur oleh sebab dan akibat. Jika Anda ingin panen padi yang lebat, Anda harus bersusah payah menanam dan merawatnya. Dalam konteks doa, "usaha" dan "pengorbanan" (baik harta, waktu, atau tenaga) adalah "sebab" yang kita tanam. Doa yang disertai pengorbanan besar adalah doa yang disertai "usaha" maksimal untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Tingkat Kesesakan dan Keikhlasan: 

Bayangkan dua orang yang berdoa meminta kesembuhan. Satu berdoa sambil lalu, yang lain berdoa dengan penuh harap setelah menyedekahkan harta yang sangat ia cintai. Mana yang lebih menunjukkan kesungguhan? Pengorbanan harta yang besar seringkali menjadi cermin dari tingkat keikhlasan, kepasrahan, dan kesungguhan hati yang lebih dalam. Inilah yang disebut juhd (kesungguhan). Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah:245 yang artinya, "Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (infak & sedekah), maka Allah akan melipatgandakan balasannya..."

Membersihkan Harta dan Hati: 

Harta yang disedekahkan adalah proses pensucian. Semakin besar sedekah, semakin banyak "kotoran" duniawi yang dibersihkan dari harta dan hati kita. Doa yang dipanjatkan dari hati dan harta yang bersih lebih dekat untuk dikabulkan.

Jadi, "tarif tinggi" yang dimaksud Ustadz YM bukanlah harga pasaran doa, melainkan simbol dari tingkat pengorbanan dan kesungguhan seseorang dalam menjemput takdir baik dari Allah. Ini adalah bentuk "perlombaan dalam kebaikan" (fastabiqul khairat).

Membongkar Realita

Banyak yang menuduh Ustadz YM mengkomersialkan agama. Justru sebaliknya, yang beliau lakukan adalah sebuah kritik sosial dan bentuk edukasi yang provokatif.

Namun, benarkah "tarif" doa itu ada? Dalam percakapan pribadi dengan penulis, UYM menegaskan: "[10/14, 07:57] ga bener juga kalo saya minta dibayar, hahaha. [10/14, 07:57] UYM: itu mah, asli candaan betawi... [10/14, 07:57] UYM: siniin martabak lah... rokok... tar gue doain luh... [10/14, 07:57] UYM: ya masa iya, beneran minta martabak." Pernyataan ini mengindikasikan adanya unsur candaan dan kritik sosial di balik konsep "tender doa".

Beliau tidak ingin umat tertidur dan menganggap praktek komersialisasi agama itu tidak ada. Dengan terang-terangan menyebut angka, beliau justru membuka mata umat akan sebuah realita yang sudah lama terjadi namun dibungkus dengan bahasa yang samar.

Fakta dan Data Tarif Ceramah & Doa di Kalangan Selebritas Dakwah:

Berikut adalah kisaran tarif yang beredar di kalangan event organizer dan publik (angka bisa berubah dan sangat bergantung pada popularitas, durasi, dan lokasi):

Ustadz level "Superstar": Rp 75.000.000 - Rp 200.000.000 bahkan lebih per sesi (1,5-2 jam).

Ustadz level "Top": Rp 25.000.000 - Rp 75.000.000 per sesi.

Ustadz level "Menengah": Rp 5.000.000 - Rp 25.000.000 per sesi.

Ustadz level "Lokal/Pemula": Rp 500.000 - Rp 5.000.000 per sesi, atau bahkan hanya dengan "sangu" (uang transportasi dan akomodasi).

Ini belum termasuk syarat tambahan seperti tiket pesawat kelas bisnis, akomodasi hotel bintang 5, dan mobil penjemputan yang mewah.

Apa yang dilakukan UYM dengan transparansinya adalah:

Membongkar Hipokrisi: Daripada berbisik-bisik di belakang layar tentang "honorarium yang mahal", beliau mengatakannya di depan. Ini memaksa umat untuk berpikir kritis.

Mengajarkan Umat untuk "Berdagang" dengan Allah: Jika kita rela membayar puluhan juta untuk mendengar ceramah seorang manusia, seharusnya kita lebih rela lagi untuk "membayar" (bersedekah) dengan jumlah yang besar untuk "mendengar" dan dikabulkan doa oleh Allah, Sang Pencipta.

Menyamakan Persepsi: 

Daripada ada ustadz yang mengatakan "ikhlas saja" tapi diam-diam meminta tarif tinggi, UYM lebih jujur. Kejujuran ini, meski pahit, lebih terhormat daripada kemunafikan.

Sebuah Cermin bagi Umat

Ustadz Yusuf Mansur sedang meletakkan sebuah cermin besar di depan wajah kita semua. Cermin itu menunjukkan dua hal:

Realita yang Pahit: 

Bahwa telah terjadi praktek komersialisasi dakwah yang masif. Umat rela mengeluarkan uang banyak untuk "produk" dakwah, tetapi seringkali lupa untuk menginvestasikan harta mereka langsung kepada "Sumber Segala Jawaban", yaitu Allah, melalui sedekah yang tulus.

Prinsip Spiritual yang Terlupakan: 

Bahwa kekuatan doa berbanding lurus dengan kekuatan pengorbanan. Ini adalah sunnatullah yang tidak berubah.

Jadi, marilah kita tidak terburu-buru menghakimi. Mari kita renungkan pesan mendalam di balik kontroversi ini. Apakah kita sudah lebih mengagungkan "pembawa pesan" daripada "Sang Pemberi Pesan"? Apakah kita lebih rela membayar untuk hiburan rohani daripada membayar (dengan bersedekah) untuk mengubah takdir kita sendiri?

Ini bukan tentang Ustadz Yusuf Mansur. Ini tentang kita, tentang keadaan umat, dan tentang perlunya kita kembali kepada esensi beribadah dan bermuamalah dengan cara yang lebih sadar dan kritis. Itulah mungkin inti dakwah beliau yang sesungguhnya. Wallahu a'lam. Saeed Kamyabi.