Oleh: Ronald Reagen
"Rakyat tidak menghakimi dengan cara yang sama seperti pengadilan; mereka tidak menjatuhkan hukuman, mereka melemparkan petir; mereka tidak mengutuk raja, mereka menjatuhkannya kembali ke dalam kehampaan; dan keadilan ini sama nilainya dengan keadilan pengadilan."
— Maximilien Robespierre, 26 Juli 1794 —
Beberapa pesan singkat masuk ke WA saya, sebagian besar bercerita tentang kondisi chaos yang melanda Jakarta, lalu merembet ke beberapa provinsi lain. Tensi publik mendidih setelah seorang driver ojol digilas rantis aparat yang beratnya puluhan ton, alat represif yang ironisnya dibeli dari uang rakyat.
Beberapa WAG jaringan kota mulai tegang. Kawan-kawan berhipotesis tentang kemungkinan konflik dalam beberapa hari ke depan, sampai pada siapa aktor intelektual (analisis standar dalam membaca skenario) yang menunggangi, dan memompa tensi publik demi mendorong kekacauan.
Sampai tulisan ini dibuat, belum ada tanda-tanda ketegangan menurun. Tapi siapa tahu besok atau lusa? Yang pasti aparat sudah menekan sirine siaga satu, pertanda aksi sweeping dan moncong senjata sudah mulai bekerja.
Lalu apa yang melatarbelakangi semua ini? Mari kita tarik sepotong tali sejarah ratusan tahun lalu untuk membaca realita Indonesia hari ini.
Sejarah mengingatkan, suara rakyat bukan sekadar protes, tapi akumulasi kekecewaan dan tekanan kebutuhan. Ledakan yang telah melampaui analisis standar, melampaui aturan, bahkan bisa saja menghapus tatanan lama. Lihatlah Prancis abad ke-18: ketika estate I (klerus) dan estate II (bangsawan) hidup nyaman tanpa pajak, sementara estate III—97% rakyat biasa—menanggung seluruh beban. Ketimpangan itu meledak jadi petir yang meruntuhkan monarki sekejap mata. Walau sebagian sejarawan kiri menyebut Revolusi Prancis sebagai revolusi borjuis, kita tak bisa menutup mata bahwa dorongan massa, comune, dan rakyat jelata lahir dari ketidakadilan struktural yang menumpuk hingga tak tertahankan.
Jika kita membaca Muqaddimah karya Ibn Khaldun, terlihat jelas bahwa salah satu faktor penentu nasib sebuah negara terletak pada kebijakan pajaknya. Sederhananya, semakin tinggi beban pajak yang dikenakan kepada rakyat, semakin tertekan pula produktivitas ekonomi. Pajak yang berlebihan justru menutup pintu pertumbuhan, menjadikan ekonomi lesu, dan pada akhirnya membuka jalan menuju “pintu gerbang kematian”—runtuhnya sebuah negara. Alurnya berlangsung demikian: ketika pajak menjadi beban memberatkan, rakyat akan tercekik, aktivitas ekonomi melambat, penerimaan negara menurun, hingga berujung pada kegagalan fiskal yang menggerogoti sendi-sendi kekuasaan. Jika kondisi ini ditambah dengan akumulasi utang negara, gaya hidup hedonis para elit, serta korupsi yang sudah mendarah daging, maka lengkaplah ciri-ciri sebuah negara yang tidak lagi dapat diselamatkan. Situasi ini hanya menunggu waktu sebelum meledak menjadi kerusuhan massa, di mana kemarahan rakyat tak lagi terkendali (lihat Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Ismail Yakub, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011, hlm. 493).
Indonesia hari ini, meski hidup di bawah republik dengan prosedur demokrasi, memperlihatkan pola serupa. Pajak dan biaya hidup terus naik, upah buruh stagnan, guru dibayar rendah meski memikul tanggung jawab besar, sementara pejabat negara hidup dalam kemewahan dari uang publik. Tunjangan perumahan puluhan juta rupiah, mobil dinas, fasilitas istimewa, semua dibiayai dari kantong rakyat. Kekuasaan yang mestinya representatif menjelma menjadi oligarki politik dan ekonomi: “Estate I dan II” baru, sementara rakyat pekerja tetap jadi “Estate III” yang menopang segalanya.
Sistem politik kita menyerupai blackhole: siapa pun yang masuk, yang cerdas, bersih, idealis, cepat atau lambat terhisap logika uang dan patronase. Organisasi mahasiswa dan kepemudaan yang seharusnya jadi motor perubahan tercerai-berai, banyak yang tunduk atau kompromi. Sisanya, yang masih bertahan memperjuangkan nilai, sering kelelahan dan terfragmentasi.
Ratusan tahun lalu, Voltaire sudah mengingatkan: “Jika Anda ingin tahu siapa yang berkuasa atas Anda, lihatlah siapa yang tidak boleh Anda kritik.” Di Indonesia, rakyat kecil bebas dicaci, tapi kritik pada elit politik atau konglomerat langsung berhadapan dengan sensor, buzzer, kriminalisasi, atau bahkan penjara. Nyawa pun bisa jadi tumbal. Intel disebar untuk menanamkan ketakutan, sementara aparat menindak penyampaian pendapat seolah kriminal.
Jika memakai kacamata Rousseau dengan teori kontrak sosialnya, Indonesia hari ini adalah kontradiksi demi kontradiksi: rakyat menyetor pajak, tapi hasilnya dipakai memperkuat privilese elit, bukan membangun keadilan. Estate III versi Indonesia—buruh, pekerja, guru, petani—menopang surplus, sementara elit menikmati hasil tanpa menanggung risiko. Di atas semua itu, mereka masih bisa menyemburkan kata-kata pongah yang tak tahu malu.
Semua tanda krisis sosial sudah naik ke permukaan: pajak regresif menghantam kelas bawah, pendidikan mahal, beban kerja guru tak sebanding dengan upah, harga kebutuhan pokok terus melambung. Di atasnya, elit berpolitik dengan tenang, memelihara dinasti, dan terus memindahkan beban ke pundak rakyat. Kontradiksi ini semakin tajam, dan sejarah mengajarkan: kontradiksi yang tak terselesaikan selalu melahirkan ledakan.
Revolusi Prancis memperingatkan kita bahwa titik didih kesadaran massa bisa meruntuhkan sistem dalam sekejap. Indonesia hari ini seperti “hamil tua.” Apakah ini sekadar kontraksi palsu ala Braxton Hicks, atau justru jalan persalinan sejarah benar-benar terbuka?
Sejarah dunia juga mencatat, banyak perubahan besar lahir dari gerakan tanpa komando. Dari Revolusi Prancis, Arab Spring, Occupy Wall Street, semua lahir bukan karena satu tokoh besar, tapi karena rakyat biasa menemukan keberanian kolektifnya. Barangkali, kericuhan hari ini bukan sekadar gejolak spontan, melainkan kontraksi dari sebuah kelahiran—saat rakyat menulis bab baru sejarah dengan tangannya sendiri.
Mari kita tunggu sambil menarik lengan baju.
Penulis adalah koordinator Jaringan Kota Wilayah Barat.
