Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE
Berita Terkini

Industrialisasi Kejahatan: Negara Jahat dan Krisis Legitimasi Moral dalam Era Kontemporer

Oleh    : Ronald Reagen

Pendahuluan

Dalam konteks negara modern, konsep kekuasaan dan moralitas seringkali dianggap sebagai dua hal yang beriringan; negara sebagai institusi yang menjaga tatanan melalui legitimasi moral yang diakui publik. Namun, fenomena terkini menunjukkan adanya pergeseran drastis—negara tidak lagi hanya berfungsi sebagai pelindung moralitas, melainkan mulai mengindustrialisasi kejahatan sebagai mekanisme sentral pengelolaan kekuasaan. Tulisan ini berusaha mengurai bagaimana negara "jahat" menghapuskan legitimasi moralnya, mengorganisir kekacauan sebagai strategi produksi, dan menjadikan kejahatan sebagai komoditas utama dalam mesin kekuasaannya.

Negara dan Legitimasi Kekuasaan: Dari Hobbes ke Weber

Thomas Hobbes dalam karya Leviathan-nya memandang negara sebagai monster rasional yang hadir untuk mencegah keadaan perang semua melawan semua. Negara menjadi institusi yang memegang kendali agar kekerasan tidak lepas kendali. Max Weber melanjutkan dengan definisi negara sebagai entitas yang memegang monopoli kekerasan yang sah (monopoly on the legitimate use of physical force). Namun, pertanyaan fundamental muncul: Siapa yang mendefinisikan “sah” dan “legitimasi”?

Legitimasi bukanlah entitas yang inheren atau murni; ia adalah konstruksi sosial dan politik yang diproduksi untuk menjaga hegemoni kekuasaan dan menolak potensi kekacauan yang dianggap mengancam tatanan. Dalam perspektif ini, moralitas publik bukan refleksi nilai-nilai universal, melainkan alat yang digunakan elit untuk mengontrol dan memanipulasi masyarakat.

Negara Jahat: Telanjang Tanpa Ilusi Legitimasi

Berbeda dengan negara ideal yang beroperasi dalam kerangka moralitas, negara “jahat” menanggalkan ilusi legitimasi moral tersebut. Ia terbuka dan eksplisit dalam mengorganisasi kekerasan dan kejahatan bukan sebagai efek samping, melainkan sebagai inti dari fungsinya. Kejahatan menjadi mesin produksi yang dirancang secara sistematis untuk mengatur dan mengelola masyarakat dalam skala global.

Contoh konkret muncul dalam industri narkotika yang diproduksi dan didistribusikan dengan mekanisme logistik yang rapi, serta dipelihara ketergantungan masyarakat. Korupsi tidak lagi menjadi patologi, melainkan norma birokrasi. Industri seks dilegalkan dan dikontrol negara, menjadikan manusia dan seksualitas sebagai komoditas ekonomi. Perang proksi dan perdagangan senjata diorganisir untuk menjaga konflik tetap berkepanjangan demi keuntungan ekonomi.

Kekuasaan Tanpa Wajah: Negara dalam Era Kontrol Digital

Giorgio Agamben mengemukakan konsep "keadaan darurat permanen," sedangkan Gilles Deleuze melanjutkan bahwa kekuasaan kini tidak memerlukan wajah atau legitimasi tradisional, melainkan beroperasi sebagai sistem kendali yang terdistribusi dan terkodifikasi. Negara jahat tidak lagi beroperasi dalam batas teritorial konvensional, melainkan dalam sistem global yang mengelola data, perilaku, dan ketergantungan manusia sebagai bahan baku.

Konsekuensinya, konsep “rakyat” sebagai subjek politik dihapuskan, berganti menjadi pengguna, akun, atau data dalam jaringan sistem kendali. Masyarakat menjadi objek manipulasi yang dipaksa menghasilkan trafik dan ketergantungan, mengurangi potensi kritik dan perlawanan melalui degradasi intelektual yang dihasilkan oleh ketergantungan terhadap narkotika, pornografi, dan bentuk hiburan lainnya.

Post-Anthropos dan Krisis Etika

Dalam kerangka ini, negara jahat bukanlah kegagalan, melainkan evolusi kekuasaan di era modern. Dunia tanpa etika universal dan moralitas tradisional menuju fase post-anthropos—di mana manusia tidak lagi diukur oleh nilai-nilai etis, melainkan oleh metrik, skor, dan nilai ekonomis dalam sistem produksi komoditas.

Kekerasan, penderitaan, dan ketergantungan manusia menjadi bagian dari kalkulasi sistemik yang dimonetisasi dan dioptimalkan untuk pertumbuhan ekonomi. Negara jahat membuka tabir dunia yang selama ini dibalut oleh baju moral dan legitimasi—sekarang terlihat sebagai mesin kematian yang efisien, bukan mimpi buruk, tapi realitas manusia itu sendiri.

Kesimpulan

Kritik terhadap industrialisasi kejahatan oleh negara jahat menuntut kita untuk merefleksikan ulang konsep kekuasaan, moralitas, dan legitimasi di zaman kontemporer. Dalam menghadapi realitas ini, narasi perbaikan dunia melalui meritokrasi atau reformasi moral menjadi tidak memadai. Negara jahat adalah model produksi baru yang menyatukan kekuasaan dengan kejahatan dalam sistem global yang terstruktur.

Oleh karenanya, perjuangan melawan negara jahat tidak cukup dengan mengandalkan konsep moral tradisional, tetapi perlu strategi kritis yang mampu membongkar sistem kendali yang kompleks dan memikirkan bentuk perlawanan baru di era digital dan global ini.