Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE
Berita Terkini

Simulakra : Cinta Untuk Penjara

Oleh: Ronald Reagen 

Apa arti realitas di zaman digital ini? Apa makna menjadi manusia ketika diri kita direduksi menjadi data, konten, dan impresi?

Jean Baudrillard menyebut ini sebagai simulakra—kondisi di mana representasi tidak lagi mencerminkan kenyataan, tetapi menjadi kenyataan itu sendiri. Tapi bahkan Baudrillard mungkin tidak membayangkan bahwa kita, manusia modern, justru akan jatuh cinta pada penjara ilusi itu.

Kita bukan hanya korban. Kita adalah pecandu. Pecandu dopamine dari notifikasi, dari reels TikTok yang tak ada habisnya, dari tweet yang dikurasi untuk memancing emosi paling primitif. Studi dari Digital 2023 Global Overview Report mencatat: manusia rata-rata menghabiskan lebih dari 6 jam per hari di ruang digital, dan 2,5 jam hanya untuk media sosial. Ini bukan sekadar kebiasaan. Ini adalah bentuk baru dari eksistensi.

Kita hidup bukan untuk mengalami hidup, tapi untuk mengarsipkannya. Kita menciptakan narasi, bukan karena kita ingin dikenang, tapi karena kita takut tidak terlihat.

Kita membentuk identitas yang bisa dijual. Kita bukan lagi individu yang otentik, melainkan profil digital yang disesuaikan dengan tren, dengan pasar, dengan algoritma. Dalam dunia seperti ini, kebebasan tidak hilang, tapi diubah bentuknya: dari perjuangan menjadi pilihan konsumtif. Kita bebas memilih apa saja—selama kita tidak mempertanyakan kenapa pilihan itu tersedia.

Seperti kata Herbert Marcuse, ini bukan kebebasan. Ini bentuk dominasi yang dibungkus dalam estetika liberal.

Waktu pun tidak lagi mengalir. Ia membeku dalam arsip-arsip digital: foto, story, komentar. Sejarah bukan lagi untuk dipelajari, tapi untuk dikomentari. Kebenaran bukan untuk dipahami, tapi untuk diviralkan. Kita tidak mencari pemahaman; kita mengejar perhatian.

Dan dalam proses itu, kita kehilangan ruang untuk diam. Untuk merenung. Untuk mengenali luka, kekosongan, dan absurditas yang seharusnya jadi bagian dari eksistensi manusia.

Filsafat hari ini tidak dibaca—ia dikutip di caption Instagram. Nietzsche, Kierkegaard, Camus... mereka bukan lagi pemantik renungan, tapi dekorasi visual. Eksistensialisme direduksi jadi merchandise.

Maka, jika dulu Nietzsche bilang "Tuhan telah mati," maka hari ini kita harus bilang: Manusia telah mati. Yang tersisa hanyalah bayangannya—yang viral.

Kita tidak lagi bertanya: “Siapa aku?”

Yang kita tanyakan adalah: “Versi diriku yang mana yang paling banyak dilihat hari ini?”

Dan mungkin... di tengah lautan ilusi ini, satu-satunya revolusi yang tersisa adalah keberanian untuk diam. Untuk bertanya. Untuk tidak membagikan.