Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Bukan Ramadhan Biasa

Oleh Indah Kartika Sari, SP

Ramadhan adalah tamu agung yang dinantikan oleh setiap orang. Tak peduli tua muda, laki-laki perempuan, semuanya bersuka cita sambut Ramadhan. Walau rasa itu sama, namun gaya menyambutnya berbeda-beda. Ada yang sekedar gembira karena rutinitas belaka. Ada juga yang  menyambut Ramadhan dengan harap-harap cemas. Berharap agar Ramadhan dan keutamaannya segera datang disertai berbagai persiapan matang dalam menyambutnya. 

Bercampur aduk juga dengan perasaan khawatir, kalau-kalau usia tak sampai untuk menggapainya. Betapa banyak orang yang telah mendahului kita, tak sempat menikmati Romadhan karena ajal telah lebih dahulu sampai mendahului datangnya Ramadhan. Oleh karena itu kita dianjurkan untuk berdoa bahkan merengek kepada Allah agar menyampaikan diri kita pada Bulan Ramadhan. 

Rasulullah ketika memasuki bulan Rajab beliau berdoa: Allahumma bariklana fi rajaba wa Sya'bana wa ballighna Ramadhana. (HR. Al Bazzar dan At-Thabrani dalam kitab Awsath dan Baihaqi dalam Fadhailul Awqat)

Doa ini tidak lain adalah sebagai bentuk kepasrahan luar biar seorang hamba di hadapan al Kholiq akan takdirnya dan secercah harapan agar Dia mempertemukannya dengan Ramadhan. Bahkan setelah bertemu dengan Ramadhan pun,  seorang hamba yang mengetahui hakekat Ramadhan berharap agar Ramadhan dapat berlangsung terus sepanjang tahun.  

Rasulullah sedemikian indah menggambarkan ini dalam hadistnya : 
“Seandainya umat manusia mengetahui pahala ibadah di bulan Ramadhan, maka niscaya mereka akan meminta agar satu tahun penuh menjadi ramadhan.” (HR. Tabrani, Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi).

Walaupun Ramadhan menawarkan limpahan pahala yang luar biasa, sayangnya seperti tahun-tahun sebelumnya, suasana Ramadhan masih sama. Terasa biasa saja. Masjid-masjid tampak ramai dipenuhi jamaah hanya di awal ramadhan.  Sedikit demi sedikit jamaah menghilang di akhir Ramadhan. Pasar tradisional maupun modern berlomba-lomba menyenandungkan lagu-lagu yang bernuansa islami.  

Toko-toko busana muslimah laris diserbu pelanggan.  Demikian juga dengan tayangan televisi, semua stasiun berlomba-lomba membuat tontonan bernuansa religi. Namun fenomena ini akan hilang begitu Ramadhan berakhir. Seakan-akan  Ramadhan hanya sebatas persinggahan sejenak untuk melepaskan kepenatan dari rutinitas bulan-bulan sebelumnya.  

Sementara kualitas ibadah dan kepribadian  sesudah Ramadhan tak jauh berbeda dengan sebelum Ramadhan.

Benar, Ramadhan tahun ini sepertinya juga akan sama dengan Ramadhan-Ramadhan sebelumnya. 

Pada umumnya umat Islam akan tersibukkan dengan rutinitas peribadatan yang hampir kehilangan spiritnya. Sama halnya dengan rutinitas persoalan masyarakat yang sampai saat ini tak kunjung selesai.  Persoalan yang dimulai dari bidang politik pemerintahan hingga eksosbudhankam seperti: krisis kepemimpinan, korupsi, kemiskinan, persoalan gelandangan dan anak terlantar jalanan, pengangguran, tawuran, persoalan pergaulan yang semakin bebas pada generasi muda dan akibat yang ditimbulkannya (seperti freesex dan aborsi), hingga persoalan kenaikan harga pangan menjelang hari besar seperti Ramadhan atau lebaran nanti. Itu semua merupakan setitik persoalan dari ribuan persoalan yang kehadirannya tetap mewarnai hari-hari di bulan Ramadhan.  

Lantas bagaimana suasana Ramadhan di Bengkulu ? Ternyata kondisinya tidak jauh berbeda dengan kota-kota besar lainnya. Persoalan masyarakat nampaknya tetap mewarnai perjalanan Ramadhan tahun ini. 

Berbagai masalah sosial masyarakat di Bengkulu mulai merebak ke tahap yang mengkhawatirkan. 

Sebagai contoh kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak yang dilakukan kalangan keluarga sendiri di Bengkulu berada di posisi teratas se-Indonesia. Kemudian kasus narkoba yang terbilang tinggi serta kasus kriminal lainnya. Tingginya angka kriminalitas di Bengkulu, menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakatnya masih rendah. Terlebih lagi persoalan kemiskinan dan stunting masih menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai.  Apalagi kemiskinan ini dipicu oleh tingginya angka pengangguran.  

Lantas apa sesungguhnya makna ramadhan di balik rutinitas persoalan yang datang silih berganti ?  Tidakkah ramadhan dapat membawa makna perubahan  bagi seluruh umat Islam mulai  dari rakyat sampai pemimpinnya ?
            
Ramadhan demi ramadan berlalu. Seharusnya tidak dianggap sebagai momen yang biasa saja.  Sebab Ramadhan merupakan bulan yang istimewa. Allah berikan kesempatan yang luas untuk meraup pahala sebanyak-banyaknya. Ramadhan ibarat kepompong yang mampu merubah ulat buruk rupa menjadi kupu-kupu  yang  indah.  Demikian perumpamaan orang yang memaknai Ramadhan sebagai tempat membina diri meraih taqwa.  

Jika ‘buah’ dari puasa adalah takwa, tentu idealnya umat  Islam menjadi orang-orang yang taat kepada Allah SWT tidak hanya di bulan Ramadhan saja. Juga tidak hanya dalam tataran ritual dan individual semata. Ketakwaan kaum Muslim sejatinya terlihat juga di luar bulan Ramadhan sepanjang tahun dalam seluruh tataran kehidupan mereka.  Fakta yang terjadi malah sebaliknya. Setelah Ramadhan berlalu, justru umat Islam kembali jauh dari ketaatan pada Allah SWT. Masjid-masjid akan kembali sepi padahal sebelumnya dipadati oleh jamaah. 

Senandung lagu islami di mal-mal atau pusat perbelanjaan akan segera berganti lagi dengan lagu-lagu non religi. Tayangan televisi berubah lagi menjadi tayangan hiburan yang berbau pornografi dan pornoaksi. Busana-busana taqwa dan kitab suci akan tersimpan di lemari sampai Ramadhan tahun depan. Perbuatan maksiat semakin merajalela. Kehidupan rakyat terasa semakin sulit. Kemakmuran dan kesejahteraan terasa makin jauh dari harapan. Penguasa semakin abai dari tanggung jawabnya mengatur urusan umat. Sekularisme (pengabaian agama dari kehidupan) dan liberalisme tetap mendominasi kehidupan umat Islam. 

Bahkan setelah Ramadhan, tak ada dorongan dari kebanyakan umat Islam, khususnya para penguasanya, untuk bersegera menegakkan hukum-hukum  SWT secara formal dalam segala aspek kehidupan melalui institusi negara. Bahkan diantara mereka ada yang tetap dalam keyakinannya, bahwa hukum-hukum Islam tidak perlu dilembagakan dalam negara, yang penting subtansinya. Anehnya, pemahaman seperti ini juga menjadi keyakinan sebagian tokoh-tokoh agama Islam. Keyakinan semacam ini menunjukkan satu hal, mereka seolah ridha dengan hukum-hukum sekular yang ada (yang nyata-nyata batil dan kufur) dan seperti keberatan jika hukum-hukum Islam diterapkan secara total oleh negara dalam seluruh aspek kehidupan mereka. 

Spirit “bukan ramadhan biasa” hendaknya dijadikan sebagai momentum untuk segera kembali membumikan Islam kaaffah di seluruh aspek kehidupan. Jangan jadikan Ramadhan bulan biasa yang  hanya diisi dengan aktivitas ibadah ritual saja.  Namun juga momen yang  luar biasa untuk meraih ketaatan totalitas sehingga ramadhan tahun ini menjadi lebih bermakna dan luar biasa.