Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Lingkungan Ramah Anak Belum Tercipta

BENGKULU, PB - Yayasan PUPA melansir 95 persen pelaku kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang tahun 2016 merupakan orang yang dikenal korban dan memiliki relasi personal seperti suami, pacar atau keluarga kandung lainnya (ayah, paman dan kakak). Artinya, pelaku ini adalah orang-orang terdekat dengan korban.

Dengan fakta itu, maka dibutuhkan suatu rumusan khusus dimanakah tempat yang paling aman untuk anak. Tempat tersebut apakah rumah atau sekolah. Karena kedua tempat ini nyatanya belum aman bagi anak.

"Dulu, rumah adalah tempat teraman bagi anak. Tentu tidak untuk saat ini. Kita tahu bahwa rumah ternyata juga menawarkan ancaman kekerasan bagi anak. Sekolah? Apakah sekolah adalah tempat yang aman bagi anak. Jawabannya tentu saja belum. Karena faktanya, masih ada anak yang mengalami kekerasan fisik maupun psikologis yang dilakukan oleh teman sebaya atau guru seperti bullying dan pelecehan seksual," jelas Kepala Yayasan PUPA, Susi Handayani, melalui rilis yang diterima media ini, Senin (24/7/2017)

Dari pengalaman pendampingan di 8 sekolah, 1 komunitas anak di kelurahan Pondok Besi dan anak-anak berhadapan dengan hukum di LPKA Malabero Kota Bengkulu, Yayasan PUPA masih temukan banyak persoalan yang terjadi pada anak. Diantaranya Bullying, Pelecehan Seksual, KDP (Kekerasan dalam Pacaran), Modus Trackfiking di Sosial Media, Cyber Bullying. Padatnya jadwal sekolah juga membuat anak-anak terbatas beraktivitas di lingkungan rumah atau komunitas.

Lingkungan yang ramah pada anak saat ini juga belum tercipta. Sebab di lingkungan, anak sering terancam pada proses pembangunan yang tidak berperspektif kepentingan terbaik anak. Misalnya tidak tersedia ruang bermain yang memadai, anak menghisap asap rokok orang dewasa setiap waktu, terdampak polusi dan terancam jiwanya oleh predator seksual, pelaku perdagangan anak, dan anak di eksploitasi untuk kepentingan politik dan kepentingan-kepentingan orang dewasa.

Dengan fenomena ini, maka wajar bila Indonesia saat ini dihadapkan pada kondisi darurat kekerasan seksual. Berdasarkan data Forum Pengadaan Layanan yang dirilis oleh Komnas Perempuan dalam CATAHU 2016, kekerasan di ranah komunitas mencapai angka 3.092 kasus (22%). Dimana, kekerasan seksual menempati peringkat pertama sebanyak 2.290 kasus (74%), diikuti kekerasan fisik 490 kasus (16%) dan kekerasan lain di bawah angka 10%; yaitu kekerasan psikis 83 kasus (3%), buruh migran 90 kasus (3%); dan trafiking 139 kasus (4%).

Jenis kekerasan yang paling banyak pada kekerasan seksual di ranah komunitas adalah perkosaan (1.036 kasus) dan pencabulan (838 kasus). Fakta menunjukkan bahwa kekerasan seksual menempati posisi tertinggi untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.

"Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Provinsi Bengkulu. Berdasarkan catatan pendokumentasian yang dilakukan oleh Yayasan PUPA, menunjukkan kekerasan seksual tetap mendominasi yaitu berada pada angka 65% dari 275 kasus," jelasnya.

Saat ini pemerintah Bengkulu, lanjut dia, melalui DPRD Provinsi Bengkulu sedang mengagendakan sebuah regulasi untuk pembangunan ketahanan keluarga, dimana akan diusulkan dan dipersiapkan adanya Perda Ketahanan Keluarga. Ke depan, Perda ini dapat memuat secara eksplisit maupun implisit mengenai partisipasi keluarga dalam penghapusan kekerasan seksual.

"Melalui Perda ini, kita semua berharap akan ada sebuah kebijakan yang menjadi pedoman untuk penguatan fungsi keluarga demi menuju keluarga yang berketahanan dan terhindar dari segala bentuk kekerasan," ujarnya.

Untuk itu, mereka mengajak seluruh elemen masyarakat, terkhusus Anggota DPRD Komisi IV Provinsi Bengkulu untuk berkomitmen mendukung mekanisme perlindungan anak berbasis sekolah terwujud di sekolah. Selanjutnya, mendukung dan berkomitmen untuk melibatkan anak dalam proses perumusan dan pembuatan kebijakan terkait perlindungan anak.

Ketiga, mendukung lahirnya kebijakan penanganan kekerasan bagi perempuan dan anak. Dan terakhir, menuntaskan Perda ketahanan keluarga sebagai landasan hukum untuk menguatkan fungsi keluarga dalam penghapusan KTPA. [CHO]