Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

'Mata Gelap' Mencerahkan Pandangan

Bedah Buku Mata GelapJAKARTA, PB - Mau tahu kisah pergundikan di zaman Hindia-Belanda? Baru-baru ini penerbit Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER) menerbitkan ulang novel karya Mas Marco Kartodikromo, Mata Gelap.

Novel tersebut pertama kali terbit tahun 1914 dengan judul: Mata gelap: tjerita jang soenggoeh kedjadian ditanah Djawa. Penulis novel ini, Mas Marco Kartodikromo, adalah aktivis pergerakan dan jurnalis terkemuka zaman itu.

Beberapa waktu yang lalu, Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini bekerjasama dengan Indonesia untuk Kemanusiaan (IKA) menggelar diskusi sekaligus meluncurkan novel Mata Gelap yang diterbitkan ulang oleh Jaker itu, di jalan Cikini 43 Jakarta.

Diskusi bertajuk Pergundikan, Kolonialisme dan Nasionalisme itu menghadirkan empat narasumber, yaitu Koesalah Soebagyo Toer (penulis dan penerjemah), Dr Retor AW Kaligis (Sosiolog), Masita Riany (Pegiat Sastra), dan Minaria Cristyn Natalia (Ketua API Kartini).

Menurut Koesalah, yang juga menjadi penyunting buku ini, novel Mata Gelap sebetulnya ada empat bagian. Yang diterbitkan oleh Jaker hanya bagian dua dan tiga. Sedangkan bagian satu dan empatnya belum ditemukan hingga sekarang.

“Di PDS HB Jassin dan Perpustakaan Nasional, yang menjadi sumber naskah ini (terbitan Jaker, red) hanya ada bagian dua dan tiga,” jelas penulis yang juga adik kandung dari Pramoedya Ananta Toer ini.

Yang menarik, kata Koesalah, novel ini sebetulnya tidak hanya bicara praktek pergundikan di zaman kolonial, tetapi juga memperlihatkan imbas praktek pergundikan pada kelas menengah pribumi.

Menurut Koesalah, mereka yang berstatus gundik Belanda, serta kelas menengah dalam pergaulannya, hidup mewah tanpa berbuat apa-apa untuk bangsanya yang tengah diperjuangkan oleh sebagain orang yang sadar (baca: kaum pergerakan).

“Mereka sekedar meneruskan kesenangan yang meninabobokan semangat,” jelas Koesalah.

Hal tersebut, lanjut dia, tergambar jelas pada kondisi sosial perempuan maupun laki-laki pribumi yang mencoba mengubah kehidupan dengan cara menyandingkan diri dengan orang yang memiliki derajat lebih tinggi.

Sementara itu, Retor Kaligis mencoba melihat kelahiran Novel karya Mas Marco itu dari setting sosial zaman itu.

“Jika dilihat dalam sejarahnya, tahun tersebut merupakan era politik etis kolonialisme Belanda. Era dimulainya pendidikan bagi kaum pribumi. Bisa dilihat pada tokoh-tokoh di novel ini, seperti Subriga, Amce, dan Sucina, yang merupakan kalangan terdidik dan bekerja sebagai pegawai rendahan,” paparnya.

Di sisi lain, kata dia, eksploitasi kolonial menguras habis sumber daya alam dan kapasitas produktif kaum pribumi. Di sisi lain, ada iming-iming untuk semakin konsumtif.

“Kontradiksi antara ketidakmampuan membeli dan iming-iming membeli serta menguatnya budaya konsumtif yang terus menggerus inilah yang kemudian menjadikan kaum pribumi mengambil jalan pintas,” jelasnya.

Situasi itulah, ungkap Retor, yang mendorong sebagian pribumi memilih jalan pergundikan sekalipun melabrak sistim sosial yang ada pada saat itu.

Sementara Masita Riany melihat karya-karya Marco, yang menggambarkan realitas sosial saat itu, sebagai pelopor dari realisme sosialis.

Selain itu, melalui pilihan bahasa yang unik, yaitu Melayu rendah, Marco telah melakukan perlawanan terhadap Commissie voor de Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) yang mempropagandakan bahasa melayu tinggi.

Masita, yang tiap hari bergelut dengan sastra ini, bercita-cita menjadikan Mata Gelap karya Marco ini sebuah script naskah teater sehingga bisa dipentaskan dan dinikmati banyak orang.

Sedangkan Minaria mencoba melihat pergundikan dalam konteks perjuangan anti-kolonial zaman itu. Menurut dia, ada juga gundik zaman itu yang terlibat dalam perjuangan anti-kolonial. Dia merujuk pada Nyai Ontosoroh dalam tetralogi Pramoedya Ananta Toer dan Nyai Dasimah.

“Nyai Ontosoroh adalah seorang perempuan tangguh yang berwawasan luas, cerdas, serta ibu yang mampu mengerjakan banyak pekerjaan yang diwarisi oleh suaminya orang Belanda. Sedangkan Retna Permata tidak menunjukkan sifat-sifat tersebut,” jelasnya.

Menurut Minar, dengan membaca novel Mata Gelap tidak akan menggelapkan mata, tetapi justru mencerahkan dan mendatangkan pengetahuan baru mengenai konteks sosial zaman itu. [BO]