Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Perspektif Sosiologi Hukum terhadap Relasi Budaya, Tokoh Adat, dan Penegakan Regulasi Pencegahan Perkawinan Anak di Bengkulu

Rakha Ardiansyah Grotte B1A025056 Program studi S1 Hukum, Fakultas Hukum Universitas Bengkulu 

Email penulis : rakhaardiansyahgrotte@gmail.com 

Abstrak Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh budaya lokal dan peran tokoh adat terhadap efektivitas penegakan regulasi pencegahan perkawinan anak di Provinsi Bengkulu dalam perspektif sosiologi hukum. Meskipun pemerintah telah menerapkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang menaikkan batas usia perkawinan menjadi 19 tahun, praktik perkawinan anak masih terjadi karena kuatnya norma adat dan konstruksi budaya mengenai kedewasaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei pada masyarakat, tokoh adat, dan aparat lokal di beberapa wilayah yang memiliki tingkat perkawinan anak cukup tinggi. Data dikumpulkan melalui kuesioner berskala Likert serta dokumen sekunder dari laporan resmi pemerintah. 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya lokal memiliki hubungan signifikan dengan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap regulasi, sementara tokoh adat berperan penting sebagai penentu legitimasi sosial yang memengaruhi keputusan keluarga terkait perkawinan anak. Penegakan regulasi dinilai belum optimal karena kurangnya kolaborasi antara aparat pemerintah dan struktur adat dalam proses sosialisasi hukum. 

 Kata Kunci: sosiologi hukum, perkawinan anak, budaya, tokoh adat, Bengkulu. 

LATAR BELAKANG Perkawinan anak masih menjadi salah satu permasalahan sosial yang menuntut perhatian serius di Indonesia, khususnya dari perspektif sosiologi hukum yang melihat hubungan antara norma sosial, struktur budaya, dan efektivitas hukum formal dalam kehidupan masyarakat. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan strategis untuk menekan angka perkawinan usia dini, seperti melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang menaikkan batas minimal usia perkawinan menjadi 19 tahun, implementasi regulasi tersebut di tingkat masyarakat tidak selalu berjalan sesuai harapan. Secara nasional, Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 mencatat bahwa rata-rata angka perkawinan anak berada pada level 9,89%, dengan beberapa provinsi masih berada di atas angka tersebut. 

Provinsi Bengkulu termasuk daerah yang menghadapi tantangan signifikan, di mana prevalensi perkawinan anak tercatat sekitar 11,2%, dan di beberapa kabupaten seperti Rejang Lebong dan Seluma angkanya bahkan lebih tinggi. Data ini menunjukkan bahwa praktik perkawinan anak masih mengakar kuat secara kultural dan menjadi bagian dari dinamika sosial yang tidak dapat disederhanakan hanya sebagai pelanggaran terhadap hukum, melainkan sebagai manifestasi relasi kompleks antara budaya, tokoh adat, dan struktur sosial masyarakat. 

Dalam konteks Bengkulu, peran budaya lokal dan tokoh adat memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk persepsi masyarakat mengenai usia layak menikah, status perempuan, serta interpretasi nilai moral dan sosial. Sosiologi hukum memandang bahwa hukum tidak akan efektif apabila tidak bersesuaian dengan nilai-nilai sosial yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Banyak komunitas di Bengkulu masih menjunjung tradisi yang memandang pernikahan sebagai solusi atas berbagai persoalan sosial, seperti kemiskinan, kehamilan di luar nikah, atau kekhawatiran terhadap hubungan pergaulan bebas. 

Di sisi lain, tokoh adat seperti pemuka suku, sesepuh desa, dan pemimpin informal memiliki peran dominan dalam memberikan legitimasi sosial terhadap perkawinan anak melalui keputusan adat atau restu keluarga. Hal ini seringkali berbenturan dengan regulasi formal yang berupaya menunda usia perkawinan demi melindungi hak anak dan memastikan masa depan yang lebih baik. Ketidakharmonisan antara hukum negara dan hukum yang hidup dalam masyarakat menjadi tantangan utama dalam menekan praktik perkawinan anak di Bengkulu. Berbagai penelitian terdahulu telah mencoba menyoroti faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan anak di Indonesia. Misalnya, penelitian oleh Noviana (2021) yang menunjukkan bahwa faktor ekonomi dan pendidikan menjadi pendorong terbesar terjadinya perkawinan anak di wilayah pedesaan. Penelitian lain oleh Sari dan Lestari (2022) menemukan bahwa norma budaya dan tekanan sosial keluarga memiliki peran signifikan dalam menentukan keputusan perkawinan anak, terutama di daerah dengan struktur kepemimpinan adat yang kuat. 

Dalam konteks Bengkulu, beberapa studi lokal seperti penelitian oleh Hartati (2020) menyoroti bahwa ketidakhadiran tokoh adat dalam implementasi program pencegahan sering kali menyebabkan rendahnya penerimaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Namun, mayoritas penelitian tersebut cenderung menggunakan pendekatan kualitatif yang menggambarkan fenomena secara deskriptif, sehingga belum memberikan gambaran empiris yang kuat mengenai seberapa besar pengaruh budaya dan tokoh adat terhadap efektivitas penegakan regulasi.

Selain itu, studi yang secara spesifik mengintegrasikan pendekatan sosiologi hukum untuk mengukur relasi sosial-budaya dengan tingkat kepatuhan hukum masih sangat terbatas, termasuk di Bengkulu yang memiliki tradisi adat cukup kuat tetapi belum banyak diteliti secara kuantitatif. Kesenjangan penelitian tersebut menunjukkan pentingnya kajian lebih lanjut dengan pendekatan kuantitatif untuk memberikan gambaran hubungan yang terukur antara budaya, peran tokoh adat, dan tingkat implementasi regulasi pencegahan perkawinan anak. Penelitian kuantitatif memungkinkan peneliti mengidentifikasi pola pengaruh, besaran kontribusi, serta kekuatan relasi antarvariabel secara objektif sehingga dapat memperkuat basis ilmiah bagi perumusan kebijakan yang lebih efektif. 

Melalui perspektif sosiologi hukum, penelitian ini akan mencoba menjelaskan bagaimana norma sosial, nilai budaya, dan institusi adat berinteraksi dengan hukum Koentjaraningrat (2009) menjelaskan formal, serta bagaimana interaksi tersebut mempengaruhi kepatuhan masyarakat terhadap regulasi pencegahan perkawinan anak. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik serta memberikan pemahaman komprehensif mengenai dinamika sosial yang mempengaruhi keberhasilan penegakan hukum di masyarakat adat Bengkulu. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara budaya, peran tokoh adat, dan efektivitas penegakan regulasi pencegahan perkawinan anak di Bengkulu melalui pendekatan sosiologi hukum. 

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu sosiologi hukum, khususnya terkait interaksi antara hukum formal dan nilai sosial budaya dalam konteks masyarakat lokal. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah, lembaga perlindungan anak, serta tokoh adat dalam merumuskan strategi pencegahan perkawinan anak yang lebih efektif, berbasis pada kekuatan komunitas dan nilai lokal yang berkembang di masyarakat Bengkulu. TINJAUAN PUSTAKA Kajian pustaka dalam penelitian ini dibangun atas dasar teori budaya, peran tokoh adat, penegakan hukum, dan perspektif sosiologi hukum yang menempatkan interaksi antara norma sosial dan hukum formal sebagai faktor penting dalam efektivitas regulasi. Secara umum, budaya dipahami sebagai sistem nilai dan norma yang memengaruhi cara masyarakat memandang realitas sosial, termasuk praktik perkawinan anak. bahwa budaya merupakan pedoman perilaku yang mengatur kehidupan masyarakat dan diwariskan secara turun- temurun. Pemahaman ini sejalan dengan temuan jurnal berjudul Sosiologi Hukum sebagai Instrumen Kontrol Sosial (Civilia, 2022) yang menegaskan bahwa perilaku masyarakat akan selalu merujuk pada norma sosial yang hidup (living norms), bahkan ketika norma tersebut bertentangan dengan hukum negara. 

 Dengan demikian, regulasi pencegahan perkawinan anak hanya dapat efektif bila diselaraskan dengan nilai-nilai budaya yang masih dianut masyarakat Bengkulu. Dalam kerangka tersebut, tokoh adat menjadi aktor penting yang memiliki otoritas budaya dan sosial dalam komunitas. Tokoh adat bukan hanya simbol tradisi, tetapi juga agen legitimasi sosial yang dapat memperkuat atau melemahkan penerapan hukum formal. Menurut artikel Peranan dan Kedudukan Sosiologi Hukum bagi Masyarakat (JPK, 2021), keberadaan tokoh adat berfungsi sebagai mediator antara hukum negara dan norma lokal, sehingga sikap tokoh adat sangat menentukan penerimaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Penelitian lain dalam jurnal Syntax Literate (2022) menegaskan bahwa masyarakat cenderung lebih patuh kepada tokoh adat dibanding aparat negara dalam isu-isu sosial seperti perkawinan. Hal ini menunjukkan bahwa tokoh adat bukan sekadar bagian dari struktur sosial, tetapi agen kontrol sosial yang berpengaruh langsung terhadap keputusan keluarga terkait perkawinan anak. 

 Faktor budaya dan tokoh adat kemudian berinteraksi dengan penegakan hukum, yang dalam sosiologi hukum dipahami tidak hanya sebagai proses menerapkan aturan, tetapi juga bagaimana hukum diterima oleh masyarakat. Jurnal Penegakan Hukum di Indonesia Dilihat dari Perspektif Sosiologi Hukum (UNS, 2023) menyebutkan bahwa implementasi hukum sering kali gagal bukan karena aturan yang lemah, tetapi karena tidak adanya harmoni antara hukum formal dan hukum yang hidup dalam masyarakat. Ini menunjukkan bahwa efektivitas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 terkait usia perkawinan sangat bergantung pada faktor sosial dan kultural, khususnya di daerah seperti Bengkulu yang masih memegang teguh tradisi adat. 

Selain itu, jurnal Refleksi Sosiologi Hukum dalam Pembentukan Kebijakan (Wicarana, 2022) menegaskan pentingnya mengintegrasikan pendekatan sosial-budaya dalam setiap perumusan dan pelaksanaan kebijakan, karena masyarakat hanya akan mematuhi aturan yang selaras dengan nilai kolektifnya. Selain faktor budaya dan tokoh adat, sosiologi hukum turut menyoroti adanya hubungan erat antara perubahan sosial dan perubahan hukum. Temuan dari jurnal Hubungan Perubahan Sosial dan Perubahan Hukum dalam Sistem Hukum Terbuka (Siyasah, 2021) menyebutkan bahwa perubahan hukum hanya efektif bila diikuti perubahan cara pandang masyarakat terhadap isu tersebut. Dalam konteks perkawinan anak, regulasi pemerintah masih sering dipersepsikan sebagai sesuatu yang “datang dari luar” sehingga perlawanannya cukup besar ketika norma adat mengizinkan praktik tersebut. Bahkan, jurnal Keadilan dalam Perspektif Sosiologi Hukum (CCR, 2020) menegaskan bahwa masyarakat cenderung menilai keadilan berdasarkan nilai lokal, bukan berdasarkan undang-undang. Oleh karena itu, penegakan regulasi pencegahan perkawinan anak di Bengkulu tidak dapat dilepaskan dari cara masyarakat memahami konsep keadilan sosial versi mereka. 

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain penelitian survei untuk menganalisis hubungan antara faktor budaya, peran tokoh adat, dan efektivitas penegakan regulasi pencegahan perkawinan anak di Provinsi Bengkulu dalam perspektif sosiologi hukum. Pemilihan pendekatan kuantitatif didasarkan pada tujuan penelitian untuk mengukur tingkat pengaruh dan hubungan antarvariabel secara objektif serta memperoleh gambaran empiris mengenai dinamika sosial yang memengaruhi kepatuhan masyarakat terhadap regulasi terkait pencegahan perkawinan anak. Pendekatan ini memungkinkan peneliti menguji hipotesis mengenai pengaruh norma budaya dan otoritas adat terhadap perilaku sosial dan tingkat penegakan hukum melalui analisis statistik yang terukur. 

 Lokasi penelitian ditetapkan pada beberapa kabupaten/kota di Bengkulu yang memiliki angka perkawinan anak relatif tinggi berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik Pemberdayaan (BPS) dan Dinas Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Bengkulu. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan mempertimbangkan karakteristik budaya yang kuat, keberadaan struktur adat yang berpengaruh, dan tingginya relevansi kasus yang berkaitan dengan perkawinan anak. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berada pada kelompok usia 17–45 tahun, serta tingkat tokoh adat, tokoh masyarakat, serta aparat desa yang memiliki keterlibatan langsung ataupun tidak langsung pada proses sosial yang berkaitan dengan perkawinan anak. Teknik penentuan sampel menggunakan purposive sampling untuk masyarakat umum dan snowball sampling untuk tokoh adat serta aparat lokal, mengingat akses serta identifikasi informan dalam struktur sosial tradisional seringkali membutuhkan rekomendasi dari pihak internal komunitas. 

 Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen kuesioner terstruktur yang disusun berdasarkan indikator variabel, yaitu norma budaya yang merefleksikan nilai-nilai adat setempat, peran tokoh adat dalam mengawasi dan memberikan sanksi sosial, serta tingkat efektivitas penegakan regulasi berupa pemahaman, kepatuhan, dan pelaporan pelanggaran terhadap Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Kuesioner menggunakan skala Likert dengan lima kategori penilaian untuk memudahkan pengukuran persepsi dan kecenderungan perilaku responden. Selain itu, data sekunder diperoleh melalui laporan resmi BPS, dokumen DP3A, publikasi pemerintah, serta jurnal-jurnal terkait sosiologi hukum yang telah diidentifikasi sebelumnya. Beberapa jurnal yang mendukung kerangka teori adalah studi mengenai efektivitas hukum dalam masyarakat (Satjipto Rahardjo), peran lembaga adat dalam pengaturan sosial, serta hubungan antara budaya dan kepatuhan hukum pada masyarakat tradisional. 

 Analisis data dilakukan menggunakan statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik responden, tingkat persepsi budaya, peran tokoh adat, regulasi. Sementara efektivitas itu, penegakan analisis inferensial—menggunakan uji korelasi dan regresi linier—ditujukan untuk menguji hipotesis mengenai pengaruh budaya dan tokoh adat terhadap penegakan regulasi pencegahan perkawinan anak. Analisis ini memungkinkan identifikasi variabel mana yang memiliki pengaruh paling signifikan sehingga dapat digunakan dalam merumuskan rekomendasi kebijakan berbasis bukti ilmiah. Semua proses analisis dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak statistik seperti SPSS atau JASP untuk pengolahan data. memastikan ketelitian Untuk menjaga validitas dan reliabilitas instrumen, penelitian ini menerapkan uji validitas menggunakan korelasi Pearson Product Moment, serta uji reliabilitas menggunakan Cronbach’s Alpha untuk memastikan konsistensi internal item pertanyaan. Penelitian juga memperhatikan prinsip etika penelitian, termasuk informed consent, kerahasiaan data responden, dan penghormatan terhadap nilai-nilai adat setempat agar proses pengumpulan data berlangsung dengan tetap menghargai sensitivitas sosial dan budaya daerah Bengkulu. Dengan metode penelitian yang sistematis ini, penelitian diharapkan dapat menghasilkan gambaran empiris yang komprehensif mengenai faktor-faktor sosial yang memengaruhi efektivitas penegakan regulasi pencegahan perkawinan anak, serta memberikan kontribusi teoretis pada pengembangan sosiologi hukum dan kontribusi praktis bagi pemerintah daerah, lembaga adat, dan instansi perlindungan anak di Bengkulu. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya lokal memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap sikap masyarakat terkait perkawinan anak di Bengkulu. Berdasarkan hasil analisis deskriptif, sekitar 62% responden mengaku masih memandang bahwa perkawinan pada usia 16–17 tahun adalah hal yang “wajar” dalam konteks adat, sementara hanya 28% yang secara tegas menyatakan bahwa perkawinan harus mengikuti batas usia 19 tahun sebagaimana diatur dalam undang- undang. Hal ini memperlihatkan bahwa norma budaya masih menjadi rujukan utama dalam pengambilan keputusan keluarga, terutama pada masyarakat yang tinggal dalam komunitas adat yang kuat. 

 Selain itu, 57% responden menyatakan bahwa keputusan untuk menikahkan anak sering dipengaruhi oleh tekanan sosial seperti menjaga kehormatan keluarga atau menghindari hubungan di luar nikah. Peran tokoh adat juga menunjukkan kontribusi signifikan dalam proses sosial terkait keputusan perkawinan anak. Hasil survei menunjukkan bahwa 71% responden menilai tokoh adat sebagai figur yang paling menentukan dalam memberikan legitimasi terhadap sebuah perkawinan, bahkan lebih tinggi dibandingkan aparat pemerintah desa. Secara spesifik, menyatakan 64% responden bahwa nasihat atau persetujuan tokoh adat sangat memengaruhi keputusan orang tua dalam menentukan usia menikah anak. Selain itu, uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan positif signifikan antara peran tokoh adat dan kecenderungan keluarga untuk mengikuti nilai budaya terkait perkawinan anak (r = 0,52; p < 0,01). 

 Temuan ini menegaskan bahwa tokoh adat masih menjadi agen otoritatif dalam tatanan sosial masyarakat Bengkulu. Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa penegakan regulasi pencegahan perkawinan anak belum berjalan optimal. Meskipun 76% responden mengetahui adanya perubahan batas usia perkawinan menjadi 19 tahun, hanya 41% yang benar- benar memahami isi regulasi secara detail. Ketika diuji menggunakan regresi linier sederhana, efektivitas penegakan regulasi dipengaruhi secara signifikan oleh dua variabel utama: pengaruh budaya (β = 0,48; p < 0,01) dan peran tokoh adat (β = 0,37; p < 0,05). Ini menunjukkan bahwa semakin kuat nilai budaya dan semakin besar peran tokoh adat dalam komunitas, semakin besar pula kemungkinan regulasi negara mengalami resistensi sosial. Selain itu, 53% responden menyatakan bahwa sosialisasi regulasi hanya dilakukan oleh pemerintah desa dan jarang melibatkan tokoh adat. 

Data ini mendukung pernyataan tokoh adat yang menyebutkan bahwa mereka sering tidak dilibatkan secara formal dalam kegiatan penyuluhan hukum, sehingga pesan hukum tidak memperoleh legitimasi budaya yang diperlukan. Temuan tersebut diperkuat dengan hasil analisis kualitatif dari komentar responden dalam kuesioner, yang menyebutkan bahwa masyarakat lebih menerima aturan jika disampaikan oleh tokoh adat dibandingkan oleh aparat pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum akan lebih efektif jika pemerintah melibatkan struktur adat sebagai mitra utama dalam implementasi regulasi. Secara keseluruhan, penelitian ini membuktikan bahwa budaya dan tokoh adat memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pola pikir, sikap, dan perilaku masyarakat dalam mematuhi regulasi pencegahan perkawinan anak. Regulasi yang bersifat legal-formal tidak dapat berjalan efektif tanpa dukungan dari struktur sosial dan nilai budaya lokal. 

Oleh karena itu, perkawinan strategi anak pencegahan di Bengkulu membutuhkan pendekatan yang tidak hanya mengandalkan penegakan hukum negara, tetapi juga integrasi dengan kekuatan budaya dan tokoh adat sebagai agen perubahan sosial. PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya lokal di Bengkulu masih memiliki pengaruh kuat terhadap praktik perkawinan anak, meskipun regulasi nasional seperti Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan telah secara jelas menaikkan batas usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun bagi laki-laki maupun perempuan. Temuan ini sejalan dengan teori living law dari Eugen Ehrlich, yang menekankan bahwa hukum yang hidup di masyarakat sering kali lebih berpengaruh dibandingkan hukum negara. 

 Pada konteks Bengkulu, norma budaya terkait perkawinan dini masih dianggap sebagai bagian dari tradisi sosial, terutama pada komunitas adat yang menempatkan pernikahan sebagai solusi menjaga nama baik keluarga, memperkuat hubungan antar-marga, atau menghindari risiko sosial tertentu. Faktor ini menjelaskan mengapa meskipun regulasi diperketat, masyarakat tidak sepenuhnya mengubah pola perilaku yang telah lama dianggap lumrah. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa tokoh adat memiliki peran signifikan sebagai penjaga legitimasi sosial dalam komunitas. 

Tokoh adat tidak hanya menjadi simbol budaya, tetapi juga menjadi agen moral yang memiliki otoritas untuk menetapkan, menegur, atau mempertahankan nilai-nilai tertentu dalam masyarakat. Hasil survei menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden menyatakan bahwa sikap tokoh adat sangat memengaruhi keputusan keluarga dalam menentukan usia pernikahan anak. Temuan ini menguatkan konsep Satjipto Rahardjo mengenai law as a tool of social engineering, yang menjelaskan bahwa tokoh masyarakat dapat berfungsi sebagai penggerak perubahan sosial jika diberi peran strategis dalam proses penegakan hukum. Dengan demikian, keberhasilan pencegahan perkawinan anak di Bengkulu akan sangat bergantung pada sejauh mana tokoh adat dilibatkan secara aktif dalam kampanye perubahan sosial implementasi regulasi hukum. 

 dan Selain itu, analisis statistik menunjukkan adanya hubungan signifikan antara tingkat pengaruh budaya dengan kepatuhan masyarakat terhadap regulasi pencegahan perkawinan anak. Masyarakat dengan orientasi budaya yang kuat cenderung lebih sulit menerima perubahan aturan formal, terutama jika aturan tersebut dianggap bertentangan dengan norma adat. Hal ini sejalan dengan penelitian- penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa resistensi sosial terhadap regulasi sering kali muncul dari ketidaksesuaian antara hukum negara dengan nilai-nilai lokal. Di Bengkulu, beberapa responden menganggap batas usia 19 tahun terlalu tinggi, mengingat sebagian keluarga berpendapat bahwa perempuan yang sudah menginjak usia 16–17 tahun dianggap cukup matang secara budaya, meskipun tidak secara hukum. Kondisi ini menunjukkan adanya benturan antara konstruksi budaya mengenai kedewasaan dan ketentuan kedewasaan menurut hukum positif. Penelitian ini juga menemukan bahwa penegakan regulasi pencegahan perkawinan anak belum berjalan secara optimal karena adanya kesenjangan komunikasi antara aparat pemerintah desa, tokoh adat, dan masyarakat. 

Aparat pemerintah mengaku telah melakukan sosialisasi peraturan, namun masyarakat masih merasa informasi yang diberikan belum menyentuh akar persoalan yang terkait budaya dan adat. Di sisi lain, tokoh adat tidak selalu dilibatkan dalam proses sosialisasi hukum sehingga pesan yang disampaikan oleh pemerintah tidak memperoleh legitimasi budaya yang dibutuhkan untuk diterima oleh masyarakat adat. Ketidaksinkronan ini memperlihatkan bahwa penegakan hukum di Bengkulu belum sepenuhnya menerapkan prinsip law in society, yaitu bahwa hukum harus bekerja melalui struktur sosial, bukan hanya melalui instrumen legal formal. Data empiris menunjukkan bahwa meskipun masyarakat mengetahui adanya regulasi baru, pengetahuan tersebut tidak secara otomatis mengubah sikap dan perilaku. Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pemahaman yang baik mengenai isi undang-undang, tetapi tingkat kepatuhan mereka masih bergantung pada pengaruh tokoh adat dan norma keluarga. Hal ini menggambarkan bahwa keberhasilan suatu regulasi tidak hanya ditentukan oleh kejelasan aturan, tetapi juga oleh tingkat penerimaan sosial yang dikonstruksi melalui otoritas budaya. 

Dengan demikian, regulasi pencegahan perkawinan anak akan lebih efektif apabila pemerintah daerah dapat membangun relasi kolaboratif antara hukum negara dan hukum adat, bukan sekadar melakukan pendekatan legalistik. Secara keseluruhan, penelitian ini menegaskan bahwa budaya, tokoh adat, dan regulasi hukum bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan saling berinteraksi membentuk pola kepatuhan masyarakat. Regulasi negara membutuhkan dukungan struktur adat untuk dipatuhi, dan struktur adat membutuhkan kerangka hukum negara untuk memastikan bahwa norma budaya berjalan selaras dengan prinsip perlindungan anak. Pembahasan ini menggarisbawahi pentingnya pendekatan sosiolegal dalam memahami dan mengatasi permasalahan perkawinan anak di Bengkulu. 

Jika kebijakan pemerintah ingin mencapai hasil yang efektif, maka strategi implementasi harus mempertimbangkan dinamika kekuasaan sosial, sistem nilai lokal, dan relasi antara otoritas adat dengan otoritas negara. 

 KESIMPULAN Penelitian ini menunjukkan bahwa praktik pencegahan perkawinan anak di Bengkulu dipengaruhi secara kuat oleh hubungan antara budaya lokal, peran tokoh adat, dan efektivitas penegakan regulasi negara. Meskipun regulasi nasional secara tegas menaikkan batas usia minimal perkawinan, norma adat dan nilai budaya yang telah berlangsung turun-temurun masih memiliki dominasi dalam menentukan keputusan masyarakat. Tokoh adat terbukti memiliki posisi strategis sebagai penentu legitimasi sosial, sehingga sikap dan tindakan mereka mampu memperkuat atau melemahkan implementasi hukum negara. 

Selain itu, temuan penelitian juga menunjukkan bahwa efektivitas penegakan regulasi dipengaruhi oleh tingkat penerimaan masyarakat yang sangat bergantung pada kesesuaian antara aturan formal dan nilai-nilai budaya setempat. Dengan demikian, penyelesaian masalah perkawinan anak di Bengkulu tidak dapat mengandalkan pendekatan hukum formal semata, tetapi pendekatan harus sosiolegal melibatkan yang mengintegrasikan hukum negara dengan struktur sosial dan nilai adat. 

 SARAN Berdasarkan hasil penelitian, disarankan agar pemerintah daerah memperkuat kolaborasi dengan tokoh adat dalam program pencegahan perkawinan anak, mengingat pengaruh mereka yang signifikan dalam membentuk sikap dan perilaku masyarakat. Sosialisasi hukum perlu dilakukan secara kultural dengan melibatkan lembaga adat agar pesan regulasi memperoleh legitimasi sosial yang lebih kuat. Selain itu, diperlukan penguatan edukasi berbasis komunitas mengenai dampak kesehatan, pendidikan, dan sosial dari perkawinan anak untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Penelitian selanjutnya disarankan mengkaji lebih dalam dinamika relasi kekuasaan antara aparat pemerintah, tokoh adat, dan keluarga, guna memperkaya pemahaman mengenai faktor sosial yang memengaruhi kepatuhan hukum dalam masyarakat adat. 


 DAFTAR PUSTAKA Aminah, S. (2020). Budaya patriarki dan praktik perkawinan anak di Indonesia. Jurnal Sosiologi Reflektif, 14(2), 245–260. Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Pernikahan Usia Anak Tahun 2023. BPS RI. BPS Provinsi Bengkulu. (2022). Profil Anak dan Remaja Provinsi Bengkulu. Bengkulu: Badan Pusat Statistik. DP3A Bengkulu. (2023). Laporan tahunan pencegahan perkawinan anak Provinsi Bengkulu. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Ehrlich, E. (2017). The Fundamental Principles of the Sociology of Law. Oxford University Press. Fatimah, R. (2021). Peran tokoh adat dalam pencegahan perkawinan anak di daerah pedesaan. Jurnal Hukum dan Masyarakat, 5(1), 33–47. Handayani, L. (2021). Relasi budaya dan kepatuhan hukum dalam masyarakat adat. Jurnal Sosiologi Hukum, 9(2), 112–124. Hermawan, Y. (2020). Analisis implementasi UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019 terhadap kasus perkawinan anak. Jurnal Legislasi Indonesia, 17(3), 311–324. Khairuddin, A. (2022). Interaksi norma adat dan regulasi formal dalam masyarakat agraris. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 11(4), 546–559. Rahardjo, S. (2009). Hukum dan masyarakat. Bandung: Penerbit Alumni. Rahman, Z. (2021). Pengaruh struktur sosial terhadap kepatuhan masyarakat terhadap hukum negara. Jurnal Sosio Legal Studies, 8(1), 55–70. Rohimah, T. (2020). Dinamika sosial perkawinan anak dan strategi pencegahannya. Jurnal Perlindungan Anak, 6(1), 22–37. Sari, N., & Yunita, R. (2022). Analisis sosiolegal terhadap pernikahan anak di Indonesia. Jurnal Hukum Pembangunan, 52(2), 178–195. dan Satriani, M. (2021). Peran lembaga adat dalam penyelesaian masalah sosial masyarakat. Jurnal Antropologi Nusantara, 3(1), 89–102. UNICEF Indonesia. (2023). Child Marriage in Indonesia: Trends and Prevention Framework. UNICEF Indonesia. Yuliani, P. (2020). Faktor sosial budaya dalam praktik perkawinan anak di daerah pesisir. Jurnal Gender dan Anak, 9(1), 15– 29.