Jefti UlanDari (B1A025047), Fakultas Hukum Universitas Bengkulu
Abstrak
Penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa (APBDes) Jeranglah Tinggi, Kecamatan Manna, Bengkulu Selatan, memasuki tahap
lanjutan setelah Kejaksaan Negeri Bengkulu Selatan menerima pelimpahan Tahap II dari Unit
Tipikor Satreskrim Polres Bengkulu Selatan pada 17 November 2025. Pelimpahan tersebut
dilakukan setelah berkas perkara dinyatakan lengkap (P21), sehingga tersangka dan barang
bukti resmi dialihkan ke kewenangan kejaksaan untuk proses penuntutan.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena menyangkut pengelolaan keuangan desa serta akuntabilitas aparatur
pemerintahan desa. Artikel ini bertujuan memberikan gambaran singkat mengenai
perkembangan penanganan perkara, proses hukum yang berjalan, serta implikasi kasus
terhadap tata kelola pemerintahan desa.
Kata Kunci: Tipikor, APBDes, Jeranglah Tinggi, Bengkulu Selatan, P21, Pelimpahan Tahap II,
Penegakan Hukum, Korupsi Desa.
Abstract
The handling of the alleged corruption case (Tipikor) involving the Village Revenue and
Expenditure Budget (APBDes) of Jeranglah Tinggi Village, Manna Subdistrict, South Bengkulu,
has entered an advanced stage after the South Bengkulu District Prosecutor’s Office received
the Phase II handover from the Tipikor Unit of the South Bengkulu Police on November 17, 2025.
The handover was carried out after the case file was declared complete (P21), thus officially
transferring the suspects and evidence to the prosecutor’s authority for prosecution. This case
has attracted public attention as it involves village financial management and the accountability
of village government officials. This article aims to provide a brief overview of the case’s
handling, the ongoing legal process, and the implications of the case for village governance.
Keywords: Tipikor, APBDes, Jeranglah Tinggi, South Bengkulu, P21, Phase II Handover, Law
Enforcement, Village Corruption.
Pendahuluan
Korupsi di tingkat desa menjadi salah satu permasalahan serius yang memengaruhi kualitas
tata kelola pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat. Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa (APBDes) merupakan instrumen penting dalam pembangunan dan pelayanan publik di
tingkat desa. Namun, penyalahgunaan anggaran desa berpotensi menimbulkan kerugian negara,
menurunkan kepercayaan masyarakat, dan menghambat pembangunan lokal.
Kasus dugaan tindak pidana korupsi APBDes Jeranglah Tinggi, Kecamatan Manna, Kabupaten
Bengkulu Selatan, menjadi perhatian publik karena melibatkan pengelolaan dana desa yang
seharusnya transparan dan akuntabel. Pada 17 November 2025, Kejaksaan Negeri Bengkulu
Selatan menerima pelimpahan Tahap II dari Unit Tipikor Satreskrim Polres Bengkulu Selatan
setelah berkas perkara dinyatakan lengkap (P21). Tahap ini menandai berlanjutnya proses
hukum dari penyidikan menuju penuntutan, sekaligus menyoroti mekanisme penegakan hukum
terhadap aparatur desa yang diduga melakukan penyalahgunaan anggaran.
Pendahuluan ini bertujuan memberikan konteks mengenai pentingnya pengawasan pengelolaan
keuangan desa, dampak korupsi terhadap masyarakat, serta latar belakang kasus APBDes
Jeranglah Tinggi sebagai studi kasus yang relevan dalam kajian hukum dan sosiologi hukum di
Indonesia.
Kerangka Teori
Dalam menganalisis kasus dugaan korupsi di tingkat desa, pendekatan sosiologi hukum
menjadi relevan karena menekankan hubungan antara hukum, masyarakat, dan praktik sosial.
Beberapa teori yang dapat digunakan antara lain:
1. Teori Korupsi Weberian
Max Weber menekankan pentingnya birokrasi yang rasional, legal, dan akuntabel.
Penyalahgunaan wewenang aparatur desa dalam pengelolaan APBDes mencerminkan deviasi
dari prinsip birokrasi yang ideal.
2. Teori Fungsionalisme Sosial
Dari perspektif sosiologi fungsional, hukum berfungsi untuk menjaga keteraturan sosial. Kasus
korupsi desa mengganggu keseimbangan antara pemerintah desa dan masyarakat, serta
menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi hukum.
3. Teori Kontrol Sosial
Hukum dan institusi penegak hukum berperan sebagai mekanisme kontrol sosial. Pelimpahan
Tahap II ke kejaksaan menunjukkan penerapan kontrol formal untuk menegakkan akuntabilitas
aparatur desa.
4. Teori Akuntabilitas Publik
Pengelolaan keuangan desa harus transparan dan akuntabel. Korupsi APBDes menunjukkan
lemahnya mekanisme pengawasan internal maupun eksternal yang berpotensi merugikan
masyarakat.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan fokus pada analisis
dokumen dan studi kasus. Adapun metode yang diterapkan adalah:
1. Sumber Data
Dokumen resmi dari Kejaksaan Negeri Bengkulu Selatan dan Polres Bengkulu Selatan.
Laporan berita dan publikasi terkait dugaan korupsi APBDes Jeranglah Tinggi.
Literatur akademik tentang korupsi desa dan sosiologi hukum.
2. Teknik Pengumpulan Data
Observasi dokumen dan rekaman berita terkait kasus.
Analisis konten untuk menelaah proses hukum dan implikasi sosial dari kasus.
3. Teknik Analisis Data
Analisis deskriptif untuk memaparkan kronologi kasus.
Analisis sosiologi hukum untuk memahami hubungan antara hukum, masyarakat, dan praktik
korupsi di desa.
Hasil & Pembahasan
Hasil Penanganan Kasus
Kasus dugaan tindak pidana korupsi APBDes Jeranglah Tinggi memasuki Tahap II setelah
Kejaksaan Negeri Bengkulu Selatan menerima pelimpahan berkas dari Unit Tipikor Satreskrim
Polres Bengkulu Selatan pada 17 November 2025. Pelimpahan dilakukan setelah berkas perkara
dinyatakan lengkap (P21). Tahap ini menandai dimulainya proses penuntutan di kejaksaan,
termasuk pemeriksaan tersangka dan penyusunan dakwaan resmi.
Analisis Sosiologi Hukum
Dari perspektif sosiologi hukum, kasus ini menunjukkan beberapa hal:
1. Kelemahan Akuntabilitas Desa: Penyalahgunaan APBDes menandakan lemahnya mekanisme
pengawasan internal desa dan kurangnya transparansi pengelolaan dana publik.
2. Peran Hukum sebagai Kontrol Sosial: Pelimpahan Tahap II mencerminkan penerapan kontrol
formal melalui institusi hukum untuk menegakkan akuntabilitas aparatur desa.
3. Dampak Sosial dan Masyarakat: Kasus ini berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah desa dan memengaruhi partisipasi warga dalam pembangunan desa.
4. Keterkaitan dengan Teori Korupsi dan Akuntabilitas: Kasus ini sejalan dengan teori Weberian
tentang birokrasi rasional dan teori akuntabilitas publik yang menekankan transparansi,
pengawasan, dan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran publik.
Hasil analisis menunjukkan bahwa penegakan hukum yang konsisten diperlukan untuk
mencegah penyalahgunaan dana desa serta memperkuat tata kelola pemerintahan desa yang
transparan dan akuntabel.
Kesimpulan
1. Kasus dugaan korupsi APBDes Jeranglah Tinggi telah memasuki Tahap II setelah berkas
perkara dinyatakan lengkap, menandai proses hukum berlanjut dari penyidikan menuju
penuntutan.
2. Penyalahgunaan anggaran desa menunjukkan lemahnya mekanisme pengawasan internal
dan kurangnya akuntabilitas aparatur desa.
3. Penegakan hukum melalui pelimpahan Tahap II merupakan bentuk kontrol sosial untuk
memastikan pertanggungjawaban aparatur desa terhadap masyarakat.
4. Kasus ini menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan publik dalam
pengelolaan APBDes untuk mencegah korupsi dan meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Daftar Pustaka
1. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. (2023). Laporan Hasil Pemeriksaan
Pengelolaan Keuangan Desa. Jakarta: BPK.
2. Hasibuan, M. (2020). Sosiologi Hukum: Teori dan Aplikasi dalam Penegakan Hukum. Jakarta:
Prenadamedia Group.
3. Kejaksaan Negeri Bengkulu Selatan. (2025). Pelimpahan Tahap II Perkara Tipikor APBDes
Jeranglah Tinggi. Bengkulu Selatan: Kejari.
4. Weber, M. (1947). The Theory of Social and Economic Organization. New York: Oxford
University Press.
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
6. Tempo.co. (2025, November 18). Kasus Dugaan Korupsi APBDes Jeranglah Tinggi Masuk
Tahap Penuntutan.
.webp)