Rapat Koordinasi dan Evaluasi Hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Tahun 2024 bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali membuka satu kenyataan yang seharusnya menggugah seluruh aparatur pemerintahan Provinsi Bengkulu: skor Indeks Integritas Nasional (IIN) Bengkulu berada di angka 71,53, kategori rentan korupsi. Sebuah angka yang tidak boleh dianggap biasa-biasa saja, terlebih ketika pejabat KPK sendiri menegaskan bahwa kasus yang tampak di publik “hanya beberapa persen saja dari yang sebenarnya.”
Berbagai strategi teknis telah direncanakan, seperti digitalisasi layanan, peningkatan transparansi anggaran, penguatan SPIP, hingga evaluasi komprehensif SPI. Semua itu adalah langkah penting. Namun, ada satu persoalan yang jika tidak disentuh, maka selamanya korupsi hanya akan berpindah bentuk, berpindah tempat, dan terus berulang: ketiadaan rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan lemahnya keyakinan terhadap hari akhir dalam hati para aparatur.
Kita boleh memperbaiki sistem, memperketat pengawasan, atau mendesain aplikasi digital yang paling canggih. Namun selama hati manusia yang menjalankan sistem itu kosong dari iman, semua perangkat itu hanya akan menjadi hiasan administrasi. Sejarah menunjukkan, betapa pelaku korupsi bisa berasal dari orang yang paling paham regulasi, paling mengerti hukum, dan paling menguasai prosedur.
Masalahnya bukan semata kurangnya pengetahuan, tetapi kurangnya rasa takut kepada Allah, kurangnya keyakinan bahwa setiap harta haram akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat, dan setiap rupiah yang dicuri dari rakyat akan berubah menjadi azab bagi pelakunya.
Para aparatur dapat mempelajari modul integritas, mengikuti sosialisasi anti-gratifikasi, atau menandatangani komitmen bebas korupsi. Namun, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama, integritas tertinggi lahir dari iman yang kuat, bukan sekadar aturan yang dipaksakan.
Ketika seorang pejabat yakin bahwa Allah melihat setiap gerak-geriknya, bahwa malaikat mencatat setiap transaksi, dan bahwa ia akan berdiri sendiri mempertanggungjawabkan perbuatannya pada hari kiamat, maka ia tak akan berani melakukan kecurangan sekecil apa pun, meskipun tidak ada CCTV, tidak ada auditor, dan tidak ada aparat penegak hukum yang mengawasi.
Inilah yang terlupakan dalam banyak strategi pemberantasan korupsi: bahwa pencegahan korupsi harus dimulai dari pendidikan iman, pembinaan akhlak, dan penghidupan nilai-nilai takwa dalam hati para aparatur.
Gubernur Bengkulu telah menegaskan tahun 2025 sebagai tahun percepatan integritas, dengan tekad menjadikan Bengkulu sebagai provinsi yang bersih dan berintegritas. Ini komitmen yang sangat positif. Namun, agar percepatan itu benar-benar terjadi, maka percepatlah juga penguatan iman para aparatur.
Bentuklah program pembinaan spiritual yang berkelanjutan, bukan seremonial.Hidupkan kembali dakwah ala nubuwwah dan suasana yang menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Tegaskan bahwa jabatan adalah amanah yang kelak akan dihisab. Ciptakan lingkungan pemerintahan yang mendorong ketakwaan, bukan hanya kepatuhan administratif. Karena masalah korupsi bukan hanya soal lemahnya sistem tetapi lemahnya jiwa.
Kita semua berharap Bengkulu menjadi provinsi yang maju dan berintegritas. Namun mari kita sadari: sebesar apa pun upaya pemerintah, setegas apa pun KPK, dan secanggih apa pun teknologi pengawasan, korupsi tidak akan pernah padam jika hati manusia tidak takut kepada Allah dan tidak yakin akan siksa akhirat.
Oleh sebab itu, solusi paling mendasar dan paling efektif adalah menghidupkan kembali iman dalam hati setiap aparatur. Karena ketika hati takut kepada Allah, tangan tidak akan berani mengambil yang bukan haknya. Dan ketika keyakinan akan hari akhir tumbuh kuat, korupsi akan mati sebelum pernah terjadi.
Integritas sejati bukan sekadar kebijakan—tetapi buah dari ketakwaan.
