Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

KASUS GRATIFIKASI MANTAN GUBERNUR BENGKULU DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM


Penulis: TIARA MARSABELA (B1A025048), Fakultas Hukum Universitas Bengkulu

Bengkulu, November 2025 — Kasus yang menjerat mantan Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, telah menjadi salah satu skandal korupsi terbesar di provinsi ini. Bukan sekadar soal uang, tetapi juga melibatkan jaringan birokrasi, struktur kekuasaan lokal, dan mekanisme pendanaan politik. Analisis sosiologi hukum menegaskan bahwa akar masalahnya jauh melampaui kesalahan individu — ini soal budaya patronase, relasi sosial dalam birokrasi, serta kebijakan politik lokal.

I. Fakta Kasus: Kronologis & Bukti Hukum

1. Penetapan Tersangka & OTT

Pada 24 November 2024, KPK menetapkan Rohidin Mersyah sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi. Bersama Rohidin, KPK juga menahan Isnan Fajri (mantan Sekda Bengkulu) dan Evriansyah alias Anca (ajudan gubernur). Operasi Tangkap Tangan (OTT) dilakukan oleh KPK di Bengkulu pada 23 November 2024. 

2. Total Gratifikasi & Sumber Dana

Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menyatakan bahwa Rohidin menerima Rp 30,3 miliar dari berbagai pihak. 

Uang diterima dalam rupiah, serta mata uang asing (dolar AS dan Singapura). sumber dana antara lain: pengusaha batu bara (sekitar Rp 19,1 miliar), kepala daerah bupati di Bengkulu (sekitar Rp 2,1 miliar), politisi (Rp 3,5 miliar), keluarga pegawai Bank Bengkulu (Rp 2,3 miliar), dan direktur perusahaan (Rp 1,5 miliar + Rp 500 juta). 

Bantuan “non-uang” juga tercatat: 14.500 kaos senilai Rp 130 juta dari Asosiasi Pertambangan Batu Bara Bengkulu (APBB) melalui Kepala Dinas ESDM provinsi.  Pemberian uang dicatat dalam file Excel berjudul “Catatan Keuangan Anca”, yang ditemukan di laptop ajudan Rohidin, Evriansyah alias Anca. 

3. Penyitaan Aset

Pada 21 Februari 2025, KPK menyita empat bidang tanah terkait Rohidin: satu bidang tanah + rumah di Depok (Jawa Barat) dan tiga bidang tanah di Kota Bengkulu. 

Total taksiran nilai keempat aset tersebut adalah sekitar Rp 4,3 miliar. 

Penggeledahan juga dilakukan pada beberapa rumah pribadi, rumah dinas, dan kantor dinas di lingkungan Pemprov Bengkulu selama Desember 2024. 

4. Penyidikan ke Partai Politik

KPK mendalami permintaan dana oleh Rohidin ke partai politik. 

Dalam penyidikan, KPK memeriksa sejumlah anggota DPRD dan aparat pemerintahan terkait “bantuan” dari Rohidin kepada partai. 

5. Pemeriksaan Pejabat OPD

Tim penyidik KPK memanggil delapan pejabat Pemprov Bengkulu sebagai saksi, termasuk kepala dinas dan pejabat struktural OPD. 

Dalam kesaksian beberapa pejabat OPD, disebut bahwa ada instruksi pengumpulan uang dari berbagai pihak, termasuk kepala sekolah, untuk mendukung pemenangan Rohidin. 


II. Analisis Sosiologi Hukum: Akar Sosial dari Gratifikasi

Kasus ini bukan hanya soal uang ilegal, tetapi juga merupakan manifestasi dari pola-pola sosial-politik yang sudah lama tertanam di sistem pemerintahan lokal Bengkulu. Berikut analisis dari sudut sosiologi hukum:

1. Budaya Patron-Klien dan Patronase Politik

Di banyak daerah, termasuk Bengkulu, relasi sosial politik masih diwarnai hubungan patron-klien. Pejabat puncak seperti gubernur dianggap “patron” yang berkuasa memberi proyek, jabatan, atau fasilitas kepada “klien” (pengusaha, ASN, birokrat lokal).

Dalam  konteks Pilkada, dukungan finansial dari pengusaha dan aparat lokal bukan hanya sumbangan, tetapi bentuk investasi politik. Hal ini menciptakan “kewajiban timbal balik”: donor besar merasa punya hak untuk mendapatkan imbalan, dan pejabat merasa berkewajiban mengamankan dukungan itu agar tetap berkuasa.

2. Ketergantungan pada Modal Politik

Kampanye politik lokal menuntut biaya tinggi. Calon kepala daerah (termasuk Rohidin) memerlukan dana besar untuk logistik, media kampanye, dan mobilisasi massa.

Karena sumber pembiayaan resmi (partai, iuran) mungkin tidak cukup, para kandidat merangkul pengusaha atau tokoh lokal untuk menyuntik dana, yang kemudian dikembalikan dalam bentuk proyek, gratifikasi, atau jabatan.

3. Birokrasi Sebagai Mesin “Penggalang Dana”

Birokrasi Pemprov Bengkulu tampak diperalat sebagai kanal pengumpulan dana. Pejabat OPD diperintahkan untuk “menyumbang” uang dari berbagai aliran: honor tidak tetap, potongan anggaran, setoran dari kepala sekolah, dsb. 

Struktur hirarkis yang kuat membuat bawahan sulit menolak perintah pengumpulan dana, terutama jika perintah datang dari atas (gubernur atau sekda).

4. Normalisasi Korupsi dan Gratifikasi

Karena relasi patron-klien sudah lazim, tindakan memberikan dana kepada pejabat sering dianggap “hal wajar” dalam politik lokal. Beberapa donatur mungkin melihatnya sebagai “investasi”, bukan tindakan melanggar hukum.

Catatan keuangan Anca menunjukkan bahwa aliran dana ini dicatat rapi seperti keuangan kampanye formal — menandakan bahwa tindakan gratifikasi telah diinstitutionalisasi dan menjadi bagian dari mekanisme politik lokal.

5. Karencia Sistem Pengawasan Sosial

Meski ada pemeriksaan oleh KPK, keberlangsungan praktik ini selama bertahun-tahun menunjukkan bahwa pengawasan internal di birokrasi lokal lemah.

Partisipasi publik dalam mengawasi penggunaan anggaran daerah dan penggalangan dana kampanye tampaknya terbatas, sehingga ruang bagi korupsi struktural tetap luas.

Sistem sanksi sosial (misalnya tekanan dari masyarakat, media lokal) mungkin belum cukup kuat untuk mencegah elit korup melakukan praktik “balik modal” dari sumbangan mereka.

III. Dampak Sosial & Politik di Bengkulu

Kasus gratifikasi ini membawa dampak besar bagi lokal Bengkulu, baik secara sosial maupun politik:

Erosi Kepercayaan Publik: Warga Bengkulu bisa kehilangan kepercayaan terhadap pejabat publik, terutama jika politisi yang pernah mendapat dukungan mereka terciduk kasus korupsi.

Distorsi Demokrasi Lokal: Praktik penggalangan dana gelap untuk Pilkada menodai prinsip demokrasi — pemilihan kepala daerah jadi ajang pertukaran uang dan kekuasaan, bukan kompetisi gagasan.

Ketimpangan Akses: Pejabat-pejabat yang ikut dalam jaringan patron-klien mendapatkan keuntungan (proyek, jabatan) dibanding mereka yang tidak punya akses ke jaringan tersebut. Ini memperlebar kesenjangan dalam birokrasi.

Pengaruh Jangka Panjang: Bila praktik seperti ini dibiarkan, potensi korupsi akan terus terwariskan, dan pejabat baru cenderung mengikuti pola lama: kumpulkan dana dari berbagai pihak untuk mempertahankan kekuasaan.

IV. Tantangan Penegakan & Rekomendasi Reformasi

Jika melihat dari sosiologi hukum, penegakan hukum saja (seperti OTT dan penyitaan aset) tak cukup untuk menghentikan praktik gratifikasi semacam ini. Berikut tantangan dan rekomendasi:

1. Tantangan

Penegakan hukum berisiko bersifat reaktif, tidak mencegah secara struktural.

Aset tersangka mungkin disembunyikan di pihak-pihak lain, atau atas nama orang lain.

Budaya politik lokal sangat kuat — meskipun hukuman dijatuhkan, jaringan patron-klien bisa tetap bertahan.

Masyarakat lokal mungkin tidak terlibat cukup aktif dalam pengawasan anggaran dan politik.

2. Rekomendasi

Reformasi Birokrasi: Membentuk sistem audit internal yang lebih transparan di pemerintah provinsi, dengan mekanisme pelaporan gratifikasi internal yang kuat.

Transparansi Kampanye: Memperkuat regulasi dan pengawasan dana kampanye lokal, agar donor besar sulit menyuap melalui jalur tidak resmi.

Edukasi Publik & Etika Publik: Masyarakat dan pegawai negeri harus diberikan pendidikan etika publik dan kesadaran antikorupsi.

Pengawasan Masyarakat: Libatkan LSM, jurnalis lokal, dan kelompok masyarakat sipil dalam pengawasan politik dan birokrasi.

Pemulihan Aset: KPK dan lembaga penegak harus fokus pada pemulihan aset dan transparansi aliran ke mana aset itu diblokir atau dipindahkan.

V. Kesimpulan

Kasus gratifikasi Rohidin Mersyah bukan sekadar peristiwa kriminal — ini cermin dari sistem sosial politik yang rentan korupsi di Bengkulu. Relasi patron-klien, mekanisme penggalangan dana kampanye, dan birokrasi lokal yang tidak transparan menciptakan ladang subur untuk korupsi struktural.

Melalui pendekatan sosiologi hukum, kita bisa melihat bahwa pemberantasan korupsi di Bengkulu tidak bisa hanya mengandalkan penindakan hukum. Perubahan mendasar juga harus terjadi dalam budaya politik, struktur birokrasi, dan peran masyarakat. Tanpa itu, praktik gratifikasi bisa berulang dan mengakar kembali.