Alumni Magister Administrasi Publik Universitas Bengkulu ini menegaskan, pelaksanaan reforma agraria harus berpihak pada masyarakat kecil dan buruh tani melalui percepatan redistribusi tanah dari lahan terlantar maupun hasil sengketa kepada pihak yang benar-benar membutuhkan, sesuai amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960.
“Tuntutan masyarakat sangat jelas, tanah untuk rakyat yang membutuhkan. Pemerintah harus memastikan proses reforma agraria tidak mandek di birokrasi,” ujarnya.
Senator asal Bengkulu ini juga menyoroti banyaknya konflik lahan antara warga dan perusahaan, seperti sengketa lahan sawit dengan PT SIL di Bengkulu Utara. Ia meminta pemerintah memastikan penyelesaian yang adil, damai, dan tanpa kekerasan.
“Negara wajib hadir untuk melindungi rakyatnya, bukan membiarkan kriminalisasi terhadap warga,” tegasnya.
Selain itu, Pembina Bundo Kanduang Provinsi Bengkulu ini menekankan pentingnya pengawasan terhadap alih fungsi lahan, penegakan hukum terhadap perambahan hutan ilegal, serta percepatan sertifikasi tanah wakaf untuk menjamin kepastian hukum aset keagamaan. Ia juga mendorong pemberantasan mafia tanah dan peningkatan transparansi melalui digitalisasi layanan pertanahan seperti aplikasi Sentuh Tanahku.
“Tanah bukan sekadar aset ekonomi, tapi juga sumber kehidupan dan identitas masyarakat, termasuk masyarakat adat yang hak ulayatnya harus diakui dan dilindungi,” tambahnya.
Dalam RDPU tersebut, Anggota DPD RI Hakim turut mendorong pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Reforma Agraria dan Penyelesaian Konflik Agraria di DPD RI sebagai bentuk keseriusan lembaga negara dalam menuntaskan persoalan agraria yang kian kompleks.
Hakim menilai, meski sudah 65 tahun UUPA disahkan, cita-cita reforma agraria sejati belum terwujud. “Justru dalam satu dekade terakhir situasi agraria semakin semrawut. Mafia tanah tumbuh subur, dan konflik agraria terus menggunung,” ujarnya.
Berdasarkan data KPA, selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (2015–2024) terjadi 3.234 konflik agraria dengan luas wilayah terdampak mencapai 7,42 juta hektare dan melibatkan lebih dari 1,8 juta keluarga. Tahun 2024 saja tercatat 295 kasus dengan luas area 1,11 juta hektare dan 67 ribu keluarga korban di 349 desa dan kota.
“Jika persoalan agraria tidak ditangani secara serius, hal ini bisa menjadi pemicu disintegrasi bangsa dan melukai rasa keadilan rakyat,” kata Hakim. Ia menegaskan pembentukan Pansus Reforma Agraria merupakan langkah strategis untuk memperkuat fungsi pengawasan DPD RI serta memastikan hak-hak rakyat atas tanah terlindungi secara berkeadilan. [**]
