Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Bias Ekstraktif

Oleh: Tuan Double R

Essay ini saya buka dengan pertanyaan penting: Apakah kita semua pernah merasakan, atau sedang merasakan sebagai penonton dari parade kebijakan? Apakah saat kebijakan lahir ditanah kelahiran kita, mengharuskan dan membutuhkan keterlibatan kita? Jika iya, sejauh mana keterlibatan itu berlangsung? Apakah kita merasa, bahwa ketidakadilan sedang terjadi, lalu saat terjadi proses peralihan kepemimpinan ( Pemilu), aktor bermasalah masih bisa lolos kedalam kekuasaan? Kenapa disetiap proses pemilu selalu ada pembicaraan kecurangan? Masih banyak pertanyaan lain yang bisa kita gunakan demi membongkar akar struktural demokrasi kita. Tapi setidaknya dalam essay ini, saya berusaha menjawab beberapa pertanyaan tersebut, yang saya anggap sebagai substansi dari kehadiran negara demokratis.

Pendekatan paling kausal dalam melihat keterlibatan masyarakat di setiap kebijakan adalah ; mengenai posisi masyarakat  itu sendiri? Hal ini dimaksudkan agar pembicaraan kebijakan bukan semata-mata mengarah pada ranah dampak. Demi menolak posisi pasif saat kebijakan di atur, dan dijadikan pedoman dalam melakukan pembangunan, maka masyarakat berada dalam lingkaran pelaku utama, bukan pada bagian yang hanya menikmati apa saja yang dihidangkan oleh kekuasaan. 

Kita tegaskan sedari awal bahwa, masyarakat adalah causa prima -- sebab awal. Kenapa kekuasaan itu ada, kenapa kebijakan harus diambil, kenapa hukum harus melindungi setiap inci kepentingan masyarakat? Tentu dalam pandangan ini adalah demi melindungi kepentingan masyarakat itu sendiri. Sebagai pandangan konstruktif, tanpa menegasikan setiap kepentingan partai politik dan elitnya, atau pelaku ekonomi ( Korporasi).  Secara moral -- setiap muslihat, siasat dan konflik, didasarkan demi meraih simpati dan kebaikan hati masyarakat. Agar Eksistensi kekuasaan, secara legitimasi tidak semata - mata berada dalam jalur legal formal, namun meletakkan Kekuasaan benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat secara substansial. Artinya adalah: adanya kekuasaan karena masyarakat menginginkan demikian.

Legitimasi demokrasi prosedural bersandar pada asumsi rasionalitas pemilih, sebuah visi ideal yang secara filosofis diidamkan oleh John Rawls dalam A Theory of Justice (1971). Rawls berargumen bahwa prinsip-prinsip keadilan hanya dapat dipilih oleh individu yang bertindak secara rasional di balik Selubung Ketidaktahuan (Veil of Ignorance), yang memaksa mereka memilih kebijakan yang melindungi posisi terburuk. Namun, asumsi rasionalitas ini runtuh di hadapan temuan psikologi keputusan, khususnya Paradoks Ellsberg (Daniel Ellsberg, 1961), yang menunjukkan bahwa manusia secara naluriah menghindari ambiguitas (ketidakpastian tak terukur) dan lebih memilih risiko (ketidakpastian terukur).

Kontradiksi ini menciptakan kelemahan struktural dalam demokrasi. Prosedur formal menyediakan data kebijakan yang kompleks, yaitu, risiko terukur -- yang seharusnya dianalisis pemilih agar mendekati rasionalitas Rawlsian. Namun, karena naluri menghindari ambiguitas, pemilih justru memilih visi politik yang kabur dan janji-janji populis yang memberikan ilusi kepastian psikologis. Pemilih, alih-alih berada di balik Selubung Ketidaktahuan, justru beroperasi di bawah Selubung Ambiguity, memilih kenyamanan retoris daripada prinsip keadilan substansial.

Kegagalan rasional kolektif inilah yang dieksploitasi sebagai mekanisme politik yang berfungsi untuk memuluskan kepentingan elite, sebagaimana dianalisis oleh David Harvey melalui konsep Perampasan Melalui Akumulasi (Accumulation by Dispossession). Harvey menjelaskan bahwa akumulasi modal modern bergantung pada privatisasi dan pengubahan hak komunal atas sumber daya alam. Pandangan Harvey ini bisa dimaknai bahwa demokrasi menjadi alat legitimasi perampasan. Elite dan korporasi menyajikan proyek ekstraksi sumber daya alam dalam narasi yang sangat ambigu: janji “pembangunan” dan “investasi” tanpa mengungkapkan biaya lingkungan atau pembagian keuntungan secara transparan (risiko yang diketahui).

Fenomena ini terwujud nyata dalam kasus pertambangan skala besar di Indonesia, yang selalu melahirkan konflik kepentingan. Masyarakat sebagai pemilik sah secara kultural diwilayaj tertentu harus berhadapan dengan perusahaan yang mengantongi izin. Tentu dalam pandangan hukum positive, kepemilikan kultural, kepemilikan historikal -- bukanlah dukungan sah, yang menandakan suatu tanah atau kawasan sebagai wilayah milik mereka. Inilah kemudian melahirkan beban ganda, Masyarakat harus menyesuaikan diri dengan sistem legalisasi tanah ( Termasuk dalam hal izin pemanfaatan kawasan hutan), harus menjaga agar model kekerabatan kultural mereka dengan tanah tidak terganggu, disisi lain ,kekuatan politik memberikan ruang bagi korporasi untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kandungan sumber daya alam sebagai faktor bawaan dari tanah tersebut.

Perusahaan tambang, didukung oleh narasi pemerintah, menyajikan proyek mereka dengan ambiguitas tinggi. Narasi yang ditawarkan kepada publik dan pemilih selalu tentang “devisa negara,” “hilirisasi,” dan “lapangan kerja lokal,” yang semuanya merupakan janji hasil positif yang tidak terukur probabilitasnya -- karena seringkali data spesifik mengenai jumlah pekerja lokal yang diserap, atau persentase kebocoran dana ke luar negeri, tidak diungkap secara transparan. Ambiguitas retoris ini secara efektif menenangkan kekhawatiran publik. Seperti skenario perang candu yanh memberikan ekstase kepada publik agar tenang, melalui janji kesejahteraan.

Di sisi lain, opsi yang lebih rasional, yaitu melindungi ekosistem atau hak tanah adat, disajikan sebagai risiko yang terukur dan tidak menarik: hilangnya pemasukan, penundaan pertumbuhan, atau potensi konflik horizontal. Sesuai dengan Paradoks Ellsberg, masyarakat -- termasuk pejabat daerah yang terpilih secara prosedural -- akan cenderung memilih narasi tambang yang ambigu tetapi menjanjikan keuntungan besar, daripada risiko pasti (meskipun bermanfaat jangka panjang) dari konservasi. Dengan demikian, ambiguitas dalam janji politik menjadi katalisator bagi persetujuan kolektif atas kerusakan lingkungan.

Lebih lanjut, dalam kerangka Harvey, pemberian izin pertambangan (Izin Usaha Pertambangan atau IUP) yang masif di kawasan-kawasan kritis -- termasuk kawasan hutan lindung atau wilayah kelola rakyat -- adalah bentuk perampasan paling nyata. Izin-izin ini seringkali didorong melalui proses politik yang cepat dan minim pengawasan publik yang substantif, mengandalkan legitimasi prosedur demokrasi (keputusan pejabat terpilih) sebagai tameng. Perampasan ini mengubah sumber daya komunal (hutan, air, tanah) yang seharusnya dilindungi oleh prinsip keadilan Rawlsian menjadi aset pribadi korporasi.

Kegagalan ini membuktikan bahwa demokrasi prosedural telah diubah menjadi sekadar mekanisme pembenaran. Masyarakat, karena bias kognitif yang kuat terhadap ambiguitas, secara tidak sadar menyetujui kebijakan yang merugikan kepentingan jangka panjang mereka sendiri, termasuk penyusutan sumber daya alam. Elite dan modal, berkat kepastian prosedur dan ketidakrasionalan pemilih, mampu mengakumulasi kekayaan melalui perampasan, sementara Paradoks Ellsberg menyediakan dasar psikologis mengapa rakyat yang seharusnya menjadi pemilik kedaulatan, justru setuju menyerahkan sumber daya mereka.

Fenomena bias ambiguitas ini terlihat jelas dalam persoalan tambang emas di Bukit Sanggul, Seluma, Bengkulu. Masyarakat dan pemerintah daerah dihadapkan pada dua pilihan: mempertahankan hutan sebagai ruang hidup, sumber air, dan identitas sosial-ekologis; atau menerima eksploitasi tambang dengan janji pembangunan dan peningkatan ekonomi. Opsi pertama hadir sebagai risiko terukur - potensi kehilangan investasi dan tekanan politik -- sementara opsi kedua hadir melalui narasi optimistik yang kabur: angka royalti yang tidak transparan, proyeksi tenaga kerja yang berubah-ubah, karena hanya berbentuk narasi -- bukan dalam skenario tanggung gugat ( misalnya jika masyarakat kekurangan beras, maka perusahaan harus tanggung jawab / model cash and carry) , hingga klaim kesejahteraan tanpa dasar data, kenapa klaim itu ada? 

Dalam logika Ellsberg, masyarakat akhirnya lebih memilih ambiguitas yang tampak menjanjikan daripada risiko nyata yang dianggap merugikan. Di saat yang sama, mekanisme demokrasi formal memberi legitimasi pada proses yang secara substansial timpang informasi. Maka jika menggunakan pendekatan Harvey :  ambiguitas bukan sekadar kondisi psikologis, tetapi alat politik untuk memperluas perampasan sumber daya. Melalui prosedur administratif, ruang hidup komunal Bukit Sanggul diubah menjadi aset ekstraktif, dan keputusan publik yang tidak pernah sepenuhnya memahami risiko diberi stempel legalitas demokratis.

Lalu apa yang bisa kita kita bahas secara mendalam tentang demokrasi? Jika pada , kasus Bukit Sanggul seperti menampar berulang-ulang dan memberikan pandangan  mendasar bagi  demokrasi kontemporer? Artinya  keputusan publik bukan merupakan hasil deliberasi rasional, tetapi hasil manipulasi persepsi risiko. Setidaknya saat kita menggunakan pendekatan Paradoks Ellsberg, kita akan melihat  mengapa keputusan salah bisa terasa benar,? Senada dengan hal tersebut, pendekatan Harvey menunjukkan siapa yang diuntungkan dari mekanisme tersebut ?  Demokrasi, dalam bentuknya saat ini, akhirnya tidak hanya gagal melindungi kepentingan kolektif, tetapi justru menjadi medium bagi hilangnya hak komunal -- pelan, legal, dan tampak masuk akal.

Kritikan dalam essay pendek ini, menjelaskan  pada penolakan atas posisi pasif masyarakat saat kebijakan dikeluarkan. Jika masyarakat diakui sebagai causa prima dari kekuasaan, maka kegagalan rasional yang diakibatkan oleh Ambiguity Aversion dalam demokrasi prosedural tidak boleh dipandang sebagai kelemahan alamiah, melainkan sebagai kegagalan sistemik yang dapat diperbaiki. Tugas politik kritis bukanlah untuk menuding masyarakat sebagai korban pasif dari kebijakan, melainkan untuk membongkar Selubung Ambiguity yang sengaja diciptakan oleh elite. Masyarakat sebagai causa prima dapat menuntut akuntabilitas atas nama keadilan substantif, menolak perampasan, dan mengembalikan legitimasi kekuasaan pada komitmen moral awalnya.