Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Komidi Putar

Oleh : Ronald Reagen

Apa yang kita bayangkan saat membuka, membaca, atau menemukan arsip lama atau tulisan kuno? Tentu kita menyebutnya manuskrip sejarah, catatan masa lalu yang kita angkat kembali ke dalam diskursus. Meskipun bukan ahli sejarah, kita tetap bisa menceritakan pembacaan kita secara sahih. Namun pertanyaannya, apakah pembacaan kita ini menemukan titik kritis? Haruskah kita percaya bahwa setiap catatan masa lampau bukan sekadar manuskrip, tetapi juga alat pantul yang dititipkan ke masa depan? Sangat mungkin proses mencatat seluruh tragedi kemanusiaan dalam sejarah bukan sekedar teks sejarah itu sendiri, akan tetapi sekaligus mengangkat sosok tertentu sebagai pahlawan dan menandai sosok lain sebagai penjahat.

Sejarah sering disebut sebagai guru kehidupan? Pandangan kita tidak bisa langsung menerima argumen ini. Guru seperti apa yang sedang kita pahami ajarannya? Upaya menelaah paradoksnya, demi menentukan apakah sesuatu layak dijadikan guru, atau sekedar pantulan? Artinya, proses ini berfungsi melacak potensi masa depan yang memungkinkan mengulang kesalahan yang sama? Menjawab pertanyaan dan upaya-upaya ini akan relevan menghindari distraksi dan potensi pengulangan. Sama halnya dengan argumen Hegel bahwa satu-satunya hal yang kita pelajari dari sejarah adalah bahwa kita tidak pernah belajar apa pun darinya. Namun, jika kita benar-benar tidak belajar, mengapa perlawanan terhadap penindasan selalu muncul di setiap zaman? Pertanyaan inilah yang membuat kita harus membaca sejarah secara kritis.

Memori sejarah, saat kita masuk ke era feodalisme, ketika para raja hidup berlebihan sementara rakyat menderita. Narasi resmi mencatat tindakan mereka sebagai hal yang etis dan bermoral, menuliskan raja secara gagah dalam buku silsilah. Kode darah biru menegaskan bahwa kekuasaan feodal adalah hak yang tercatat dalam silsilah keluarga. Namun, saat pergantian dari satu keluarga penguasa ke keluarga lain, perang yang tercipta dampak dari konflik kekuasaan tersebut tercatat sebagai angka korban. Artinya nilai korban dampak konflik adalah nilai statistik, bukan sebagai tragedi kemanusiaan. Dengan mengorbankan masyarakat sipil hanya sebagai data konflik, ini menggambarkan rasionalisasi penindasan, tetapi disamarkan sebagai pertentangan antar klan atau baron dalam merebut kekuasaan, atau dianggap sebagai konsekuensi dari konflik politik kekuasaan. Ini menjelaskan kepada kita bahwa tragedi kemanusiaan hilang dari catatan resmi.

Dengan niat baik untuk mengakui narasi dominan ini, kita bisa menelaah bagaimana pola yang sama muncul kembali di era modern. Ketidakadilan yang terus berulang menciptakan ledakan besar.

Saat kita kembali ke era Revolusi Prancis 1789 yang menjatuhkan Raja Louis XVI, adalah peristiwa runtuhnya dominasi keluarga Bourbon yang telah berlangsung sekitar 219 tahun. Lamanya kekuasaan keluarga Bourbon berkuasa menunjukkan kemampuan para aktor menciptakan struktur kekuasaan agar tetap mapan dan berlangsung dari generasi ke generasi dalam hitungan silsilah keluarga.

Penulis mencoba melacak secara statistik, kemungkinan data berapa korban nyawa dan dampak ekonomi bagi masyarakat lapisan bawah akibat sistem ekonomi timpang, distribusi kekayaan yang tidak adil, dan tindakan represif di era Bourbon? Sampai saat ini saya belum menemukan data tersebut secara utuh, yang mengkhususkan pembicaraan dampak dari kekuasaan Bourbon. Namun kita boleh menanyakan apakah saat data tersebut ditemukan, akan mampu merubah perspektif dalam melihat sejarah? Atau lebih besar pada pengulangan model dengan sistem yang berbeda? Artinya korban tetap terjadi secara statistik, tapi arah sejarah tetap berputar dalam skema yang sama.

Teks masa lalu juga mencatat bahwa puluhan pemikir yang menentang kekuasaan Vatikan berakhir di tangan Inkuisitor -- dibakar hidup-hidup atau dipenjara sampai mati. Pola keterkaitan uang, agama, dan kekuasaan ini tidak jauh berbeda. Pun tidak jauh dari tahun yang kita nikmati sekarang, kasus Roberto Calvi pada 1982, “Bankir Tuhan” yang ditemukan tergantung di bawah jembatan Blackfriars London, menunjukkan bahwa kekuasaan, uang, dan agama terus saling terkait - sama seperti praktik politik modern yang mengaitkan bisnis tambang dengan organisasi keagamaan. Ini sama saja dengan mengulang peristiwa penghilangan nyawa era Bourbon atau dominasi Vatikan, atau beberapa catatan sejarah yang menuliskan kisah kelam perebutan kekuasaan di dinasti kerajaan-kerajaan Islam.

Fenomena serupa terjadi di Indonesia. Sejak Orde Baru hingga era sekarang, sejarah dipelintir dan dicatat sesuai dengan kehendak kekuasaan itu sendiri -- pembungkaman oposisi, sensor pahlawan kemerdekaan, dan penghapusan tragedi brutal 1998. Aparatus negara secara konsisten memperkuat kekuatannya, RUU Kemiliteran kita dengan mulus muncul di Senayan. Dari sisi sipil intervensi Menteri Kebudayaan dalam narasi sejarah ikut-ikutan mengambil peran dalam upaya pembengkokan. Coba lihat catatan yang di kemukakan oleh Jhon Rossa dalam "Dalih Pembunuhan Massal" yang mengangkat pembantaian masyarakat sipil pasca G30 S / PKI. Jutaan warga sipil yang dituduh terlibat dalam politik PKI yang di bantai tanpa melalui jalur Pengadilan.

Sekali lagi, mari kita mundur ke belakang, menengok kembali di era Kolonialisme. Sekitar abad 18 hingga awal-awal abad 20, bangsa Eropa datang ke Asia dan Afrika. Perdagangan budak serta merampas rempah dan emas, menjadi instrumen penting dari misi ini. Dengan dibantu oleh kolaborator lokal, misi tripel G (Gold, Glory, Gospel) berjalan dengan baik. Setelah pecahnya perlawanan, lalu negara-negara jajahan mendapatkan kemerdekaannya, apakah penjajahan ini tidak berulang?

Lalu lahirlah istilah neo-kolonialisme, makna paling halusnya adalah penjajahan secara halus melalui skema ekonomi. Afrika, yang abad-abad lalu sebagai wilayah jajahan bangsa Eropa, dimana selain sumber daya alam dan perdagangan manusia sebagai komoditas global di era itu. Hari ini kita saksikan, bagaimana perusahaan-perusahaan besar dari bekas negara penjajah masih bercokol di dataran Afrika.

Perusahaan asing dari Eropa, Amerika, hingga Cina membangun tambang, menyogok elit lokal demi menguasai emas, kobalt, dan coltan. Di Indonesia pun demikian. Sebagai contoh nikel di Sulawesi dikuasai Tsingshan Group asal Cina melalui Morowali Industrial Park (IMIP). Produksi tinggi, tetapi keuntungan mengalir ke perusahaan asing, sementara masyarakat sekitar menghadapi kerusakan lingkungan dan terpinggirkan.

"Modernitas memang tampak seperti kemajuan, tetapi pola kolonial lama tetap berlangsung, uang dan kekuasaan politik tetap menjamin kolaborasi antar aktor, baik antar aktor lokal maupun aktor lokal dengan aktor internasional". Kini, alih-alih menggunakan kapal dan senjata, metode dominasi yang hemat biaya adalah mobilisasi modal, perjanjian investasi, kontrak, dan utang luar negeri.

Apa yang dikatakan Hegel, bahwa sejarah tidak berjalan lurus, melainkan berputar dengan ironi yang terus terulang, menandakan bahwa pengulangan sejarah terjadi memang atas dasar kehendak menguasai sumber daya. Hal ini lahir dari kemampuan struktur kekuasaan dan ekonomi merancang skenario untuk melanggengkan diri. Orang-orang di puncak akan berusaha mempertahankan posisi, bahkan menyelewengkan sejarah. Sebagai penegasan kita berpendapat bahwa sejarah yang ditulis oleh kekuasaan tidaklah identik dengan sejarah dan pengalaman masyarakat bawah. Sejarah yang ditulis oleh kekuasaan menjelaskan identitas dari kekuasaan itu sendiri. Dalam rentang waktu kapanpun, baik sejarah sejak era keluarga Bourbon sampai pada era moderen. Saat sejarah ditulis artinya ada tokoh yang dijadikan sentral, ada makna yang sedang diarahkan untuk mempengaruhi kesadaran massa.

Kita akan tegas mengatakan rentang waktu, sampai lahirnya modernitas tidak otomatis memperbaiki ketidakadilan. Teknologi dan industrialisasi memang mempermudah produktivitas, tetapi ini juga membuka peluang eksploitasi baru.

Lalu apa dampak dari semua ini? hilangnya kesadaran massa - sama dengan yang telah kita singgung sebelumnya. Kesadaran massa dalam bentuk kritisism adalah cara pandang dari setiap Generasi ke generasi berikutnya dalam melihat ketidakadilan? Jika mampu bertahan maka, sejarah kekuasaan akan dipahami sebagai peristiwa biasa, tetapi jika [ia gagal], maka inilah yang menekan dan menghapus kritisisme--kesadaran massa. Kritisism massa bisa dipahami sebagai jalan untuk menentang arus dominan, membaca ulang sejarah, mengungkap memori kolektif yang terlupakan, lalu melakukan upay-upaya membangun kesadaran baru.

Lalu bagaimana kritisim publik bekerja? Jika Kita bersemangat meneriakkan “jangan sampai melupakan sejarah”, makna makna sesungguhnya adalah gugatan kritis; sejarah mana yang dicatat, sejarah mana yang dihapus? Jika sejarah ditulis oleh pemenang, maka tugas berikutnya adalah mencatat ulang bagian-bagian yang hilang dari memori lokal, mengembalikan fakta yang tersembunyi, dan menuliskan ulang narasi agar bisa dibaca secara adil di masa depan.

Lalu apa bagian terpenting dari pembicaraan ini, jika penulisan ulang sejarah sangat bergantung pada kemampuan menulisnya -kritism publik - kesadaran massa? Kita tentu tidak memiliki jawaban pasti jika menyangkut kapan dan kemampuan. Tetapi membuka memori kolektif mungkin adalah langkah paling penting. Ini cara melawan model pengulangan sejarah (baca: komidi putar sejarah). Di era distraksi massal ini, upaya tersebut harus dilakukan secara gigih, misalnya melalui pengarsipan masyarakat sipil, jurnalisme investigasi lintas batas, dan penyebaran memori tandingan melalui media baru.

Memang, sejarah telah mencatat bahwa meskipun kekuasaan selalu berusaha menulis narasi tunggal, Kritisisme Massa mampu menciptakan interupsi—seperti saat gugatan publik berhasil memaksa pengungkapan beberapa dokumen rahasia negara, atau saat perlawanan sipil menumbangkan rezim otoriter. Interupsi inilah yang menjadi tujuan kita. Harapannya adalah lahirnya kemampuan menginterupsi siklus lama, sekaligus memberi ruang bagi generasi mendatang untuk mencatat sejarah dengan cara mereka sendiri tanpa bergantung pada narasi Kekuasaan.