Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Viralitas dan Kekuasaan

Oleh: Ronald Reagen

Lebih kurang 7 tahun lalu, itu tahun pertama kami pindah ke Bandung. Di musim libur, saya mendapati kabar seorang teman sekaligus mentor dari Bengkulu sedang berada di Bandung. Singkat cerita, kami memutuskan bertemu. Ditemani istri dan anak, saya menjumpai beliau di apartemen tempat dia menginap.

Seperti biasa, karena sedari awal perkenalan kami melalui jalur organisasi, obrolannya tidak jauh-jauh dari urusan organisasi dan politik. Hal yang paling sentimentil menjadi catatan pribadi dari obrolan tersebut adalah tentang keyakinan; bahwa sejak rezim "Kapitalisme digital" bekerja, perubahan besar di masyarakat sangat ditentukan oleh sebaran informasi yang sangat cepat—gema/intensitas resonansi.

Dasar keyakinan kita pada peristiwa Arab Spring adalah: peristiwa protes dari seorang pemuda Mohamed Bouazizi yang melakukan aksi bakar diri. Kejadian getir tersebut begitu cepat menyebar ke penjuru Tunisia, menyebabkan tumbangnya rezim Zen El Abidine Ben Ali. Peristiwa besar Tunisia ini menimbulkan efek domino, mengguncang dunia Arab modern, sekaligus menjadi inspirasi gerakan sipil di negara-negara Arab. Peristiwa inilah yang berikutnya dinamakan Arab Spring.

Faktor yang memicu begitu cepatnya peristiwa Arab Spring adalah gema—intensifnya sebaran informasi, cepat, padat, mudah dimengerti, dan dibagikan ulang. Semua orang menjadi aktor dalam mendorong informasi cepat tersebar. Lalu, apa alat yang digunakan dalam menyebarkan informasi tersebut? Jawabannya adalah media sosial.

Arab Spring yang berlangsung cepat dalam hitungan bulan ini memicu gelombang protes dan perlawanan hampir di seluruh penjuru negara-negara Arab. Dampaknya tentu masih terjadi sampai sekarang. Rentetan peristiwa tersebut melahirkan banyak faksi milisi, pro-pemerintah atau tidak, serta jaringan proxy negara Amerika dan Eropa.

Kenapa begitu mudahnya informasi perlawanan tersebut “mendidik” setiap orang? Bukankah informasi yang disebarkan bukan melulu kebenaran? Tersangka utamanya adalah algoritma—kumpulan angka dan rumus beku yang seolah menjadi mutan, aktif melakukan bombardir informasi. Melalui “klik” preferensi, ia mengunci informasi dan berlaku intensif tanpa jeda di setiap akun media sosial.

Algoritma pada awalnya didefinisikan sederhana (definisi umum, bisa ditemukan di mesin pencarian): serangkaian instruksi logis untuk menyelesaikan masalah. Ia tidak punya kepentingan, tidak punya ambisi, hanya kumpulan perintah.

Lalu ketika revolusi digital terjadi, kehadiran algoritma bukan sekadar perintah dan kaku, tetapi menjadi tulang punggung bagi evolusi dan mutasi dari arah revolusi digital. Saat semua orang menggunakan gawai dan media sosial dalam berkomunikasi dan berbagi informasi, algoritma berubah menjadi mekanisme kuasa yang bekerja diam-diam di balik layar, mempengaruhi seluruh lini kehidupan. Ia lebih berkuasa daripada hukum tertulis, lebih menentukan daripada keputusan politik.

Tentu—apa itu algoritma—hari ini tidak bisa dijawab hanya dengan kacamata teknis. Ia bukan sekadar sekumpulan angka, melainkan infrastruktur sosial yang mengatur bagaimana informasi diedarkan, bagaimana identitas dibentuk, bahkan bagaimana kita merasakan diri sendiri.

"Algoritma adalah bahasa baru, yang berbicara lewat ranking, rekomendasi, dan notifikasi."

Kapan perubahan besar ini dimulai? Jejak awalnya ada sejak Google mengubah logika pencarian dengan PageRank di akhir 1990-an. Namun titik krusial muncul di dekade 2010-an ketika media sosial mengadopsi algoritma feed. Facebook, Instagram, YouTube, lalu TikTok membuktikan bahwa algoritma bisa menjadi mesin pencipta tren, sekaligus mesin penghancur konsensus. Dari sini, algoritma tidak hanya memfilter, tapi juga memproduksi kenyataan sosial.

Siapa yang diuntungkan? Sudah jelas, korporasi teknologi yang menguasai jalur distribusi data. Mereka memanen data personal, mengolahnya jadi prediksi, lalu menjualnya ke pengiklan. Di sisi lain, siapa yang dirugikan? Kita semua, yang hidupnya diperas jadi bahan mentah. Waktu, perhatian, bahkan pilihan dianggap sekadar sumber daya untuk diperdagangkan.

Mengapa algoritma penting bagi dunia kapitalisme? Karena ia menyelesaikan problem lama: bagaimana mengikat konsumen agar tetap berada dalam lingkaran pasar. Jika iklan tradisional masih mengandalkan persuasi, algoritma melangkah lebih jauh; ia membentuk lingkungan, mengatur konteks, bahkan menata kemungkinan. Ia tidak sekadar menawarkan, ia memaksa dengan cara halus. Cara kerjanya sederhana di permukaan: mengulang pola, mencari resonansi.

Sama seperti gema, semakin keras ia dipantulkan, semakin besar potensi terciptanya kerumunan. Intensitas resonansi bergantung pada seberapa sering ia diulang. Algoritma melakukan pengulangan itu dengan presisi, mengunci preferensi kita lewat feed yang tak berujung, memastikan kita selalu kembali ke ruang yang sama. Jika gema di alam hanya bertahan sesaat, gema algoritmik bisa dikunci dalam sistem. Preferensi kita tidak lagi cair, melainkan dipadatkan menjadi profil yang stabil. Kita bukan lagi individu dengan kemungkinan tak terbatas, melainkan target pasar dengan prediksi akurat.

Baudrillard dalam Masyarakat Konsumsi (Kreasi Wacana, 2006) sudah mengingatkan bahwa dalam rezim tanda, realitas digantikan simulasi. Viralitas di TikTok atau Instagram hari ini bukanlah cerminan realitas, tapi realitas itu sendiri. Kita seolah-olah sepakat yang viral adalah nyata, dan yang nyata dianggap tidak relevan bila tak viral. Ini betul-betul hiperrealistik: identitas, selera, bahkan kebenaran lahir bukan dari pengalaman, melainkan dari ranking dan rekomendasi.

Foucault, lewat analisis kuasa dalam Sejarah Seksualitas (Gramedia, 2017), memperkuat peran algoritma yang bekerja layaknya panoptikon digital. Ia tidak memaksa secara langsung, tapi menata konteks sehingga kita mengawasi diri sendiri, menyesuaikan diri dengan pola yang dianggap “normal” oleh mesin. Kuasa tidak semata-mata datang dari aparat negara, melainkan dari notifikasi yang kita terima tiap detik—dan ini adalah peristiwa yang tidak pernah terjadi di abad-abad sebelumnya.

Habermas, dalam Ruang Publik (Kreasi Wacana, 2010), pernah membayangkan percakapan rasional antarwarga sebagai fondasi demokrasi. Tetapi kita mungkin menelusuri ulang makna ruang publik: apakah percakapan publik adalah dialektika ide, atau gulungan kontestasi atensi? Siapa yang lebih sering diulang, dialah yang dianggap benar. Viralitas menggantikan argumentasi. Jadi, makna publik menurut Habermas bisa jadi tidak lagi relevan hari ini. Kualitas dan kuantitas sudah berubah arah. Makna transformasi menjadi pergulatan preferensi.

Walter Benjamin dalam Karya Seni pada Era Reproduksi Mekanis (Jalasutra, 2010) juga terasa relevan: karya seni yang kehilangan “aura”-nya kini bisa kita lihat dalam budaya populer algoritmik. Musik, meme, bahkan gosip selebritas direproduksi tanpa henti, kehilangan konteks asli, menjadi sekadar potongan konsumsi instan. Zizek, dalam Ideologi: Sebuah Pengantar (Resist Book, 2012), menunjukkan bahwa ideologi paling kuat justru bekerja ketika kita merasa bebas. Algoritma membuat kita yakin sedang memilih, padahal pilihan itu sudah dipetakan sebelumnya.

Efek paling dalam sebenarnya menyasar level psikologis. Notifikasi bekerja seperti panggilan gema yang tak henti-henti. Ia menyalakan rasa penasaran, memelihara rasa cemas, dan memanipulasi rasa puas. Kita merasa mengendalikan layar, padahal layar yang mengendalikan kita. Setiap “swipe” adalah ritual kecil dalam liturgi algoritmik. Kita seperti hidup di gua tempat gema tak pernah berhenti, dan semakin keras kita berteriak, semakin kuat gema itu kembali, hingga sulit membedakan mana suara kita dan mana suara mesin.

Dan yang lebih berbahaya, algoritma bukan hanya tahu siapa kita, tetapi membatasi siapa kita bisa jadi. Identitas yang mestinya cair dipadatkan menjadi profil stabil. Preferensi yang mestinya bisa berubah dipaku jadi target pasar. Kebebasan jadi sekadar ilusi yang dipantulkan berkali-kali, sama seperti gema. Kita merasa otonom, padahal kita sedang berjalan dalam labirin yang sudah dipetakan sebelumnya.

Kondisi politik global pun ikut terguncang. Black Lives Matter di Amerika, aksi pro-demokrasi di Hong Kong, hingga gelombang mahasiswa di Yogyakarta dengan “Gejayan Memanggil”, menunjukkan betapa resonansi algoritmik bisa menggerakkan kerumunan. Satu video brutal atau satu poster digital bisa menyulut solidaritas mendunia. Clay Shirky dalam Here Comes Everybody (Kepustakaan Populer Gramedia, 2010) menekankan potensi mobilisasi instan lewat media sosial. Tetapi, kerumunan algoritmik sering kali rapuh: cepat membara, cepat padam. Ia tidak membentuk organisasi jangka panjang, hanya letupan solidaritas sesaat.

Dalam konteks Indonesia, algoritma terbukti menjadi amplifier protes sekaligus perangkapnya. Aksi-aksi mahasiswa yang menolak politik dinasti, kebijakan kontroversial, hingga krisis iklim, dengan cepat membanjiri lini masa. Tagar seperti #ReformasiDikorupsi atau #AllEyesOnPapua mampu menciptakan kesadaran baru, tetapi segera direduksi jadi tren sesaat. Di tengah pusaran itu, aksi dengan tuntutan “Bubarkan DPR” muncul sebagai resonansi politik paling keras. Ia lahir dari kekecewaan publik atas korupsi, praktik oligarki, serta jarak yang makin jauh antara wakil rakyat dan rakyat sendiri. Tagar #BubarkanDPR dengan cepat merajai trending topic, menjadi gema digital yang kemudian meluber ke jalanan. Namun, ledakan digital itu segera dipelintir: media arus utama menarasikannya sebagai kegaduhan, sementara algoritma platform mengubahnya jadi konten viral singkat, bukan agenda politik jangka panjang. Seruan yang lahir dari luka sosial terjebak dalam logika pasar atensi. Seperti diingatkan Benjamin, demonstrasi direproduksi, difragmentasi, dan kehilangan auranya, diubah jadi meme, potongan video, jadi konsumsi instan. “Bubarkan DPR” yang mestinya jeritan politis berubah jadi slogan cair, bergema keras di layar, tapi cepat redup di lorong algoritma.

Apa yang terjadi di jalan dan di layar memperlihatkan bagaimana algoritma menata lanskap politik sekaligus membatasi imajinasinya. Kita merasa sedang menyuarakan perubahan, tetapi sesungguhnya hanya memperkuat resonansi yang sudah diatur sistem. Revolusi digital bisa jadi hanya simulasi revolusi—melahirkan ilusi kebebasan, tetapi membekukan kemungkinan yang lebih radikal. Jika merek adalah tuhan, konsumen adalah jemaat, maka algoritma adalah imam yang mengatur liturgi kehidupan digital kita. Ia mengatur ritme, menentukan doa, dan bahkan memilihkan kepercayaan.

Lalu apa kelanjutan dari semua ini? Apakah rezim digital yang ditopang algoritma akan melahirkan revolusi sosial? Jawabannya: mungkin iya, tapi tensinya berbeda. Informasi memang bisa menyebar cepat, solidaritas bisa terpancing hanya dari satu video viral atau satu tagar. Namun kecepatan itu tidak otomatis melahirkan pemahaman radikal. Sejarah menunjukkan, solidaritas algoritmik sering kali hanya bertahan sebentar: cepat membara, cepat pula padam. Revolusi digital bukanlah revolusi politik klasik dengan struktur dan ideologi yang jelas. Ia lebih menyerupai gelombang resonansi—muncul, mengguncang, lalu menghilang, hanya untuk digantikan oleh gema baru.

Lalu, ada argumentasi yang menyampaikan “No Viral, No Justice”—keadilan akan didapatkan saat persoalan utama disebarluaskan dan jadi ghibah publik. Tapi bagaimana jika institusi yang sedang diserang viralitas berlaku pasif? Atau berjanji melakukan penindakan serta memohon maaf, apakah akan ada pengawalan terhadapnya? Tentu kecil kemungkinan; viralitas satu akan berganti dengan viralitas lain. Akhirnya, informasi ketidakadilan menumpuk jadi jejak digital yang beku. Artinya, viral belum tentu menjamin keadilan didistribusikan, tapi informasi tetap tersebar secara luas.

Maka, bagi siapapun yang memiliki atensi terhadap apa itu perubahan, “hati-hati”—bisa jadi Anda telah terkunci dalam “klik” preferensi. Bisa jadi korban pertamanya adalah essay ini sendiri. 


Penulis Adalah Founder DCBind, Menaungi Brand Dcendolin, Teheula dan Cho fruits