Unpredictable!!!! Hari ini dunia menyaksikan terjadi Shock culture clash - benturan antar generasi yang sangat brutal di Nepal- itulah yang saya rasakan saat mencari bahan tulisan atas pecahnya Aksi massa di Nepal. Ya, ini sesuatu yang betul-betul di luar nalar para Boomers. Bagaimana tagar, Meme, WAG bisa menggulingkan kekuasaan mapan, yang punya Senjata, punya Rantis, punya tentara, punya polisi. Mulai dari Times, Bloomberg, memberikan "kliks" yang menarik tentang Nepal. Gen Z yang berhasil meruntuhkan pongahnya kekuasaan, menarik seorang Menteri Keuangan tidak berdaya atas jabatannya, lari terbirit-birit demi menyelamatkan nyawa.
Peristiwa seperti ini hanya sedikit terjadi dalam sejarah politik dunia. Itupun terjadi kalau tidak melalui perang, pun melalui perebutan kekuasaan melalui proses pengorganisasian yang matang. Lalu Nepal? Apa yang bisa kita ceritakan lebih lanjut? Saya pribadi tentu kagum atas kejadian ini. Di sisi lain, bisa jadi akan merubah cara pandang Gen Z melihat kekuasaan di masa depan dan tentu akan mempengaruhi generasi seterusnya.
Apakah Gelombang protes di Nepal pada 8- 9 September 2025 adalah reaksi atas pemblokiran 26 platform media sosial? Ya saya pikir itu pemicu dari ledakan, akumulasi kekecewaan dan rasa frustasi anak muda Nepal. Menurut laporan The Guardian (8 September 2025), larangan yang mencakup WhatsApp, TikTok, X, hingga YouTube itu memicu bentrokan besar yang menewaskan setidaknya 19 orang dan melukai ribuan lainnya. Pemerintah berdalih larangan dilakukan karena platform tersebut belum mendaftar ke otoritas regulasi digital, tapi bagi Gen Z, itu hanyalah alasan kosong. Pemicu sebenarnya adalah akumulasi kemarahan terhadap korupsi, nepotisme, dan kesenjangan sosial yang makin kentara.
Fenomena “nepo baby” menjadi bahan bakar utama amarah generasi ini. Financial Times (9 September 2025) melaporkan bagaimana kemewahan anak-anak pejabat yang pamer gaya hidup di media sosial memperuncing rasa ketidakadilan di tengah kondisi ekonomi Nepal yang rapuh. Tagar #Nepobaby meledak, video pesta dan mobil mewah mereka viral, dan dalam hitungan jam berubah jadi simbol perlawanan. Inilah momen ketika budaya populer dan simbol digital berfungsi sebagai senjata politik, melewati fungsinya sebagai media hiburan semata.
Sejarah sudah berkali-kali menunjukkan bagaimana generasi muda menggunakan teknologi untuk menantang kekuasaan. Arab Spring pada 2011 adalah contoh paling awal- Facebook dan Twitter menjadi alat mobilisasi utama di Tunisia dan Mesir, hingga Al Jazeera menyebutnya sebagai “Facebook Revolution”. Di Hong Kong pada 2019, aplikasi Telegram dan forum LIHKG jadi tulang punggung koordinasi protes pro-demokrasi, seperti ditulis BBC News (2019). Di Chile, gerakan mahasiswa 2019 yang dipicu kenaikan tarif metro justru meluas jadi perlawanan terhadap ketidaksetaraan struktural, dan media sosial jadi ruang vital untuk menyebarkan slogan - “No son treinta pesos, son treinta años”. Nepal kemudian meneruskan pola ini, protes lokal langsung terkoneksi dengan resonansi global, memecah asumsi selama ini bahwa; gerakan dipandang semata-mata sebagai persoalan domestik.
Saya membayangkan, apa yang di tulis oleh Foucault dalam Discipline and Punish (1975) bahwa kekuasaan bekerja melalui wacana, bukan semata-mata lewat lembaga formal, hari ini betul-betul realita itu sendiri. Chaos di Nepal melalui alat meme, anime, dan hashtag menjadi wacana tandingan yang meruntuhkan narasi resmi pemerintah. Simulasi-simulasi yang dilemparkan kedalam sosial media menambah daftar panjang pemicu gerakan yang lebih besar. Hal inilah yang dimaksudkan oleh Baudrillard dalam Simulacra and Simulation (1981) bahwa representasi bisa menggantikan realitas itu sendiri. Representasi anak pejabat berfoya-foya yang beredar di TikTok lebih nyata dan menyakitkan bagi publik daripada klaim pemerintah soal stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Kita harus mengakui bahwa representatif realitas politik hari ini diciptakan dan digerakkan oleh media sosial, parlemen berubah menjadi badan wacana tandingan, kalau tidak waspada bisa runtuh seketika.
Siapa yang mengomandoi para Gen Z? Tentu kita bisa menjawab adalah representasi dari realita yang mereka ciptakan dan mereka sebarluaskan. Deleuze dan Guattari dalam A Thousand Plateaus (1980) menggambarkan struktur jaringan seperti ini sebagai rizoma - tumbuh ke segala arah tanpa pusat. Protes Nepal membuktikan hal ini, tidak ada pemimpin tunggal, tidak ada organisasi formal, tapi jaringan akun, grup, dan forum kecil yang saling terhubung bisa melahirkan mobilisasi nasional. Negara yang terbiasa berhadapan dengan oposisi formal kehilangan pijakan. Setiap kali satu akun diblokir, seratus akun baru bermunculan. Kekuatan dari hegemonial kebudayaan Gen Z berhasil menciptakan ledakan besar, mereka berhasil melakukan counter hegemoni atas klass dominan - lihat Gramsci dalam Prison Notebooks (1929–1935) . Pola Gen Z dapam upaya strategis dalam counter-hegemony menciptakan narasi alternatif berbasis simbol digital dan budaya populer. Ini tentu diluar akal sehat yang selama ini kita dengungkan sebagai model oposisi.
Masalahnya, ada jurang antara moral dan struktur. Gen Z bergerak dengan logika viralitas - satu video bisa mengubah opini publik dalam 24 jam. Negara bergerak dengan logika birokrasi: rapat, prosedur, aturan. Ketegangan ini terlihat jelas ketika, menurut The Guardian (8 September 2025), aparat menembak massa dengan gas air mata dan peluru tajam. Moral dilawan dengan kekerasan fisik. Namun setiap tindakan represif justru memperkuat legitimasi moral Gen Z, karena publik melihat ketelanjangan negara dalam menanggapi suara warganya.
Ini seolah menjawab pertanyaan Spivak dalam esai “Can the Subaltern Speak?” (1988) - apakah suara mereka yang terpinggirkan bisa benar-benar terdengar?. Hari ini kita melihat Media sosial telah menjawab. Subaltern kini bisa bicara lewat meme, TikTok, atau thread panjang di X. Bahkan orang biasa tanpa jabatan bisa menciptakan narasi politik yang mengguncang rezim. Dampak dari ketidak adilan ekonomi secara global langsung terasa di kalangan Gen Z, karena mereka generasi yang paling dekat "mengalami" kebudayaan defresif boomers. David Harvey dalam A Brief History of Neoliberalism (2005) menekankan bagaimana neoliberalisme menciptakan ketimpangan tajam. Saat Gen Z mengalami ini secara langsung - ketidakpastian dalam dunia kerja dan pekerjaan, gaji rendah, masa depan kabur lalu dibenturkan dengan kebiasaan barbar elite yang umbar privilese. Maka konversi kemarahan, secara moral berubah jadi energi politik. Dan memungkinkan akan berlanjut keseluruh negara-negara yang ada di dunia ini. Saya pikir ini betul-betul menggairahkan.
Fenomena Nepal juga menegaskan dimensi transnasional politik kontemporer. Seperti dicatat India Today (8 September 2025), protes Nepal terinspirasi dan sekaligus menginspirasi gerakan di tempat lain, dari reformasi pensiun di Prancis hingga perlawanan terhadap otoritarianisme di Amerika Latin. Internasionale Gen Z adalah jaringan solidaritas global yang tidak lagi tunduk pada batas negara. Mereka tidak terikat bendera nasional, melainkan bersatu lewat simbol digital.
Apa arti semua ini? Negara tidak lagi memegang monopoli atas politik. Mereka bisa mengendalikan parlemen, polisi, dan undang-undang, tapi mereka gagal menguasai bahasa simbolik generasi baru. Kita telah berada di mode Politik yang cair, plural, dan transnasional. Internasionale Gen Z menandai pergeseran besar, menggerus defenisi legitimasi yang selama ini melulu dari pendekatan formalistik. Struktur formal pelan-pelan digantikan oleh kemampuan menciptakan solidaritas digital dan moral kolektif.
Namun tetap ada pertanyaan besar: apakah energi viral ini bisa diubah jadi kekuatan struktural yang berkelanjutan? Meme bisa menjatuhkan reputasi, tapi bisakah ia menjatuhkan rezim? Hashtag bisa mempersatukan opini publik, tapi bisakah ia merumuskan kebijakan? Di titik ini, Gen Z masih diuji. Dan saya sebagai seorang Millenial akan jadi mikro evidence di masa depan, saya berharap melihat model mereka ini terus bekerja dan terus memperbaiki diri.
Meski begitu, protes Nepal menunjukkan bahwa satu hal sudah dimenangkan, adalah imajinasi publik. Generasi ini tidak lagi minta kursi di parlemen seperti kebiasaan kompromis Milenials dan boomers selama ini. Parlemen mereka telah mereka ciptakan di timeline. Mereka telah menggeser jauh media arus utama melalui kreatifitas media yang mereka sendiri. Mereka tidak lagi tunduk pada hegemoni, mereka menciptakan hegemoni baru dengan bahasa mereka sendiri.
Internasionale Gen Z adalah revolusi cair, global, dan moral. Tidak ada satupun Negara di muka bumi ini yang bisa menolak mereka, sejarah akan mencatat, abad ke-21 adalah abad ketika anak muda merebut politik dengan meme, hashtag, dan solidaritas digital.
" Bersatulah Gen Z Sedunia"
Wallahualam
Hujan Bandung 11905
