PedomanBengkulu.com - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) menyebut mantan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, terdakwa dugaan pemerasan dan gratifikasi untuk pendanaan pemenangan Pilkada Gubernur Bengkulu 2024 sempat menyanggah keterangan saksi Koordinator Pemenangan di Kaur yang terdiri dari Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bengkulu pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Bengkulu, Rabu (7/5/2025).
Sanggahan itu terkait uang Rp 3,5 miliar yang diterima saksi dari terdakwa Evriansyah alias Anca yang akan digunakan untuk serangan fajar atau membeli suara rakyat agar memilih pada saat pencoblosan.
"Saksi-saksi juga ada menerima uang dari Anca, Karmawanto sebesar Rp 324 juta, Ika Joni juga menerima uang dari Anca Rp 44 juta, Rp 206 juta, dan ada juga Rp 192 juta. Saksi Nandar Munadi juga ada menerima uang Rp 176 juta, kemudian Rp 2 miliar, kemudian Rp 957 juta, kemudian Rp 239 juta yang totalnya Rp 3,5 miliar. Dari uang-uang tersebut akan disalurkan ke Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ada di Kaur. Uang ini belum dilaporkan kepada terdakwa Rohidin apakah sudah disalurkan apa belum. Karena saat itu terdakwa Rohidin sudah ditangkap OTT KPK," kata JPU KPK RI Ade Azhari,SH.
Azhari menyebut, dalam keterangannya, para saksi yang menjadi Tim Pemenangan di Kaur yaitu Nandar Munadi (Asisten III Pemprov Bengkulu), Haryadi (Kepala BKAD Provinsi Bengkulu), Meri Sasdi (Kadis Perpustakaan Provinsi Bengkulu), Sisardi (Staf Ahli Pemprov Bengkulu). Lalu, Karmawanto (Kadis Koperasi Provinsi Bengkulu), Zahirman (Staf Ahli Pemprov Bengkulu) dan Ika Joni (Kadis Pora Provinsi Bengkulu). Mereka menyetor uang ada dalam bentuk pemasangan baliho ada yang menyetor uang secara cash seperti saksi Meri Sasdi Rp 195 juta.
"Saksi Nandar Munadi ada menyetor uang Rp 20 juta ditambah pembuatan baliho Rp 55 juta yang totalnya Rp 75 juta. Adanya pemberian uang itu, awalnya mereka dikumpulkan oleh terdakwa Rohidin kemudian diminta untuk membantu, terpaksa, karena mau tidak mau tidak ada pilihan lain karena yang meminta adalag Gibernur saat itu," jelas Ade. (Tok)