Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Memenangkan Pancasila di Tingkat Lokal

Akhir-akhir ini, seiring dengan menguatnya politik identitas yang menebar demarkasi berdasarkan suku, agama dan ras (SARA), Pancasila dipanggil kembali.

Pancasila kemudian hadir di mana-mana. Slogan “Saya Indonesia, Saya Pancasila” bertebaran di media sosial hingga spanduk-spanduk dan baliho di pinggir jalan.

Bagi saya, Pancasila jangan sebatas dihadirkan, apalagi jika hanya menggema sebagai jargon dan retorika. Pancasila harus menjelma sebagai nilai agung yang menjiwai penyelenggaraan negara dan kehidupan berbangsa.

Nah, untuk memulai “pembumian” Pancasila dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan berbangsa itu, mari kita memulainya dari tingkat lokal.

Tantangan lokal

Pancasila sudah terlalu sering dikangkangi di daerah. Ada banyak kebijakan-kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) yang menciderai nilai-nilai Pancasila, khususnya kemanusiaan dan keadilan sosial.

Lihat saja politik anggaran APBD. Seperti diakui Kementerian Dalam Negeri, mayoritas daerah di Indonesia menghabis lebih dari separuh (50-60 persen) APBD-nya hanya untuk membiayai birokrasinya. Sangat sedikit dari anggaran itu yang jatuh untuk pemberdayaan ekonomi rakyat, pendidikan, kesehatan, dan perbaikan infrastruktur publik.

Begitu juga dalam tata-kelola sumber daya alam (SDA). Banyak Pemda yang tak ubahnya “manajer” untuk investor. Akibatnya, sebagian besar izin pengelolaan SDA jatuh ke tangan investor. Sedikit sekali yang dikelola oleh badan usaha Rakyat atau koperasi-koperasi Rakyat.

Jangan lupa juga, ada 443 Perda Syariah yang diterapkan di Indonesia sejak 1998. Tentu saja, Perda-Perda itu mengangkangi Pancasila karena menjadikan hukum agama tertentu sebagai hukum publik.

Padahal, Pancasila sebagai dasar negara, seharusnya menjadi “titik pijak” dari semua norma/aturan bersama penyelenggaraan Negara dan kehidupan berbangsa.

Kenapa itu terjadi?

Di satu sisi, ada kelompok yang sejatinya anti-Pancasila, yang misi besarnya adalah mengganti Pancasila dengan azas lain, bergerilya lewat jalan demokrasi dan konstitusional untuk menikam Pancasila. Mereka menerapkan strategi “berkuasa dari bawah”, yakni menaklukkan kekuasaan lokal sebelum kemudian menaklukkan kekuasaan pusat/nasional.

Di sisi lain, kontestan-kontestan yang bertarung di Pilkada, termasuk yang diusung oleh partai-partai bercap nasionalis, terperangkap dalam pragmatisme politik. Asal bisa berkuasa, mereka tak jarang tergoda menjual moralitas dan kesalehan demi meraup suara.

Karena itu, bicara memenangkan Pancasila, arena pertarungannya berlangsung sengit di tingkat lokal. Apalagi tahun depan ada 171 daerah yang akan menggelar Pilkada serentak.

Persoalan Lain

Seringkali, sekalipun Kepala Daerahnya sudah mengaku nasionalis dan Pancasilais, penerapan Pancasila masih tercegat banyak kendala.

Pertama, Pancasila seringkali diperlakukan tak ubahnya obat, hanya diperlukan saat kita sakit. Pancasila baru dipanggil ketika bangsa ini mengidap penyakit yang membahayakan persatuan dan keutuhan bangsa.

Padahal, sebagai Weltanschauung” (Pandangan Hidup), sebagaimana dimaksud oleh Bung Karno, Pancasila seharusnya selalu hadir menjiwai sikap dan tindakan manusia Indonesia, termasuk penyelenggaraan negara dari pusat ke daerah, setiap saat.

Kedua, Pancasila seringkali dipanggil hanya sebagai alat pemersatu, yang merawat harmonisme sosial dan kebhinekaan. Akibatnya, Pancasila sering disalahgunakan.

Seperti di zaman Orde Baru, Pancasila jadi alat penjaga stabilitas, demi mewujudkan “Demokrasi Terpimpin” ala Orba. Siapapun yang mengganggu stabilitas zaman itu, sekalipun hanya lewat kritik, dianggap “tidak Pancasilais”.

Kita tidak mau itu berulang. Pancasila tidak hanya sila ketiga (Persatuan Indonesia), tetapi terdiri dari lima sila yang tidak terpisah-pisahkan. Bahwa Pancasila sebagai Dasar Negara bukan hanya perawat rumah kebhinekaan, tetapi sekaligus menghantarkan bangsa Indonesia pada tujuan sosialnya: Masyarakat adil dan makmur.

Karena itu, Pancasila bukan hanya “titik pijak” (yang mendasari norma kehidupan berbangsa dan bernegara), tetapi juga “titik tuju” (yang memberi orientasi tujuan bernegara).

Ketiga, Pancasila dihadirkan oleh penyelenggara Negara, setidaknya dalam retorika dan acuan kebijakan, tetapi belum terjabarkan secara konsisten dalam berbagai kebijakan dan penerapannya. Banyak kebijakan yang justru memunggungi nilai-nilai Pancasila. Antara klaim ideal (das sollen) dan kenyataan material (das sein) bertolak-belakang.

Situasi itu, suka dan tidak suka,  membuat “wibawa” Pancasila agak merosot. Apalagi, jika dihadapkan dengan persoalan-persoalan yang menghimpit rakyat, seperti kemiskinan, korupsi, dan ketimpangan sosial, Pancasila seakan kehilangan “marwahnya” sebagai standar norma sekaligus leitstar (bintang penuntun arah) penyelenggaraan bernegara.

Menangkan Pancasila?

Sekarang, pertanyaannya: bagaimana menenangkan Pancasila di tingkat lokal?

Memenangkan Pancasila di tingkat lokal berarti menjadikan Pancasila sebagai nilai utama yang melandasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tidak hanya perilaku pejabat Pemda dan aparatusnya, tetapi juga kebijakannya (anggaran, perda, dan lain-lain).

Untuk itu, dalam konteks Pilkada, tugas kita bukan sekedar memenangkan kandidat berlabel Pancasilais, tetapi memenangkan sekaligus memastikan terpilihnya Kepala Daerah yang konsisten “membumikan” Pancasila.

Tentu saja, ini tidak gampang, tetapi bukan tidak mungkin.

Pertama, perlu untuk memastikan kandidat diperjuangkan benar-benar Pancasilais. Supaya tidak seperti “membeli kucing dalam karung”, beberapa langkah berikut menjadi sangat penting.

Pada lapis pertama, kita bicara kriteria. Kita mendukung kandidat yang berkomitmen mempertahankan NKRI berdasarkan Pancasila. Tidak bermain api dengan isu SARA dan sentimen primordialisme.

Pada lapis kedua, kita bicara rekam jejak. Seperti biasa, ada banyak politisi yang mendadak Pancasialis jelang Pilkada, sekedar untuk mengejar suara. Kita tidak mau tertipu politisi semacam itu. Karena itu, kita perlu meneropong jejak politiknya di masa lalu.

Pada lapis ketiga, kita bicara program. Sebaik-baiknya kandidat adalah yang berhasil membumikan visi besarnya ke dalam program-program konkret yang terukur. Tidak retoris dan muluk-muluk. Dan tentu saja, kita mencari kandidat yang bisa menjabarkan nilai-nilai Pancasila dalam program politiknya. Termasuk politik anggaran yang memihak rakyat.

Kedua, perlu sebuah blok politik yang menyatukan semua kekuatan Pancasialis, baik nasionalis, progressif, maupun agamais. Blok politik ini bukan sekedar kendaraan elektoral, tetapi juga kekuatan politik yang akan mengawal pemerintahan Pancasilais terpilih.

Tentu saja, blok politik ini tidak hanya merangkul partai politik, tetapi juga organisasi sosial, organisasi keagamaan, dan tokoh/individu. Sebab, kerja politik memenangkan Pancasila ini bukan sekedar tugas partai, tetapi tugas bersama semua anak bangsa (organisasi maupun individu).

Ketiga, pemerintahan Pancasialis harus dikawal oleh kekuatan rakyat terorganisir, yang bisa berposisi sebagai penyokong sekaligus kekuatan kritis.

Pemerintahan Pancasilais harus membuka ruang untuk partisipasi rakyat, yang memungkinkan pemerintah dan rakyat bergotong-royong dalam memajukan daerah.

Keempat, perlu memastikan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), yang merupakan unit kerja Presiden dalam urusan ideologi, untuk bekerja menguji semua kebijakan daerah, termasuk Perda, agar selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Termasuk menggugurkan ratusan Perda Syariah yang jelas-jelas memunggungi Pancasila.

Rudi Hartonopimred berdikarionline.com