Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Menyelamatkan Istilah “Radikal”




Foto Istimewa

Kata “radikal” sedang mengalami deformasi luar biasa. Maknanya sudah bergeser jauh dari positif dan progressif menjadi sangat negatif dan reaksioner.

Asal mulanya dari diskusi tentang terorisme. Banyak analisa yang menuding radikalisme sebagai pangkal dari terorisme dan intoleransi. Sampai-sampai, untuk melawan ancaman terorisme, ada program yang disebut “de-radikalisasi”.

Genealogi kata “Radikal”

Secara etimologi, radikal berasal dari kata latin, radix/radici, yang berarti “akar”. Dalam politik, istilah “radikal” mengacu pada individu, gerakan atau partai yang memperjuangkan perubahan sosial atau sistim politik secara mendasar atau keseluruhan.

Istilah “radikal”muncul di panggung politik kira-kira abad ke-18 di Eropa dan ke-19 di Amerika Serikat.

Kata ini bergaung saat Revolusi Perancis (1787-1789). Banyak diantara mereka yang berada dibarisan penentang Raja menyebut diri sebagai “kaum radikal”. Salah satunya adalah gerakan Jacobin.

Saat itu parlemen Perancis terbagi dua kubu: semua penentang raja duduk di sebelah kiri, sedangkan pendukung raja duduk di sebelah kanan. Nah, karena semua kaum radikal duduk di sebelah kiri, maka istilah radikal biasanya mengacu pada individu, organisasi atau partai politik yang berfaham kiri.

Di Inggris, pada 1802, salah satu faksi di tubuh Partai Liberal menamai dirinya “kaum radikal”. Mereka memperjuangkan reformasi parlemen, hak pilih dan dipilih bagi semua orang tanpa kecuali.

Tokoh besar macam Thomas Paine hingga David Lloyd George dikaitkan dengan sejarah gerakan radikal Inggris. Famplet Thomas Paine, The Rights of Man, adalah manifesto radikal pada zamannya.

Di Amerika Serikat, istilah radikal muncul seiring dengan perjuangan penghapusan perbudakan dan penegakan keadilan sosial. Beberapa tokoh abolisionis radikal, seperti John Brown, menuntut penghapusan perbudakan sekaligus penghapusan pemilikan pribadi.

Setelah perang sipil (1861-1865), istilah radikal dipergunakan secara luas di Amerika. Terutama karena adanya faksi dalam Partai Republik yang menganjurkan distribusi jutaan hektar tanah untuk bekas budak.

Pemikiran radikal berkontribusi besar dalam memberadabkan Amerika, terutama dalam menghilangkan perbudakan, rasialisme, dan penindasan kelas. Pemikiran radikal menjadi motor gerakan hak-hak sipil, feminis, gerakan lingkungan dan hak-hak buruh.

Tradisi radikal telah melahirkan tokoh besar macam John Brown, Martin Luther King, Malcom X, Mumia Abu-Jamal (Black Pather) hingga pemimpin gerakan buruh macam Cesar Chavez.

Radikal dalam sejarah Indonesia

Istilah “radikal” sangat terhormat dalam sejarah Indonesia. Orang Belanda yang menjadi pengeritik pedas kolonialisme Belanda, seperti Eduard Douwes Dekker (Multatuli) dan Ernest Douwes Dekker, sering disebut “radikal”.

Dalam pergerakan, radikal menjadi cap bagi gerakan yang tidak berkompromi dengan kolonialisme. Sebutan lainnya adalah non-koperasi. Gerakan radikal alias non-koperasi adalah antitesa dari gerakan moderat yang cenderung kompromis dan mengemis kebaikan pada penguasa kolonial.

Tokoh-tokoh kunci pergerakan nasional, seperti Tjipto Mangungkusumo, Ernest Douwes Dekker, dan Suwardi Suryaningrat, juga digolongkan sebagai nasionalis-radikal.

Indische Partij, partai yang didirikan oleh Tjipto, Suwardi dan Douwes Dekker, diilhami oleh semangat nasionalisme-radikal, yang tidak lagi terperangkap pada kesempitan cara pandang etnis maupun agama. Mereka juga keluar dari jebakan pengkotak-kotakan pribumi dan non-pribumi. Mereka memperjuangkan sebuah nation Hindia yang merdeka dan demokratis, dimana semua suku bangsa dan ras memilik hak yang sama di dalamnya.

Cap radikal juga melekat pada tokoh-tokoh di barisan kiri (komunis), seperti Mas Marco Kartodikromo, Semaun, Haji Misbach, Tan Malaka, Darsono, Ali Archam, Musso, Alimin dan lain-lain.

Jadi, seperti dikatakan Soe Hok Gie dalam Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, “kaum radikal itu berasal dari segala golongan.”Bisa kaum nasionalis, agamis, apalagi komunis.

Sukarno, tokoh terkemuka pergerakan nasional, malah menganjurkan radikalisme. Dalam risalahnya di tahun 1933, Mencapai Indonesia Merdeka, dia menjelaskan pengertian radikal dengan sangat tepat.

“Radikalisme, – teram­bil dari perkataan radix, yang artinya a k a r -, radikalisme haruslah azas machtsvorming Marhaen: berjoang tidak setengah-setengahan tawar-menawar tetapi terjun sampai ke akar-akarnya kesengitan antitese, tidak setengah-setengahan hanya mencari “untung ini hari” sahaja tapi mau menjebol stelsel kapitalisme-imperialisme sampai ke akar-akarnya, tidak setengah-setengahan mau mengadakan pero­bahan-perobahan yang kecil-kecil sahaja tapi mau mendirikan masyarakat baru samasekali di atas akar-akar yang baru, – berjoang habis-­habisan tenaga membongkar pergaulan hidup sekarang ini sampai keakar-akarnya untuk mendirikan pergaulan hidup baru di atas akar-akar yang baru,” tulis Sukarno.

Bagi Sukarno, perjuangan kaum marhaen haruslah bernyawakan radikalisme, berazaskan radikalisme, agar tidak tergelincir pada reformisme dan kompromi yang merugikan masa depan perjuangan kaum marhaen. Disamping bersenjatakan machtvorming dan massa-aksi.

Karena itu, Sukarno menganjurkan partainya, Partai Nasional Indonesia (PNI), menjadi partai radikal.

“…maka partai sendiri lebih dulu harus partai yang bewust, partai yang sedar, partai yang radikal. Hanya partai yang bewust dan sedar dan radikal bisa membikin massa menjadi bewust dan sedar dan radikal. Hanya partai yang demikian itu bisa menjadi pelopor yang sejati di dalam pergerakan massa, dan membawa massa itu dengan selekas-lekasnya kepada kemenangan dan keunggulan,” tulisnya.

Jadi, agak aneh jika ada partai yang mengaku pewaris ajaran Sukarno ikut-ikut mengutuki radikalisme. Partai itu bukan hanya buta sejarah, tetapi kurang membaca tulisan-tulisan Sukarno. Atau jangan-jangan lembar-lembar tulisan Sukarno sudah jadi pembungkus kacang?

Tidak bisa dimungkiri, Indonesia merdeka sebagian besar karena pengorbanan kaum radikal. Mereka yang dibunuh, dibuih, dan dibuang.

Radikal itu keren

Tidak bisa dimungkiri, radikal berjasa besar bagi umat manusia, mulai dari gerakan penghapusan perbudakan, gerakan anti-kolonialisme, gerakan feminis, gerakan buruh, perjuangan petani, gerakan lingkungan, dan lain-lain.

Tidak bisa dimungkiri juga, bahwa orang-orang yang disebut radikal di masa lalu adalah pejuang-pejuang besar kemanusiaan, yang menghendaki perubahan sosial secara mendasar untuk tegaknya keadilan sosial. Semua revolusi besar dunia, yang mengubah wajah dunia menjadi lebih baik, adalah buah tangan kaum radikal. Dan maaf saja, tidak ada revolusi yang dibuat oleh kaum moderat dan jalan-tengahisme.

Karena itu, radikal di masa lalu identik dengan kaum progressif. Mereka yang menuntut perbaikan, pembaharuan, dan kemajuan. Dan tidak salah jika Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefenisikan radikal sebagai: (1) secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip): perubahan yang –;  (2) Politik, amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); (3) maju dalam berpikir atau bertindak. Jadi, radikal itu keren loh!

Dengan melihat genealoginya, kiprahnya dalam sejarah, hingga defenisinya dalam KBBI, adalah sangat tidak tepat menyebut teroris, sektarianisme agama, dan intoleransi sebagai akibat radikalisme. Tidak bisa manusia reaksioner, apalagi visi politik yang hendak kembali ke abad pertengahan, disebut radikal.

Bahaya distorsi radikal

Saya sendiri melihat, pengaitan radikalisme dengan terorisme menyimpang bahaya besar.

Pertama, mendiskreditkan radikalisme sebagai biang keladi gerakan kekerasan yang destruktif. Kalau sudah begitu, siapa yang mau disebut radikal?

Kedua, mendiskreditkan radikalisme sebagai visi politik yang reaksioner dan konservatif. Padahal, radikalisme dalam sejarah adalah gerakan pembaharuan, perbaikan sosial, dan memajukan derajat kemanusiaan.

Ketiga, pemujaan berlebihan terhadap segala yang “moderat”atau politik jalan tengah. Padahal, pada situasi tertentu, seperti di bawah penindasan brutal kapitalisme dan imperialisme saat ini, jalan perubahan yang radikal justru merupakan keharusan.

Cara berpikir dan bertindak radikal selalu dibutuhkan oleh manusia ketika berhadapan dengan jalan buntu alias status-quo. Tidak hanya dalam politik, tetapi juga dalam ilmu pengetahuan.

Jadi, jangan takut berpikir dan bertindak radikal!

Rudi Hartono, pimred berdikarionline.com