Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Ironi Hutan Adat Nagari Malalo




Perampasan hutan adat kembali terdengar. Seringkali, hak ulayat adat dipandang sebagai penghambat pembangunan.

Ada perbedaan pandangan antara Negara dan masyarakat adat dalam memandang hutan. Negara memandang hutan sebagai komoditas, sementara masyarakat adat menganggap hutan sebagai penentu keberlangsungan hidup mereka. Merampas hutan, sama saja seperti merebut sumber penghidupan masyarakat adat.

Untuk kesekian kalinya, deforestasi terjadi di Sumatera Barat terutama soal eksploitasi hutan dan kekayaan alam untuk pemodal besar. Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan selama 2009-2013, tutupan hutan sumbar hilang 81.830 hektar hingga tutupan hutan yang tersisa pada 2013 seluas 1.683. Laju deforestasi per tahun 20.457 hektar atau 5,35%.

Meskipun Indonesia telah melakukan ratifikasi kebijakan Free, prior, informed, consent (FPIC) melalui deklarasi PBB tentang pengakuan hak masyarakat adat pada tahun 2007 lalu. Ternyata hal ini tidak berdampak apa-apa bagi masyarakat hukum adat Minangkabau. Praktik pemanfaatan hutan untuk kegiatan pembangunan menjadi pembenaran atas tindakan mengasingkan, meminggirkan dan mengkerdilkan otoritas adat dalam mengelola hak atas hutan.

Selama ini, izin pemanfaatan tak bermusyawarah dengan pemangku adat. Jika legal, izin dari pemerintah tanpa mensyaratkan persetujuan pemangku adat. Konsesi yang dibuat pun tidak memperhatikan kawasan wilayah adat, dampaknya sejak pertengahan tahun 2016 lebih dari 242.827,56 hektar kawasan hutan adat dilepas jadi perkebunan sawit untuk 43 perusahaan baik modal asing maupun dalam negeri.

Ancaman kelestarian hutan datang dari berbagai sisi, tak hanya pembukaan lahan maupun pemanfaatan hutan. Pembalakan liar, menebang pohon besar untuk dijual merupakan potret yang terjadi di kawasan hutan adat Malalo yang diklaim sebagai milik negara.

Masyarakat adat Malalo membagi pengelolaan hutan menjadi beberapa fungsi pengelolaan yakni hutan larangan, merupakan hutan ulayat Nagari yang belum terbagi kepada suku-suku. Seluruh isi hutannya tidak dapat dimanfaatkan baik berupa hasil hutan kayu maupun bukan kayu, biasanya letaknya jauh ditengah hutan. Hutan cadangan merupakan kawasan hutan yang belum terbagi kepada suku-suku namun memungkinkan untuk dibagi seiring dengan pertumbuhan penduduk, pemanfaatannya dapat berupa hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan kayu dan harus seizin ninik mamak sebagai penguasa ulayat.

Sekitar 75 persen daerah Malalo merupakan kawasan hutan, 15 persen merupakan kawasan perairan danau singkarak, 0,9 persen merupakan areal persawahan dan 0,1 persen merupakan pemukiman masyarakat. Nagari ini merupakan kawasan penyangga dari ekosistem danau singkarak, karena memiliki tutupan hutan yang luas dan sebagai penghasil sumberdaya air terbesar di Kabupaten Tanah Datar.

Semenjak tahun 2006, masyarakat adat Malalo menentang klaim Negara atas kawasan hutan yang ada di wilayah adat Malalo. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 422/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 sebagaimana yang telah diubah melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 35/Menhut-II/2013 tanggal 15 Januari 2013 tentang penunjukan kawasan hutan sumatera barat. Dalam kawasan hutan adat Malalo terdapat kawasan hutan cagar alam Bukit Barisan I dan kawasan hutan lindung, hanya sedikit daerah mereka yang masuk kedalam kawasan hutan bebas atau kawasan dengan peruntukan areal penggunaan lain (APL).

Sekitar 75% dari wilayah yang diklaim negara adalah kawasan hak ulayat milik Nagari Malalo, bahkan terdapat beberapa pemukiman masyarakat Nagari Malalo di dalam hutan tersebut. Artinya, ladang, kebun, sawah, rimba dan hutan yang termasuk ulayat mereka diklaim negara sebagai kawasan hutan negara dengan fungsi lindung dan suaka. Hak ulayat mereka atas bumi, air dan kekayaan alam, terutama hutan telah dirampas oleh pemerintah. Mereka terancam dipidana pula pada saat memanfaatkan hutan ulayat tanpa izin negara. Tindakan ini memberikan gambaran bahwa Negara berusaha memisahkan masyarakat adat Malalo dengan hak ulayat yang turun-temurun mereka pertahankan.

“Kami telah mengelola hutan sejak dahulunya, sejak negara ini belum merdeka. Untuk sekarang kami tidak bisa memanfaatkan hutan itu kembali sebab kami bisa ditangkap oleh pihak kepolisian jika tetap masuk kedalam wilayah kami sendiri,” tegas Can Amalo, tokoh masyarakat Malalo.

Kalimat itu diucapkan lebih dari lima kali oleh Amalo dengan nada marah. Wajahnya tampak kesal, tangannya menunjuk-nunjuk ke atas. Wajar saja, Negara merampas hak Amalo melalui Pasal 11 ayat (4) UU P3H yang menyatakan bahwa masyarakat yang bertempat tinggal di dalam kawasan hutan dan melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial harus mendapat izin dari pejabat. Akibatnya, Amalo seringkali berkonflik dengan perhutani saat dia ingin mencari kayu bakar di hutan adat mereka sendiri.

Saat ini yang mereka inginkan adalah pengakuan dan dilibatkan dalam melakukan teritorialisasi hutan adat yang dirampas oleh Negara. Perda Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2008 tentang nagari sudah menegaskan bahwa nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum adat. Sehingga melalui ketentuan itu Malalo menuntut hak ulayat yang melekat di nagari untuk diakui oleh pemerintah.

Menunggu harapan penetapan hutan adat Malalo

Masyarakat adat Malalo konsisten dalam menjaga hutan. Sanksi adat diterapkan bagi siapa saja yang memasuki hutan larangan dan hutan cadangan yang telah diperuntukkan. Bahkan seorang petugas dari Dinas Kehutanan pun pernah diberikan sanksi adat pada saat memasuki kawasan hutan larangan guna melakukan kegiatan penataan batas kawasan hutan di daerah tersebut.

Malalo memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya hutan. Jika ada diantara anak kemenakan yang hendak menikah, maka mereka harus terlebih dahulu menanam lima batang pohin di kawasan hutan. Setelah melakukan penanaman itu barulah pemangku adat dapat mengeluarkan surat persetujuan untuk pelaksanaan pernikahannya. Selanjutnya jika diantara anak kemenakan yang hendak mendirikan rumah, maka dilarang baginya untuk menebang kayu minimal sejauh 100 meter dari bantaran sungai dan wajib untuk menanamnya kembali.

Mereka sangat menghargai dan menghormati hutan. Seringkali tindakan apapun mereka lakukan untuk menjaga dan melindungi hutan mereka dari oknum yang berkepentingan memanfaatkan hutan mereka. Namun, dalih ketentuan UU P3H menjadi pembenaran pemerintah untuk melakukan penguasaan terhadap hutan.

Undang-undang ini justru melanggengkan konflik kehutanan sebagai akibat ketidakpastian jaminan negara atas pengelolaan hutan oleh masyarakat. Norma-norma yang terdapat dalam undang-undang ini sangat tendensius, menyasar kepada masyarakat hukum adat dan penduduk di sekitar kawasan hutan. Nagari Malalo merupakan daerah yang berdampingan langsung dengan kawasan hutan bahkan diantara masyarakatnya ada yang bermukim dalam kawasan hutan, sehingga perlu kiranya hak mereka atas hutan untuk diakui oleh pemerintah.

Pada bulan Mei 2014, akhirnya Kerapatan Adat Nagari (KAN) Malalo sebagai pemangku adat mendorong penyelesaian konflik antara masyarakat dengan Pemerintah Kabupaten Tanah Datar mengenai penetapan tata batas kawasan hutan di wilayah adat Malalo. Komunikasi dengan pemerintah terus dibangun untuk mempercepat penetapan hak hutan adat yang diklaim sebagai milik Negara.

Masyarakat menginginkan penetapan wilayah adat mereka. Secara administrasi wilayah adat yang sudah dipetakan oleh masyarakat berada di dua kabupaten dan pengelolaannya nantu mencakup dua nagari, maka peranan pemerintah provinsi menjadi penentu guna mewujudkan harapan mereka.

Meski telah hadir Perda Nomor 4 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa adat. Pemerintah Tanah Datar masih ragu-ragu untuk mewujudkan pengharapan masyarakat Malalo tersebut. Pasalnya keraguan itu terlihat dengan belum adanya kebijakan yang mengatur tata cara pengakuan masyarakat hukum adat dan proses penetapan wilayah adat. Jika kebijakan dipaksakan melalui Surat Keputusan Bupati atau Peraturan Daerah, ditakutkan berbenturan dengan peraturan yang lebih tinggi, ungkap Wakil Ketua DPRD Kabupaten Tanah Datar. Sehingga dalih tersebut membuat keinginan masyarakat tidak terakomodir.

Masyarakat Malalo berharap percepatan penetapan hutan adat mereka. Pasalnya segala bentuk persiapan sudah dilakukan oleh masyarakat, mulai dari menyiapkan peta wilayah adat dan membangun kesepahaman dengan para ninik mamak. Tanah Datar seharusnya tidak perlu ragu, karena banyak kebijakan lain yang bisa dipakai seperti  Peraturan Bersama Tiga Menteri tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan tanah yang berada di dalam kawasan hutan, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No.9/2015 tentang Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu, dan Permendes No.1/2015 tentang Hak Asal Usul Desa.

Sampai hari ini, masyarakat Malalo masih terus berjuang mendapatkan hak mereka atas hutan yang dirampas Negara. Bahkan pemerintah daerah tidak memberikan respon dan jaminan atas upaya pengakuan terhadap hutan mereka. Padahal hutan bagi masyarakat hukum adat menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan, sebagai bagian dari kehidupan masyarakat dan warisan bagi generasi berikutnya. Sehingga wajar jika mereka melakukan apapun untuk mempertahankan hak mereka yang telah hadir secara turun-temurun.

Negara harus menjamin kepastian hak masyarakat hukum adat atas hutan. Memastikan berjalannya ketentuan regulasi pengakuan terhadap hak ulayat adat. Bukan berperan sebagai predator dan merampas hak dasar masyarakat adat. Ini gambaran hukum rimba pengelolaan sumber daya alam, pihak yang kuat akan memperoleh manfaat dari kehancuran sumber daya alam.

“Kami hanya minta kembalikan wilayah adat kami. Kami tidak mau ditumpangkan ke tanah negara. Kami tidak terima perhutanan sosial, kita tidak tahu apa itu perhutanan sosial. Kita tuan rumah, lalu kenapa kita yang disingkirkan”, ungkap Amalo.

Yayan Hidayat, mahasiswa ilmu politik FISIP Universitas Brawijaya Malang; Peneliti di Center Information, Journal and Forum Development (CIJFD) Universitas Brawijaya

Sumber: Berdikari Online