Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Wisata Religius Palak Bengkerung, Cerminan Toleransi Umat Beragama

Indonesia adalah Negara di Asia Tenggara yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Data Departemen Dalam Negeri Tahun 2004, Indonesia memiliki 17.504 buah pulau dengan jumlah penduduk sebanyak 237,424,363 pada sensus 2010. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Selain itu Indonesia terkenal dengan keanekaragamannya dimana Indonesia memiliki berbagai macam adat, istiadat, budaya, ras, bahasa, agama serta lebih dari 300 suku bangsa yang tersebar di setiap daerahnya sehingga Indonesia layak disebut dengan negara yang memiliki masyarakat majemuk.

Indonesia merupakan bangsa yang paling majemuk atau pluarlitas di dunia ini, fenomena ini merupakan suatu kenyataan yang tak terbantahkan karena hal tersebut telah menjadi bagian dari sejarah panjang perjalanan hidup bangsa Indonesia. Dinamika hidup berdampingan diantara perbedaan menjadi warna kehidupan tersendiri bagi perjalanan bangsa ini. Bhineka Tunggal Ika barangkali inilah konsep ideal dalam mempersatukan bengsa Indonesia dari berbagai sisi kehidupan dalam mengikat/penyatuan beragam bahasa, suku bangsa (etnis) dan agama.

Pada zaman Orde Baru, Masyarakat hidup seperti biasanya antar suku, ras, maupun antar agama hidup berdampingan walaupun banyak konflik yang sering terjadi namun pemerintahan pada era itu bertindak dengan cepat untuk menyelesaikan konflik-konflik yang berkaitan dengan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan).

Pada masa reformasi, kebebasan berpendapat diberikan akan tetapi sisi buruknya adalah hal ini dimanfaatkan dengan sewenang-wenang oleh pihak-pihak yang menyebarkan kebencian antar golongan sehingga menyebabkan konflik antar golongan khususnya antar kelompok umat beragama di Indonesia sehingga mencoreng Kebhinnekaan Indonesia. Beberapa konflik yang terjadi adalah koflik Ketapang (Desember 1998), Kupang (Desember, 1998), Ambon (1998-2004), Sampit (1999), Mataram (Januari, 2000), Poso (2003-2004), dan Sulawesi Barat (2004). Pada umumnya, semua konflik di atas dilatar belakangi oleh beberapa aspek, antara lain, faktor politik, ketegangan antar etnik, sentimen keagamaan, kesenjangan budaya dan kesenjangan ekonomi. Meskipun tidak semua konflik yang muncul berlatar belakang sentimen keagamaan, namun kebanyakan konflik yang terjadi selalu melibatkan simbol dan atribut keagamaan. Rumah ibadah seperti

Masjid, Gereja, Vihara, dan lain-lain selalu menjadi sasaran utama untuk melampiaskan kemarahan ketika terjadinya konflik agama. Menurut Samuel Hantington dalam bukunya The Clash of Civilizations and the Remaking of Word Order, konflik budaya (termasuk agama) adalah bentuk konflik baru yang akan mewarnai perjalanan hidup masyarakat modern setelah berakhirnya masa perang dingin. Menurutnya juga faktor ideologi, politik dan ekonomi tidak lagi menjadi faktor fundamental penyebab terjadinya konflik, namun benturan peradaban akan mewarnai fenomena kehidupan global. Lebih lanjut Hantington mengatakan bahwa agama merupakan faktor utama dalam perbedaan antara peradaban, yang juga berkaitan dengan sejarah, bahasa, budaya, dan tradisi.

Sejatinya agama memberikan pengaruh yang positif dalam kehidupan manusia secara kesuluruhan ditengah banyaknya konflik yang terjadi. Menurut Sugiharto (dalam Andito (ed), 1998: 29), minimal ada tiga tantangan yang dihadapi oleh agama. Pertama, dalam menghadapi persoalan kontemporer yang ditandai disorientasi nilai dan degradasi moralitas, maka agama ditantang untuk lebih tampil sebagai suara moral yang otentik. Kedua, siap atau tidak, agama harus menghadapi kecenderungan pluralisme, mengolahnya dalam kerangka teologi baru, dan mewujudkanya dalam aksi-aksi kerja sama plural. Ketiga, bila agama ingin berperan penting dalam situasi kemelut posmodern ia mesti tampil dengan cara apapun, sebagai pelopor perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan ketidak adilan, termasuk “ketidakadilan kognitif,” yang biasanya diciptakan antara lain justru oleh agama-agama itu sendiri.

Agama memiliki peran yang diharapkan dapat membantu manusia dalam menghadapi berbagai macam masalah termasuk konflik namun ini masih belum dapat dilaksanakan karena berbagai faktor (Sugiharto dalam Andito, 1998: 31-32): Pertama, kemelut dalam tubuh masing-masing agama sendiri sering kali memproyeksi keluar. Sikap agresif berlebihan terhadap pemeluk agama lain sering kali merupakan ungkapan yang tak disadari dari chaos dan ketegangan dalam tubuh agama itu sendiri. Kedua, paham tentang kemutlakan Tuhan –yang umumnya dianut oleh hampir semua agama besar- juga memudahkan orang untuk mengidentikkan kemutlakan itu dengan kemutlakan agamanya. Keyakinan macam ini, betapapun masuk akalnya, secara psikologis memudahkan orang untuk melegitimasi segala tindakan kekerasannya sebagai “dikehendaki oleh Tuhan.” Ketiga, keyakinan bahwa segala tindakan kekerasan terhadap agama lain akan diganjar pahala oleh Tuhan, tentu saja menyebabkan kekerasan terhadap umat yang beragama lain akan menjadi bagian dari keutamaan moral. Keempat, dengan naik daunnya posisi agama dalam konstelasi peradaban kini, agama pun menjadi rawan untuk ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik, ekonomi dan kultural kelompok-kelompok tertentu atau pribadi.

Kehidupan umat beragama (Interaksi atau hubungan antar kelompok umat beragama) adalah fenomena di dalam masyarakat yang sangat menarik untuk dikaji karena fenomena itu sudah langka akhir-akhir ini. Fenomena inilah yang penulis lihat di Kecamatan Air Nipis tepatnya di Desa Palak Bengkerung Kabupaten Bengkulu Selatan dimana terdapat suatu masyarakat yang hidup berdampingan walapun memiliki perbedaan yakni dalam segi kepercayaan atau agama (Islam dan Kristen). Mereka hidup berdampingan dan saling menyadari akan adanya perbedaan sehingga mereka hidup dengan bertoleransi bahkan dalam satu keluarga terdapat perbedaan agama (Islam dan Kristen). Sikap toleransi tersebut mereka tunjukkan sehingga terciptanya kehidupan yang relatif damai ketimbang wilayah-wilayah yang memiliki pluralitas agama di wilayah Indonesia lainnya.

Keakraban dan kedekatan antara umat Islam dan umat Kristen di Desa Palak Bengkerung ini adalah salah satu contoh sikap toleransi yang patut di teladani dan sangatlah menarik untuk dikaji. Dengan adanya kajian ini setidaknya kita dapat menemukan bagaimana pola interaksi antar pemeluk agama yang berbeda dalam hal ini adalah Islam dan Kristen dan bagaimana cara mereka dapat menjaga toleransi dengan adanya perbedaan di sekitar mereka. Lebih jauh lagi, dengan adanya kajian ini kita dapat mengetahui bagaimana kontribusi budaya sosial (budaya suku/etnis) yang sama-sama dianut oleh mereka (budaya Serawai) terhadap corak interaksi yang berlangsung serta dengan adanya kajian ini hendaknya kita bersama-sama mewujudkan Indonesia sebagai negara yang multikultural dimana arti multikultural sendiri menurut Lawrance Blum adalah meliputi pemahaman, apresiasi dan penilaian budaya seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan tentang agama, budaya serta etnis orang lain. Untuk itulah penulis membuat essai yang berjudul “Palak Bengkerung, Wisata Religius Cerminan Toleransi Umat Beragama”

A. Deskripsi Desa Palak Bengkerung

a. Gambaran Umum

Secara Geografis desa Palak Bengkerung terletak di kecamatan Air Nipis kabupaten Bengkulu Selatan. Sebelum terjadi pemekaran kecamatan di kabupaten Bengkulu Selatan, desa Palak Bengkerung masuk dalam wilayah kecamatan Seginim dan menyatu dengan desa Suka Negeri, sejak tahun 2004 Palak Bengkerung menjadi sebuah desa definisif.
Secara administratif desa Palak Bengkerung memiliki batas wilayah sebelah timur: Sungai Bengkenang Besar, sebelah Selatan: Desa Tanjung Beringin, sebelah Barat: Hutan Lindung Bukit Ghiri dan sebelah Utara: Jembatan Air Nipis. Luas wilayah yang dijadikan tempat pemukiman penduduk kurang lebih seluas 3 km2, dengan profesi dominan penduduk adalah petani.

Sementara secara demografis penduduk yang mendiami desa Palak Bengkerung sebanyak 527 kepala keluarga (KK) dengan 2497 jiwa. Sebaran tempat tinggal antara masyarakat Islam dan Kristen tidak petak-petak tetapi membaur satu dengan yang lainnya. Secara lebih rinci sebaran penduduk desa Palak Bengkerung menurut agama yang dianut meliputi: Islam (laki-laki: 983, perempuan: 11670 dan Kristen (laki-laki; 162 dan perempuan: 185).

b. Sejarah Awal Masyarakat Palak Bengkerung

Penduduk Desa Palak Bengkerung merupakan penduduk yang berasal dari berbagai macam daerah di Bengkulu Selatan khususnya penduduk Kecamatan Pino dimana Perpindahan ini terjadi sebelum Indonesia merdeka. Mereka berpindah dengan tujuan untuk mencari lahan atau daerah yang subur agar dapat ditanami dengan tanaman makanan pokok yakni padi. Perpindahan tersebut didukung pula dengan sifat masyarakat yang masih sering berpindah-pindah (nomaden).

Dengan ditemukannya daerah subur yang cocok dijadikan lahan pertanian, Seginim (termasuk Desa Palak Bengkerung) dikenal sebagai daerah penghasil beras terbesar di Kabupaten Bengkulu Selatan dari dahulu hingga sekarang.

Masyarakat yang berpindah ke Desa Palak Bengkerung merupakan masyarakat yang telah memeluk agama Islam sebagai kepercayaannya. Agama Kristen masuk ke Desa Palak Bengkerung pasca terjadinya peristiwa Gerakan 30 S PKI. Pada masa ini, masyarakat mulai mengalami degradasi atau penipisan pemahaman tentang agama ditambah lagi dengan datangnya musim kemarau yang panjang atau masyarakat Palak Bengkerung menyebutnya dengan “musim pecaklik” sehingga masyarakat yang mayoritas memiliki mata pencaharian sebagai petani mengalami gagal panen. Dengan adanya krisis ini membuat agama seperti halnya barang yang dijual dan digantikan dengan alat-alat pertanian, makanan, serta kebutuhan rumah tangga lainnya.

Pada saat itu hubungan antar kedua umat beragama (Islam dan Kristen) mengalami gejolak yang disebabkan oleh proses penyebaran agama Kristen yang dilakukan secara terang-terangan kepada masyarakat beragama sehingga membuat umat muslim Desa Palak Bengkerung marah. Tahun 1966 merupakan saksi bisu dari puncak kemarahan umat muslim terhadap penginjilan yang dilakukan di Desa Palak Bengkerung yang ditandai dengan dibakarnya Gereja Kristen Desa Palak Bengkerung
.
Gejolak pada tahun 1966 tersebut merupakan titik awal dimulainya istilah Sasuduga yang kami ciptakan. Semenjak gejolak itu, Desa Palak Bengkerung mulai menciptakan trend positif yang dijaga dari tahun ke tahun. Tidak bisa di pungkiri hal ini tidaklah lepas dari keterlibatan masyarakat Islam dan Kristen dalam membina hubungan toleransi antaragama, juga keterlibatan pemerintah dalam hal ini pemerintah desa dalam memformulasi pola hubungan antaragama Islam dan Kristen di Palak Bengkerung.

B. Teladan Dari Palak Bengkerung

a. Hajatan

Hajatan adalah prosesi atau kegiatan yang dilakukan seseorang sebagai bukti bersyukur kepada Yang Maha Kuasa atas suatu berkah atau nikmat. Hajatan biasanya dilakukan dengan mengundang tetangga dan keluarga untuk berdoa serta makan bersama begitupun di Desa Palak Bengkerung. Prosesi Hajatan di Desa Palak Bengkerung bisa berupa aqiqah, bimbang, beijau adik sanak, syukuran dengan menyediakan makanan yang akan dibagikan atau dimakan bersama-sama dengan semua masyarakat tanpa memandang agama.

Teladan yang dapat diambil dari Desa Palak Bengkerung di kegiatan ini adalah bersyukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbagi terhadap sesama manusia, dan menguatkan tali silahturrahim.

b. Tradisi Pantauan

Sama halnya dengan pembahasan sebelumnya, tradisi pantauan adalah tradisi yang berkaitan dengan hajatan khususnya beijau adik sanak yang dimana jika di suatu rumah mengadakan hajatan, tetangga yang berada di depan rumah atau di samping rumah dengan kesadaran sendiri akan membantu dengan cara menjadikan rumahnya sebagai tempat untuk memasak makanan yang akan dimakan oleh tamu undangan. Namun, tetangga tersebut tidak melakukannya sendirian melainkan tetangga yang lain akan berkumpul untuk membantu baik berupa fisik (tenaga) maupun berupa materi (sembako). Mereka memasak bersama-sama di tempat tersebut dan mereka melakukannya tanpa memandang agama.

Teladan yang dapat diambil dari Desa Palak Bengkerung dalam kegiatan ini adalah gotong royong atau sikap saling tolong menolong yang dilakukan oleh masyarakat. Sikap tolong menolong adalah sikap yang akan mempermudah suatu pekerjaan karena dilakukan secara bersama-sama.

c. Ambik Aghian

Mayoritas mata pencaharian masyarakat Desa Palak Bengkerung adalah petani sehingga tak bisa di pungkiri jika Seginim (termasuk Desa Palak Bengkerung) merupakan penghasil beras terbesar di Kabupaten Bengkulu Selatan. Namun ada tradisi unik yang dilakukan oleh petani di Desa Palak Bengkerung yaitu jika salah satu dari mereka sedang mengalami sakit atau tidak bisa hadir ketika mereka merawat sawah, maka salah satu dari mereka akan mengambil pekerjaannya di sawah dan membantu seseorang yang tidak dapat hadir tersebut dalam merawat sawah. Dengan kesadaran yang tinggi seseorang yang tidak dapat hadir tersebut akan membalasnya di suatu hari atau bahkan dia akan melakukan hal yang sama ketika seseorang yang menolongnya mengalami sakit atau tak dapat hadir ke sawah tanpa memandang siapapun mereka dan apapun agam mereka

Tradisi Ambik Aghian merupakan tradisi yang patut di contoh oleh daerah lainnya dalam menjaga kerukunan. Teladan dari Desa Palak Bengkerung dalam kegiatan ini tentunya adalah sikap saling tolong menolong dan juga sikap balas budi.

Dengan adanya perbedaan ini, Desa Palak Bengkerung dituntut untuk menjaga stabilitas daerahnya ketika Hari Raya itu tiba. Masyarakat Palak Bengkerung memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya menjaga kerukunan, bertoleransi, serta menjaga kemajemukan penduduknya. Mereka saling hormat-menghormati ketika prosesi Hari Raya masing-masing agama dilaksanakan. Teladan yang dapat diambil adalah pentingnya bertoleransi antar umat beragama demi menciptakan kerukunan dan ketentraman suatu daerah.

Dari pernyataan-pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa teladan dari Desa Palak Bengkerung untuk menjaga kerukunan dan ketentraman antar umat beragama adalah bersyukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbagi terhadap sesama manusia, menguatkan tali silahturrahim, gotong royong atau sikap saling tolong menolong, sikap balas budi, menjunjung tinggi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika, serta bertoleransi antar umat beragama. Hal itulah yang patut kita contoh demi terciptanya Indonesia yang multikultural dan terciptanya Sasuduga yang ditandai dengan bangkitnya semangat persatuan antar umat beragama di Indonesia.

Muhamad Daffa Tisyahri Putra, Pelajar SMA Negeri 1 Bengkulu Selatan
Komunitas Ayo Menulis Bengkulu