Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Sekolah Tinggi Kejahatan

penjaraSECARA sederhana dapat dartikan tujuan pemidanaan sesorang adalah agar pelaku tindak pidana menginsafi kesalahannya, sehingga ketika pelaku kejahatan dimasukan ke penjara yang diharapkan adanya efek jera melahirkan perubahan prilaku yang baik.

Sayangnya antara harapan dan kenyataan bertolak belakang 3600. Tamatan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) malah menjadi penjahat kambuhan alias resedivis. Peristiwa pembakaran Rutan Malabero pada Jumat (25/03/2016) malam, adalah faktanya.

Perisitiwa ini turut membuka buruknya sistem Pemindanaan (pemenjaraan) di Indonesia. Kejahatan bukan saja dirancang dan berkembang dari balik bilik penjara, tetapi juga penjara (Lapas) menjadi sekolah tinggi kejahatan (school of crime).

Lapas bukan menjadi tempat “pertobatan”, melainkan sebagai tempat menimbah ilmu kejahatan. Ilmu kejahatan yang dipelajari seorang kriminal di dalam juruji besi pertama-tama adalah kemampuan mereka menegosiasikan hukum.

Tujuan menegosiasikan hukuman ini agar jatuhnya putusan lebih ringan dari tuntutan yang sebenarnya. Karena itu, para pelaku kriminal khatam betul dengan “lubang tikus” yang ada ditubuh penegak hukum. Hanya dari balik jeruji besi lah, publik bisa mengetahui praktek suap, mafia kasus dan buruknya sistem pemindanaan yang tampak telanjang depan mata.

Di dalam penjara yang terjadi adalah transformasi ilmu dan pengalaman diantara pelaku kejahatan. Penjahat kelas teri naik kelas menjadi kelas kakap, seperti lelucon ketika sesorang dijatuhi hukuman karena mencuri sepeda, maka setelah bebas dan kembali ke masyarakat, seseorang itu akan menjadi pencuri sepeda motor.

Pengakuan tersebut bahkan pernah meluncur dari bibir mantan Menteri Hukum dan HAM RI, Patrialis Akbar, bahwa manajemen penjara membuat pelanggar hukum tidak menjadi lebih baik daripada sebelum mereka dipenjarakan, bahkan mereka dapat menjadi lebih berperilaku kriminal.

Selain itu, pernyataan pihak kepolisian adanya solidaritas negatif diantara para tahanan Rutan Malabero bukan sesuatu yang remeh, sebab kejahatan bukan lagi aksi individu melainkan aksi massa, artinya perbuatan kejahatan itu diterima secara umum dan diorganisasikan.

Bagi pelaku kejahatan tertentu, penjara bukan tempat pertobatan melainkan wadah untuk merekrut dan membangun jaringan yang lebih luas. Disaat seperti inilah pemerintah tidak perlu lagi berpura-pura buta, bahwa penjara sudah menjadi sekolah kejahatan.

Ketika pidana penjara dinilai gagal memberikan efek jera maka negara ini berada dalam kondisi darurat kejahatan, sebab sistem pemidanaan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) tidak bisa lagi diharapakan. Bukan karena negara kalah dari penjahat,  tetapi karena sistem pemindanaan tidak lagi memadai untuk melindungi kehidupan sosial.

Maka dari itu, pergantian nama dari pemenjaraan atau balas dendam menjadi sistem perlindungan sosial atau Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) tidak lah cukup. Meski ada perbaikan menajemen penahanan.

Bagi pelaku kejahatan individu dan tidak berulang, tidak perlu ditempatkan dalam satu tempat tahanan. Ini untuk mencegah mereka yang khilaf berbuat salah tidak bertambah “rusak” setelah keluar dari Lapas. Sedangkan pelaku kejahatan yang berulang dan tergolong extraoridinary crime mesti ditangani dengan khusus.

Selain itu, sistem pemindanaan juga mesti diperbaiki. Penegak hukum tidak usah semberono dan boros menggunakan hukum pidana, jika kejahatan itu tidak berulang dan kecil maka sebaiknya terapkan restorasi justice. Pelaku hanya perlu dimediasi, tidak perlu dipenjarakan karena lulusan Lapas itu jelek hasilnya.

Bila pemerintah ingin melakukan perbaikan dan pengetatan pengawasan saja, tanpa memperbaiki sistem pemindanaan dan penahanan yang ada maka sia-sia saja. Tanpa mematikan akar yang melahirkan sekolah kejahatan di dalam Lapas maka Negara hanya akan buang-buang uang saja meperbaiki kehidupan sosial.