Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Sepatu Boots, Barang Mewah Dimata Pemulung

[caption id="attachment_15074" align="alignleft" width="300"]IST/Anak-anak melewati area Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. IST/Anak-anak melewati area Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah.[/caption]

BENGKULU, PB - Cuaca cerah membuat lalat-lalat hijau tampak lebih jelas di unggukan sampah di Tempat Pembuang Akhir (TPA) Air Sebakul. Tubuh Vivi (21), pemulung yang sehari-hari bekerja ditempat itu juga dikerumuni lalat. Bagi pemulung, lalat adalah teman karib pekerjaan.

Baca juga: Suryati dan Harapan Para Pemulung TPA Air Sebakul.

Wajahnya langsung sumringah ketika memberikan cake ulang tahun kepada rekannya, Arwan (25). Kue Ultah itu bukan berasal dari toko Mc Donald, tapi sisa kue yang ditemukan di tumpukan sampah. Meski begitu, Arwan tetap riang dengan doa penuh suka cita menyambut usianya yang meranjak 25 tahun.

Para pemulung itu bekerja lebih rajin dari para pegawai kantoran. Pagi buta mereka telah bekerja mengais tumpukan sampah hingga petang datang baru lah usai. Meski telah bekerja banting tulang, tetap saja jalan nasib sulit berubah. Ia tak dapat membeli mimpinya, bahkan untuk sebuah sepatu boots.

Sepatu boots adalah barang mewah bagi para pemulung. Sebab, bekerja dengan sepatu biasa atau juga dengan kaki telanjang sangat beresiko. Sayangnya, kantong para pemulung hanya bisa menjangkau sepatu boots berkualitas rendah, hanya dua sampai tiga bulan saja sudah rusak. Satu sepatu bisa seharga Rp. 80.000.

Harganya memang tak seberapa, namun dengan penghasilan Rp 10 ribu sampai Rp 25 ribu rupiah per hari, tentu tidak lah cukup buat keperluan pangan sehari-hari. "Uang itu habis untuk kebutuhan anak-anak sekolah," kata Vivi sambil menghempaskan tubuhnya di atas tanah kuning, baru-baru ini.

Pendapatannya sehari-hari habis untuk kebutuhan rumah tangga sehingga tak bisa menyisihkan untuk kebutuhan sepatu baru. Meski bekerja di TPA Air Sebakul awalnya untuk mengisi waktu luang dan membantu suaminya yang bekerja di pabrik susu, akhirnya pekerjaan ini lekat menjadi rutinitasnya.

"Kalau ada uang Rp 80 ribu, ya bakal dibelanjakan untuk keperluan dapur. Awalnya mungkin diniatkan buat sepatu, tapi kalau beras di rumah habis gimana? Sepatu baru kan ngak bisa dimakan," jelas Vivi sambil tertawa.

Puluhan pemulung lainnya bernasib sama seperti Vivi. Mereka bersahabat dengan aroma busuk, tetapi juga nyamwa yang bisa melayang karena tetanus.

"Kalau ditanya mau sepatu boots, ya mau. Tapi harganya mahal sekali. Jadi sampai sekarang masih pakai sepatu biasa ini. Kemarin luka lagi waktu ngumpulkan barang bekas, mungkin karna tipis," ujar Arwan sambil memperlihatkan sepatu tipisnya.

Ia mengatakan bila dulu para pemulung mendapat bantuan sepatu, sarung tangan, dan masker dari pemerintah. Sayangnya sekarang tak pernah lagi, ia berharap "pihak di atas" masih ingin melihat ke arah mereka meski berada jauh dari kantor.

"Dulu ada yang kasih bantuan sembako tiap tiga bulan sekali. Yang kasih sepatu juga ada. Tapi dulu, sudah lama sekali. Tapi sekarang belum ada lagi yang datang kesini buat bantu-bantu kami." harapnya. [Valentina]