Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Mengintip Kehidupan LGBT di Stadion Semarak Sawah Lebar

[caption id="attachment_14854" align="alignleft" width="300"]LGBT IST - Sebuah gambar yang diyakini sebagai kutukan terhadap kaum Lut[/caption]

Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau biasa disingkat dengan LGBT terus menuai pro dan kontra. Diawali dengan legalisasi kelompok ini di Amerika Serikat, sejumlah spektrum masyarakat di Indonesia terbelah. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise bahkan mengatakan ada ribuan anak Indonesia yang masuk jaringan kelompok ini. Bagaimana kehidupan salah satu dari mereka yang ada di Kota Bengkulu?

ZEFPRON SAPUTRA, Kota Bengkulu

JUM'AT (20/2/2016) sekira pukul 22.45 WIB, suasana Jalan Kalimantan mulai terlihat sepi. Sesekali truk besar melintas. Di depan Gang Hidayah Rawa Makmur, Susan (25), berdiri ditepi jalan melihat-lihat kendaraan roda dua yang melintas dengan harapan salah satunya bisa ia tumpangi. Ia adalah wanita dalam tubuh pria atau biasa disingkat waria.

Susan tampak eksentrik di tengah lalu lintas yang riuh di Kelurahan Rawa Makmur. Dengan menggunakan sepatu hak tinggi, ia memakai baju tunik yang membuat pahanya menganga. Meski berjenis kelamin laki-laki, Susan selalu berusaha tampil cantik. Riasnya tebal, tapi tak mampu menutup jakunnya. Parfum yang digunakannya langsung menyengat hidung ketika ia diberikan tumpangan untuk menuju Stadion Semarak Sawah Lebar.

Sepanjang jalan dari Kelurahan Rawa Makmur ke Sawah Lebar, Susanto, nama aslinya, berkeluh kesah tentang jalan hidup yang dia pilih. Sebagai manusia biasa, ia sampaikan bahwa profesi sebagai waria ia jalani karena membutuhkan makan.

Ia heran dengan banyaknya orang yang mengecam LGBT. Tapi, pelanggannya tetap ada. Seminggu ia bisa memperoleh belasan pelanggan. Mengenai tarif, Susan biasa berkompromi dengan pelanggannya.

"Urusan moral dan akhlak urusan masing-masing orang. Tidak perlu campuri moral dan akhlak orang lain. Kami tidak korupsi. Kami tidak menganggu Satpol PP yang sering sibuk menangkap kami. Setelah ditangkap, kami disia-siakan," katanya dengan logat Rejang di tengah-tengah perjalanan.

Tapi Susan tak menampik bahwa sejak lama, ia ingin menjalani kehidupan sebagaimana keluarganya yang lain. Ia sendiri pada siang hari menjadi tukang rias salon. Namun apa yang ia dapatkan sebagai tukang rias, tak cukup untuk menutupi kebutuhan keluarganya yang besar. Berawal dari ajakan temannya, ia pun larut dalam dunia prostitusi sebagai waria.

"Bohong kalau orang seperti kami tidak mau hidup tenang seperti orang lain. Tapi kami butuh pendampingan. Kami butuh pembinaan. Kami butuh modal untuk usaha. Kami tidak mungkin terus seperti ini sepanjang hidup kami," ujarnya seraya berlalu dan menghampiri teman mangkalnya di Stadion Semarak Sawah Lebar.

Salah satu tokoh agama di Bengkulu, Dani Hamdani, mengatakan, LGBT memang memerlukan pendampingan dan pembinaan untuk membunuh penyakit jiwa dalam diri mereka. Ustad Dani merasa heran dengan adanya kelompok yang mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk melindungi kelompok LGBT tersebut.

Menurutnya, para aktifis HAM perlu mengkaji dan memikirkan dampak dari perilaku LGBT. Ia menuturkan, pada prakteknya, sudah banyak korban dari kelompok LGBT yang akhirnya menderita penyakit menular seksual.

"Penerimaan terhadap suatu tindakan tidak cukup hanya dengan perasaan. Namun perlu juga dilakukan kajian sebab akibat," kata Ketua Yayasan Al-Fida ini.

Di dalam Al-Qur'an sendiri, tertulis dalam Surat Al-A'raaf ayat 80 hingga 84 bagaimana kisah kaum Lut yang dibinasakan oleh Allah SWT karena maraknya LGBT. Dalam ayat tersebut, LGBT disebut sebagai perbuatan yang keji, yang baru terjadi pada masa itu.

Dalam Surat Al-A'raaf juga tertulis LGBT sebagai kaum yang melampaui batas. LGBT seakan mengabaikan keseimbangan alam dimana Tuhan telah menciptakan laki-laki dan perempuan sebagaimana siang dan malam.

Ia menegaskan, ketika seorang LGBT mengidap penyakit menular seperti HIV/Aids, orang yang merawat dan mengurus jenazah mereka adalah keluarga, tetangga dan teman dari LGBT itu sendiri, bukan aktifis HAM.

"Seharusnya ketika LGBT terjebak dengan suatu jenis penyakit tertentu, aktifis HAM ikut bertanggungjawab. Karena merekalah yang selalu mengkampanyekan serta mensosialisasikannya," tukas Dani.

Ia menambahkan, faktor subjektifitas keadaan hidup LGBT tak cukup untuk dijadikan alasan melegitimasi atas keberadaannya. Menurutnya, faktor objektif sebagaimana yang diatur dalam etika, norma, adat dan istiadat serta agama harus dipedomani dalam menentukan keberadaan LGBT tersebut. [**]