PedomanBengkulu.com, Bengkulu – Kerangka hukum pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia sudah kuat melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Namun, penerapannya di daerah masih menghadapi tantangan, terutama soal keterpaduan, pembiayaan, dan jangkauan layanan hingga pelosok.
Anggota Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Hj Leni Haryati John Latief, menyebut Provinsi Bengkulu patut diapresiasi karena terus memperkuat pelayanan bagi Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) melalui berbagai langkah strategis.
“Melalui RSKJ (Rumah Sakit Khusus Jiwa) Soeprapto Bengkulu, pemerintah daerah berhasil mengubah wajah layanan kesehatan jiwa menjadi lebih inklusif dan berorientasi pada pemulihan,” ujar Hj Leni Haryati John Latief, Jumat (24/10/2025).
Lulusan Magister Administrasi Publik Universitas Bengkulu ini menilai, penandatanganan kerja sama antara RSKJ Soeprapto dan pemerintah kabupaten/kota pada awal 2025 menjadi tonggak penting dalam pemerataan layanan. Program seperti jemput dan rawat gratis di Kabupaten Lebong lewat program Bantu Rakyat juga menjadi bukti nyata keadilan sosial bagi warga kurang mampu.
“Langkah RSKJ membuka layanan kesehatan umum sejak Maret 2025 juga patut diapresiasi, karena membantu menghapus stigma negatif terhadap rumah sakit jiwa,” ujar Hj Leni Haryati John Latief.
Ketua Badan Koordinasi Majelis Taklim Masjid Dewan Masjid Indonesia (BKMM-DMI) Provinsi Bengkulu ini melanjutkan, tak kalah penting keberadaan Rumah Damping Bahagia (Rudaba), hasil dari Peraturan Gubernur Bengkulu Nomor 29 Tahun 2019, yang menampung ODGJ pascarehabilitasi tanpa keluarga atau tempat tinggal. Menurutnya, fasilitas ini menegaskan bahwa Bengkulu tidak hanya mengobati, tetapi juga memulihkan martabat manusia.
Meski begitu, ia mengingatkan bahwa stigma sosial terhadap ODGJ sembuh masih menjadi hambatan besar dalam proses reintegrasi. Edukasi publik dan literasi kesehatan jiwa perlu digalakkan dengan melibatkan lembaga pendidikan, tokoh agama, media, dan komunitas lokal.
Tantangan lain muncul akibat efisiensi anggaran pemerintah pusat tahun 2025, yang berdampak pada program rujukan dan rehabilitasi daerah. Karena itu, Hj Leni Haryati John Latief mendorong pemerintah daerah memperkuat kolaborasi lintas sektor, termasuk dunia usaha dan lembaga sosial.
“Fondasi regulasi sudah kuat, inisiatif daerah berjalan, dan kesadaran sosial mulai tumbuh. Kini saatnya sinkronisasi kebijakan dan konsistensi pelaksanaan agar Bengkulu menjadi pelopor layanan kesehatan jiwa yang keren di Indonesia,” tutup Hj Leni Haryati John Latief. [**]
