Oleh : Arifah Syafitri Azzahra, S.H – Mahasiswa Magister Hukum & Dr Herlita Eryke, S.H., M.H Ketua Magister Hukum. Fakultas Hukum Universitas Bengkulu
Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM kembali menegaskan komitmen untuk mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Langkah ini dianggap sebagai respons terhadap desakan publik yang kian kuat untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi dan mengembalikan kerugian negara.
Namun, di balik semangat antikorupsi yang digembar-gemborkan, muncul pertanyaan mendasar: apakah RUU ini benar-benar menjadi jawaban atas kebuntuan penegakan hukum, atau justru menyimpan potensi pelanggaran terhadap prinsip keadilan dan hak asasi manusia?
Langkah Progresif yang Sarat Risiko
RUU Perampasan Aset disebut sebagai terobosan hukum karena memperkenalkan konsep non-conviction based asset forfeiture — mekanisme perampasan aset tanpa harus menunggu putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Artinya, negara dapat menyita dan merampas aset seseorang jika terdapat dugaan kuat bahwa aset tersebut berasal dari tindak pidana, meski pelaku belum dijatuhi hukuman.
Sekilas, mekanisme ini terlihat efisien. Selama ini, proses hukum konvensional membuat banyak aset hasil korupsi sulit dilacak, bahkan hilang sebelum putusan dijatuhkan. Dengan mekanisme baru, negara diharapkan bisa lebih cepat mengambil tindakan.
Namun, efisiensi tidak boleh mengorbankan prinsip keadilan. Sebab, hukum pidana Indonesia dibangun di atas asas presumption of innocence — setiap orang dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya di pengadilan. Jika negara diberi kewenangan untuk merampas aset tanpa melalui proses pidana yang utuh, maka potensi penyalahgunaan kekuasaan menjadi sangat besar.
Antara Cepat dan Adil: Dilema Penegakan Hukum
Dalam konteks praktik hukum, RUU Perampasan Aset menciptakan dilema serius antara kecepatan dan keadilan. Pemerintah berargumen bahwa mekanisme ini akan mempercepat pengembalian kerugian negara. Namun, kecepatan bukanlah ukuran utama dalam negara hukum.
Bayangkan jika seseorang menjadi korban salah sangka, dan asetnya dirampas tanpa proses pembuktian pidana yang memadai. Dampaknya bukan hanya pada individu tersebut, tetapi juga pada kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Hukum yang terburu-buru bisa menjelma menjadi instrumen ketidakadilan yang dilegalkan.
RUU ini harus menjawab satu pertanyaan penting: bagaimana memastikan bahwa hak-hak dasar warga negara tetap terlindungi ketika negara diberikan kekuasaan luar biasa untuk menyita aset?
Masalah Yuridis dan Kelembagaan
RUU ini juga menyisakan persoalan kelembagaan. Draf yang beredar menempatkan Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengeksekusi perampasan aset. Namun, pembagian peran ini belum memiliki garis koordinasi yang tegas.
Tanpa kejelasan, RUU ini justru berpotensi memperlebar ruang konflik antar lembaga penegak hukum. Indonesia sudah terlalu sering menghadapi “ego sektoral” dalam penanganan kasus besar — dari sengketa kewenangan penyidikan hingga perbedaan tafsir hukum. Jangan sampai RUU yang dimaksudkan untuk memperkuat negara justru menambah kekacauan kelembagaan.
Selain itu, pengelolaan aset yang telah dirampas juga perlu mendapat perhatian serius. Aset sitaan bernilai besar harus dikelola secara transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan publik. Tanpa sistem pengawasan yang kuat, bukan tidak mungkin terjadi “korupsi baru” dalam pengelolaan aset hasil perampasan.
Politik Hukum: Jangan Hanya Mengejar Simbol Antikorupsi
Dari perspektif politik hukum, pembentukan RUU Perampasan Aset mencerminkan kehendak negara untuk menunjukkan ketegasan terhadap korupsi. Namun, ketegasan yang tidak dibarengi kehati-hatian bisa menjelma menjadi otoritarianisme hukum.
RUU ini seharusnya tidak hanya menjadi simbol “ketegasan pemerintah”, melainkan bukti bahwa negara mampu menyeimbangkan antara kekuasaan dan perlindungan hak warga. Prinsip due process of law harus tetap menjadi fondasi utama. Negara hukum sejati tidak boleh hanya mengutamakan hasil, tetapi juga menjamin bahwa proses hukum berjalan adil dan terbuka.
Karena itu, penting bagi pembuat undang-undang untuk membuka ruang partisipasi publik, melibatkan akademisi, dan mengundang masukan dari masyarakat sipil. Pembahasan RUU ini tidak boleh dilakukan secara tertutup atau terburu-buru hanya demi memenuhi tuntutan politik sesaat.
Keadilan yang Tidak Boleh Dikorbankan
Pemberantasan korupsi adalah kewajiban moral dan konstitusional. Namun, melawan korupsi dengan cara yang melanggar prinsip keadilan sama saja menciptakan ketidakadilan baru.
RUU Perampasan Aset harus berdiri di atas prinsip keseimbangan antara hak negara dan hak warga negara — bukan menjadi alat legitimasi perampasan kekayaan pribadi tanpa dasar hukum yang kuat.
Keberanian negara untuk bertindak tegas memang penting, tapi keberanian untuk tetap adil jauh lebih penting. Sebab pada akhirnya, yang kita perjuangkan bukan hanya uang negara yang kembali, tetapi juga tegaknya kepercayaan publik terhadap hukum itu sendiri.
Penutup
RUU Perampasan Aset adalah peluang bagi Indonesia untuk memperkuat sistem hukum dan menutup celah bagi koruptor. Namun, peluang itu hanya akan berarti jika dijalankan dengan prinsip kehati-hatian, transparansi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Hukum yang kuat bukanlah hukum yang cepat menghukum, tetapi hukum yang mampu menjaga keadilan bagi semua pihak. Dalam semangat antikorupsi, jangan sampai kita membangun sistem hukum yang justru melahirkan ketakutan baru di tengah masyarakat.
