Oleh : Arifah Syafitri Azzahra, S.H – Mahasiswa Magister Hukum & Dr Herlita Eryke, S.H., M.H Ketua Magister Hukum. Fakultas Hukum Universitas Bengkulu
Reformasi tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diwujudkan melalui pengesahan Undang-Undang BUMN baru pada Oktober 2025 menandai momentum penting untuk memperbaiki sistem pengelolaan BUMN agar lebih profesional, efisien, dan akuntabel.
Perubahan besar ini diharapkan mampu meningkatkan transparansi, independensi, dan efisiensi manajemen BUMN, serta memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap peran strategis badan usaha milik negara dalam pembangunan nasional. Namun demikian, transformasi ini tidak lepas dari tantangan serius — terutama terkait kepastian hukum, budaya organisasi, dan konsistensi implementasi kebijakan — yang perlu dikritisi secara mendalam agar reformasi tidak berhenti di tataran simbolik semata.
Struktur Baru BUMN: Peluang dan Kecemasan
Pembentukan Badan Pengelola BUMN (BP BUMN) yang menggantikan sebagian fungsi Kementerian BUMN menandai langkah ambisius untuk melepaskan BUMN dari dominasi politik dan menciptakan tata kelola yang lebih korporat. Namun muncul kekhawatiran, apakah BP BUMN benar-benar dapat menjalankan perannya secara independen tanpa intervensi politik yang selama ini kerap memengaruhi pengambilan keputusan strategis? Tanpa perubahan budaya politik dan birokrasi yang mendasar, reformasi struktural ini berisiko menjadi perubahan kosmetik — sekadar mengganti label tanpa memperbaiki sistem nilai dan moralitas di dalamnya.
Pilar Hukum yang Harus Tegak
Dari sudut pandang hukum, reformasi BUMN harus berlandaskan pada sistem norma yang kokoh. Dasar hukumnya berpijak pada sejumlah peraturan perundang-undangan, di antaranya:
- UUD 1945 Pasal 33, yang menegaskan bahwa BUMN merupakan instrumen negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
- UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, sebagai payung hukum utama yang kini direvisi untuk menyesuaikan tuntutan zaman.
- UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menegaskan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara.
- UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Kekuasaan Kehakiman, yang memperkuat peran pengawasan yudisial terhadap kebijakan publik.
- Peraturan Pemerintah dan regulasi turunan yang menjadi instrumen pelaksanaan operasional BP BUMN.\
Legitimasi hukum yang kuat tidak hanya bergantung pada pembentukan regulasi baru, tetapi juga pada proses legislasi yang transparan dan partisipatif. Jika aspek ini diabaikan, maka reformasi berpotensi menghadapi gugatan konstitusional atau bahkan krisis legitimasi di mata publik.
Pengawasan Independen untuk Akuntabilitas
Salah satu pilar utama reformasi ini adalah penguatan mekanisme pengawasan dan audit keuangan BUMN. Kebijakan untuk mengembalikan fungsi audit BUMN kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagaimana diatur dalam UU No. 15 Tahun 2006, merupakan langkah strategis memperkuat prinsip rule of law dalam pengelolaan keuangan negara.
Selain itu, larangan rangkap jabatan bagi pejabat negara yang duduk sebagai komisaris atau direksi di BUMN menjadi kebijakan progresif dalam mencegah konflik kepentingan (conflict of interest) dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Namun, keberhasilan reformasi ini sepenuhnya ditentukan oleh konsistensi penegakan hukum. Tanpa sanksi tegas dan pengawasan yang independen, setiap kebijakan hanya akan menjadi retorika tanpa kekuatan korektif.
Perlindungan Hukum di Tengah Transformasi
Transformasi tata kelola BUMN tidak boleh mengabaikan aspek perlindungan hukum bagi seluruh pemangku kepentingan, baik internal maupun eksternal.
- Karyawan dan direksi harus dijamin perlindungan hukumnya agar setiap keputusan bisnis yang diambil sesuai dengan ketentuan hukum dan dapat dipertanggungjawabkan.
- Masyarakat dan konsumen berhak memperoleh akses terhadap informasi yang transparan serta perlindungan hak sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dengan demikian, hukum bukan hanya menjadi perangkat administratif, tetapi juga instrumen keadilan sosial di tengah proses transformasi ekonomi negara.
Hambatan dan Inkonistensi Implementasi
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa tantangan terbesar reformasi ini terletak pada implementasi hukum dan konsistensi birokrasi. Budaya hukum yang belum matang, lambannya penerbitan peraturan pelaksana, serta mentalitas pejabat yang masih melihat jabatan BUMN sebagai “perpanjangan politik” menjadi hambatan serius.
Menurut berbagai putusan Mahkamah Konstitusi, penegakan hukum yang tegas dan tidak diskriminatif merupakan syarat mutlak bagi efektivitas reformasi kelembagaan negara. Tanpa komitmen terhadap prinsip ini, transformasi BUMN akan sulit menghasilkan perubahan yang substansial.
Kesimpulan: Membangun Reformasi di Atas Kepastian Hukum
Keberhasilan reformasi tata kelola BUMN tidak dapat diukur semata dari struktur baru atau regulasi yang disahkan. Kuncinya terletak pada penegakan hukum yang konsisten, pembentukan budaya organisasi yang berintegritas, dan keberanian moral dalam menolak intervensi kepentingan.
Hukum harus menjadi kompas utama dalam setiap pengambilan keputusan strategis di BUMN, bukan sekadar alat legitimasi, tetapi fondasi moral dan operasional. Jika prinsip-prinsip ini ditegakkan, reformasi akan menjadi momentum besar dalam menghadirkan BUMN yang profesional, bersih, dan berpihak kepada kepentingan rakyat.
Namun jika diabaikan, reformasi ini berisiko menjadi sekadar perubahan nama tanpa makna. Oleh karena itu, keadilan, transparansi, dan akuntabilitas harus menjadi napas utama dalam setiap langkah pembenahan tata kelola BUMN di Indonesia.
