Oleh : Dr. H. Rolly Gunawan, S.Sos.I. M.HI
Tersebutlah suatu daerah dengan nama Bukit Dewata menurut keterangan dan juga yang tersurat pada kulit - kulit kayu kaghas (bebue).
Diceritakan selanjutnya bahwa, Bukit Dewata tersebut dipergunakan orang untuk tempat bertapa dan pada umumnya orang - orang yang datang, dari jauh, bila mereka bertemu satu sama lainnya secara spontan mereka selalu menyebutkan "na-ngalas", yang artinya ialah mengasingkan diri, akhirnya Bukit Dewata juga dikenal dengan nama Bukit Nanglas, hingga saat ini Bukit Nanglas (Bukit Dewata) masih sangat terkenal.
Bukit Dewata tersebut menurut naskah Batanghari Sembilan didiami oleh lima orang dewa (orang suci), daerah tersebut berada pada perbatasan antara Kabupaten Ogan Komering Ulu dengan Kabupaten Lematang Ilir Ogan Tengah, ke lima orang dewa tersebut dalam naskah disebut berasal dari Jawa Dhipa pada bahasa Sansekerta yaitu bahasa kuno yang digunakan bangsa India Belakang yang berarti 'Pulau Padi' atau Nusakendeng.
Perkiraan tahun 1035 Masehi, maka terjadilah banjir besar, maka Bukit
Dewata dilanda air bah yang sangat dahsyat, sehingga binasalah apa saja diatas Bukit tersebut, namun demikian diantara nya masih ada yang dapat menyelamat kan diri dan di antaranya
ialah, Sangyang Dharma Tama beserta seorang adiknya perempuan
yang bernama Merindu Sari, keturunan dari Dewa Sangyang
Agung Tungga, Sangyang Balla Gutta, keturunan dari Dewa Sangyang Surya Manca, Sangyang Dharma Arima, keturunan dari Dewa Sangyang Bayu Satwa, Sangyang Gama Sakti, keturunan dari Dewa Sangyang Arimbi Lima, Sangyang Birawa Gora, keturunan dari Dewa Sangyang Arca Pada.
Masing -masing mereka itu bersebar mencari tempat - tempat dan daerah - daerah yang mereka anggap aman salah satu diantaranya adalah Sangyang Birawa Gora, yang menyebar sampailah ke daerah Gunung Bungkuk di Bangkahulu (Bengkulu)
dan Sekala Berak (daerah Lampung), tokoh inilah yang menyebarkan keyakinan Hindu dimulai pada dua daerah tersebut (Bengkulu dan Lampung)
Sekitar tahun 1200 Masehi, mereka itu hidup mengembara berkelompok dan kadang-kadang mereka menetap di hutan-hutan belantara serta mereka belum mengenal bercocok tanam, siapa yang
kuat dialah yang berkuasa, walaupun demikian mereka tetap saling membantu dalam menghadapi segala hal terutama sekali jika terancam bahaya. Baru pada tahun 1209 Masehi mereka hidup berkembang biak, hidup secara berkelana dan berkelompok, untuk menghindari ancaman mereka mendirikan kute - kute (benteng) atau suatu tempat yang dipagari dengan tanaman hidup, seperti bambu, pinang, dan kayu-kayu besar, sebagai tempat berlindung dan selanjutnya barulah peradaban awal dimulau dengan membuat talang - talang dan dusun - dusun.
Masuknya pengaruh Islam dimulai pada abad ke-7 Masehi,
yaitu dalam tahun 674 M, tahun 675 M, telah ada utusan dari raja Arab ialah yang disebut oleh orang Tionghoa "Tache" ia berkunjung ke Tanah Jawa menziarahi Kerajaan Kalinga di jaman pemerintahan raja Hindu. Menurut keterangan yang dapat dikumpulkan, ternyata bahwa yang dimaksud dengan ""Tache" itu ialah tiada lain
dari "Muawiyah" yaitu salah satu sahabat Baginda Rasulullah SAW yang merupakan salah seorang juru tulis Nabi. Rupanya dengan menyamar sebagai salah seorang pedagang,
utusan itu telah masuk ke Tanah Jawa dengan maksud utama,
menyelidiki agama dan kekuatan Kerajaan Kalinga, setelah ternyata kekuatan Hindu sangat kuat. Pada permulaan abad ke-7
Masehi, telah ada orang-orang Arab dan Parsi masuk ke Tanah Jawa
(Jawa Timur), yang terang bahwa umat Islam telah ada di situ dalam kekuasaan Kerajaan Hindu Jenggala.
Pada tahun 1292 Masehi, orang Barat pertama yang datang di Indonesia ialah Marco Polo, menceritakan bahwa di Aceh telah terdapat orang-orang Islam dan agama Islam telah mulai berpengaruh
di Sumatra (Samudra Pasei) dengan sultannya yang pertama ialah
Sultan Malik As Saleh dan ia wafat pada tahun 1297 M, maka sejak itulah agama lslam berkembang dengan pesat sekali, terbukti syiar dakwah Islam sampai ke negeri Bangkahulu melalui Syaikh Malin Mukidim pada Tahun 1318, telah berhasil mengislamkan Ratu Agung Baladewa Raja Pertama Bengkulu yaitu Raja Kerajaan Sungai Serut di Bangkahulu Tinggi, mulai saat itulah dakwah syiar Islam masuk di kerajaan awal Bangkahulu, melalui Syaikh Malin Mukidim Ulama dari Aceh, sezaman dengan para ulama lainnya yakni, Syaikh Angkasa Ibrahim Papa, Syaikh M. Said Syah Alam, Syaikh Jalaluddin, Syaikh Nuril Ikhwan
Kerajaan Pertama di Negeri Bangkahulu Tinggi yakni Kerajaan Sungai Serut yang dipimpin oleh seorang Raja bergelar Ratu Agung Bala Dewa periode tahun 1274 Masehi - 1350 Masehi, yang menurut naskah Tembo Bangkahoeloe berasal dari Tanah Majapahit (sekarang), Beliau memiliki anak tujuh orang bersama Istrinya Putri Dara Puti seorang putri melayu. Anak yang pertama bernama Raden cili (anak sulung), kemudian Manuk Mincur, Lemang Batu Tadjuk Rompong, Rindang Papan, Anak Dalam Muaro Bangkahoeloe dan anak bungsunya bernama Putri Gading Cempaka dikenal dengan beberapa gelar yakni Putri Rendung Nipis atau Putri Ratna Buih.
Tahta Kerajaan Sungai Serut Bangkahulu Tinggi didaerah Pasar Bangkahulu pesisir Pantai Barat Sumatra pulau perca ini selanjutnya diwarisi oleh Anak ke enam beliau yaitu Anak Dalam Muaro Bangkahulu periode Tahun 1350 masehi - 1370 Masehi
Putri Gading Cempaka dari Gunung Bungkuk menikah dengan seorang keluarga bangsawan dari Pagaruyung, yaitu Sultan Baginda Maharaja Sakti, menjadi raja Sungai Lemau tahun 1370 M - 1392 M, beliaulah yang telah menjadi pintu penguat syiar dakwah Islam di Bangkahulu serta mendudukan Adat dengan Lembaga di Negeri Bangkahulu masa itu, 'Adat yang dipakai, Lembaga yang dituang', 'Air mengarus ilir, Adat mengarus Mudik' maka dibuatlah Cupak dan Gantang, ukuran dan timbangan, berdirilah Bangkahulu dengan adatnya, berdirilah keadilan dan makmur, rakyat bertambah, beras murah dan padipun menjadi jadi (sawah), setelah itu ditetapkan batas kerajaan Sungai Lemau Bengkulu dengan Kerajaan Indrapura yaitu batas utara dari 'Taratak Air Hitam' sampai ke 'Bukit Barisan' sedangkan sebelah selatan dari 'Air Lempuing' sampai ke Bukit Barisan, dan disebelah Timur yakni dari Bukit Barisan sampai ke perbatasan Palembang.
Kemudian lahir Anak dari Maharajo Sakti dengan Putri Gading Cempaka yang pertama adalah Arya Bakau periode tahun 1392 M - 1415 M, menjadi penerus Raja di Sungai Lemau, kemudian selanjutnya beliau menetap di daerah Selebar dengan diberikan wilayah kerajaan Sungai Lemau hingga sampai ke 'Tapak Jedah'. Pada masa beliaulah datang dua orang (suami istri) berasal dari daerah 'Rupit' dan memohon menumpang tanah bumi tinggal di Bengkulu tetapi dengan permintaan jangan dibawah perintah Pasirah Empat itu, dengan alasan mereka di daerah Rupit adalah juga keturunan Pasirah, maka mereka memohon langsung dibawah raja Sungai Lemau, atas perkenan raja maka dimulailah peradaban 'Marga Bang Haji', karena Aji bermakna Pemimpin, dan tidak dibawah pemerintahan Rejang Empat Petulai melainkan sejajar. Kemudian setelah Arya Bakau wafat maka dijemput kembali oleh perowatin kembali dimakamkan di Bengkulu.
Pewaris kerajaan selanjutnya diteruskan dengan anaknya bernama Arya Kaduk periode tahun 1415 M - 1450 M, yang makamnya di daerah 'Karang Air', kemudian wafat digantikan anaknya yaitu Tuanku Baginda Arya Lemuddin tahun 1440 M - 1480 M. Dimasa beliaulah yang memindahkan kerajaan dengan membuat dusun disebelah Kuala Sungai Lemau sebelah selatan yang dikenal masyarakat masa itu disatu tanah bernama 'Gajah Mengeram', Kepala menghadap ke hulu sungai, ekornya ke hilir dan kiri kanannya ada terdapat sungai. Dimasa tuanku baginda Arya Lemuddin pulalah yang membangun mendirikan 'Balai Buntar' yang bertiang Kayu Gaharu, berlantai Kayu Cendana, berkasau Tulang Ikan, beratap Rambut (ijuk) bertukang orang tujuh, Balai selesai, tulang pun dibunuh dimakamkan menjadi satu.
Setelah Arya Lemadin wafat dilanjutkan anaknya bernama Tuanku Baginda Balai Buntar tahun tahin 1480 M - 1511 M, lalu dilanjutkan anaknya bernama Tuanku Baginda Sebayam (Syah Alam) tahun 1511 M - 1533 M, yang dimakamkan di Dusun Sukarami Marga Juru Kalang.
Dimasa kepemimpinannya beliau memelihara Hulubalang 40 (empat puluh) orang - orang pilihan dan sakti, beliau mengangkat dan melindungi Patih Singaran Pati alias Iswanda yang berasal dari Lembak Beliti Taba Pingin Palembang, bersumoah setia kepada Baginda Sebayam karena sangat berbakti dan patuh, perangainya menurut adat yakni 'hamba dengan tuan dipanggil datang, disuruh, pergi dan ditengah, diam', sehingganya diangkat oleh Baginda Sebayam, anak satu menjadi dua, anak dua menjadi tiga, seburuk sebaik dengan cucu Baginda Sebayam, dan bersumpah setia dengan seberat beratnya , sekali kali tidak boleh lancung aniya kedua belah pihaknya, siapa yang mungkir janji akan dimakan sumpah, dikutuk bisa kawidikutuk Al Qur'an 30 Juz jatuhlah murka Allah dengan seberat beratnya, kalau hilang sama dicari, terbenam sama sama diselam, selama air hanyut, selama gagak hitam, tidak lapuk dihujan dan tidak lekang dipanas selama lamanya. Kemudian diberi wilayah oleh baginda Sebayam sebuah dusun di Pungguk Beriang pinggir sungai itam yang diberi gelar Rajo Sungai Hitam.
Wafatnya Baginda Sebayam lalu dilanjutkan anaknya Baginda Senanap (Paduka Baginda Muda) tahun 1533 M - 1565 M, kemudian datang seorang Ahli Ibadah (ulama) dari Taba Pingin bernama Abdul Syukur nantinya menjadi nenek moyang orang-orang dari desa Pagardin yang menyebarkan Dakwah Islam diwilayah Iswanda tersebut, raja Sungai Hitam sampai ke Lembak Delapan, dan Abdus Syukur tersebut yang oleh masyarakat setempat lebih dikenal bergelar Tuan Tuwe.
Setelah wafatnya Baginda Senanap digantikan oleh anaknya bernama Tuanku Baginda Kembang Ayun tahun 1565 M - 1580 M, setelah Baginda Kembang Ayun wafat maka dilanjutkan oleh anaknya Tuanku Baginda Burung Binang tahun 1580 M - 1617 M, dimasa beliau inilah datang dua orang suami istri, sang suami berbahasa Rejang sedangkan istrinya dengan bahasa Lembak yang memohon tanah bumi dan menetap maka dikaruniai oleh Baginda daerah yanah di 'Kuala Air Palik' dengan persembahannya 'seekor kerbau bertali rambut diikat di batang Cekur dihalaman kediaman Tuanku Baginda Burung Binang dan diangkat oleh beliau menjadi 'Pembarap' tetapi tidak dibawah Pasirah melainkan Pembarab dibawah raja yang sama kedudukannya dengan Pasirah dan merekalah asal mula nenek moyang orang - orang 'Lubuk Pinang'. Dan dimasa beliau pula datang kerabat Iswanda (Raja Sungai Hitam) datang dari 'Muara Lakitan' dan dianugerahi oleh baginda tanah dipinggir Sungai Bengkulu disebelah kanan Mudik dan disebelah hulu hingga 'Air Lapur', mereka inilah nantinya yang menjadi nenek moyang orang - orang 'Perowatin Dua Belas Tepi Air'. Diperiode ini juga tertulis kisah Datangnya raja dari yang berniaga 'Emas' di Bengkulu hingga disamun (rampok) orang, raja tersebut akhirnya tewas dan emasnya diambil, akan tetapi saat emasnya dilihat penyamun emas tersebut menjadi urai semua dan darah raja Ondrapura yangvtewas tersebut menjadi berwarna putih, maka Raja tersebit dimasukan kedalam keranda untuk dibawa pupang ke Indrapura maka dari situlah dinamakan 'Tuanku Berdarah Putih' air sunga didaerah tersebut disebut masyarakat Sungai Urai dan Raja Indrapura dengan gelar Tuanku Berdarah Putih tersebut dimakamkan diantara daerah 'Suka Merindu dan Kampung Bali' saat itulah disebut masyarakat Air Retak dikarenakan keranda yangvsudah retak, setelah wafatnya Tuanku Baginda Burung Binang maka dibawa dimakamkan diseberang Dusun Kederas Lama.
Kemudian selanjutnya pewaris Tuanku Baginda Burung Binang diteruskan oleh anaknya Tuanku Baginda Sukabila periode tahun 1617 M - 1640 M, pada masa tuanku inidatang dua orang dari 'Rupit' dan satunya dari 'Kaoer' berbarengan kedatangannya di Bengkulu dengan memohon meminta lahan untuh berladang kepada Tuanku, maka diberi oleh Tuanku Baginda Sukabila kepada orang Ruoit tersebut lahan di daerah 'Bukit Kabu' dan temoat itu dikenal dengan 'PAGAR ALAM' yakni pemagar alam Bengkulu daerah inilah kemudian menjadi daerah nenek moyangorang Pagar Alam sampai ke Semidang Bukit Kabu dengan semua warga didaerah tersebut, sedangkan orang dari Kaoer tersebut diberi lahan oleh Tuanku didaerah dipinggir 'Air Mentawai', daerah ini pula nantinya menjadi daerah nenek moyang orang-orang 'Kota Nyiur, Tanjung Genting dan Napal Hujan Emas'.
Kemudian setelah baginda Sukabila wafat kembali dilanjutkan anaknya bernama 'Patih Bangun Negara' tahun 1640 M - 1650 M, yang pada masa beliau ada dari kaumnya bergelar 'Kemala Bendar' yang membuat talang dipinggir Air Kerkap dan diberi oleh Patih, kerbau dan kambing, dan daerahvtersebut disebut Kerkap, kemudian anak cucu bertambah banyak maka ia membuat dusun disana, dan disebut dengan 'Marga Semitul' yang nantinya menjadi nenek moyang orang-orang Kerkap dan Sungai Pinang.
Setelah Patih Bangun Negara wafat maka kemudian dilanjutkan oleh anaknya bernama Tuanku Patih Bangsa Raja (Pangeran Raja Muda) tahun 1650 M - 1686 M beliau bersama Putri Dayang Emas Ratu berlayar ke Banten, beliau pulalah yang mengundang Kompeni Inggris ke Bengkulu yang dijembatani dengan Sultan Banten, setelah pulang ke Bengkulu maka datanglah ornga-orang inggris ke Bengkulu dikuala sungai dan disongsong denganTuanku Pangeran Raja Muda dan Depati Khalifah Raja Sungai Itam dan tahun 1616 sudah datang pula orang-orang Belanda ke Bengkulu, disinilah nantinya timbul perpecahan dan konflik antara raja Banten, Raja Bengkulu dan dengan orang-orang EIC Inggris dengan VOC Belanda.
Kemudian setelah Tuanku Raja Muda wafat selanjutnya digantikan oleh anaknya yang bernama Pangeran Mangkuraja tahun 1686 M - 1720 M yang telah berupaya membentuk Penghulu Empat dengan gelar Datuk di wilayah Pasar Bangkahulu.
Di zaman Mangkuraja inilah datang seseorang dari Indrapura yaitu Sutan Balinam, beliau adalah seorang turunan bangsawan dari Suku Bugis negeri Wajok sulawesi yg bergelar Daeng Mabella, anak dari Limpuana (Daeng Makrufah) dari saudara kandung dari Raja Bugis Wajo.
Anak dari Daeng Mobela yaitu bernama Daeng Makule, yang menikah dengan anak Pangeran Mangkuraja yg bernama Datuk Nyai, dianugerahi kepada mereka wilayah Tanah Merah, area Pendakian, Pasar Pantai, Pasar Bengkulu, Sukamerindu, dan Jembatan Air Nibung (anak air di bawah Pondok Besi) yang kesemuanya tersebut dalam wilayah Padang Tengah atau Tengah Padang.
Pasca tuanku Mangkuraja wafat kepemimpinan beliau diteruskan oleh anaknya Pangeran Muhammad Syah dan setelah wafat lalu digantikan anaknya bernama Pangeran Linggang Alam.
Pangeran Linggang Alam tinggal tidak jauh dari Pasar Bengkulu yang sering disebut BUKIT. Dahulu lebih dikenal dengan nama Bukit Atjeh atau nama tuanya daerah Atas Angin itu di Bukit masuk lokasi Kampung Kelawi, wilayah Bangkahulu Tinggi salah satu tempat yang menjadi lokasi pemakaman umum sampai sekarang dan berdekatan juga dengan pemakaman Ratu Agung bernama Keramat Batu Menjolo.
Sebagai Catatan bahwa:
Bangsa Melayu Bengkulu di Pimpin oleh Rajo Sungai Serut, Ratu Agung yang dilanjutkan oleh Putra beliau bernama Anak Dalam
Bangsa Redjang dikepalai oleh Rajo Sungai Lemau (Baginda Maharajo Sakti)
Bangsa Lembak dikepalai oleh Tuanku Rajo Sungai Itam (Iswanda)
Bangsa Serawai dikapalai oleh Tuanku Selebar (Depati Payung Negara).
Penulis adalah Budayawan dan Pemerhati Sejarah Bengkulu
