Atas dorongan Presiden Prabowo Subianto, Pemerintah bersama DPR baru saja menyepakati perubahan kelembagaan, di mana Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) akan ditingkatkan statusnya menjadi Kementerian Haji dan Umrah. Alasannya, agar urusan haji dan umrah lebih fokus serta tidak lagi berada di bawah Kementerian Agama. Langkah ini tentu akan dipandang sebagian pihak sebagai bentuk perhatian serius negara terhadap penyelenggaraan ibadah umat Islam, khususnya haji dan umrah.
Namun, ada hal yang patut menjadi renungan mendalam: apakah perhatian itu sudah ditempatkan pada prioritas yang benar?
Dalam ajaran Islam, sholat adalah tiang agama. Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menegaskan bahwa amalan pertama kali yang akan dihisab di hari kiamat adalah sholat. Jika sholatnya baik, maka amal yang lain akan mengikuti kebaikannya. Maka, sebelum negara terlalu jauh memfokuskan diri pada urusan haji dan umrah, seharusnya ada perhatian yang lebih serius terhadap pelaksanaan sholat umat Islam di tanah air.
Realita hari ini, tidak sedikit kaum muslimin dan muslimah yang masih abai terhadap sholat, baik karena kesibukan duniawi maupun kurangnya kesadaran. Banyak masjid dan mushala yang kosong di waktu-waktu sholat, sementara pusat hiburan, kafe, dan mal justru ramai. Fenomena ini seharusnya lebih dahulu menjadi kegelisahan bersama. Apa artinya ada Kementerian Haji dan Umrah, bila umat Islam sendiri belum kokoh mendirikan sholat sebagai pondasi iman?
Haji dan umrah memang ibadah mulia, bahkan menjadi rukun Islam. Tetapi, syariat menempatkannya setelah sholat, zakat, dan puasa. Tidak semua umat Islam diwajibkan berhaji, karena adanya syarat kemampuan. Berbeda dengan sholat yang wajib atas setiap muslim dan muslimah tanpa kecuali, lima kali sehari semalam, sepanjang hayat.
Karena itu, perhatian pemerintah seharusnya tidak hanya diarahkan pada pembentukan kementerian baru yang cenderung administratif, tetapi juga pada gerakan besar menegakkan sholat di tengah umat. Misalnya, kebijakan yang memudahkan pekerja melaksanakan sholat tepat waktu, program kesadaran sholat berjamaah di lingkungan sekolah, kantor, hingga ruang publik. Bahkan, semestinya pemerintah berperan dalam membangun iklim sosial yang menempatkan sholat sebagai identitas utama bangsa yang mayoritas muslim.
Kementerian Haji dan Umrah mungkin akan menjawab sebagian kebutuhan umat, tetapi jangan sampai umat ini terjebak pada kesibukan mengejar ibadah yang hukumnya tidak wajib bagi semua, sementara ibadah yang paling mendasar justru diabaikan. Sholat adalah pondasi, haji dan umrah adalah penyempurna.
Sudah saatnya para pengambil kebijakan menata ulang prioritas, agar arah pembangunan keagamaan di negeri ini tidak hanya mengurusi perjalanan jauh ke tanah suci, tetapi terlebih dahulu memastikan bahwa seluruh muslim di tanah air menegakkan sholat sebagai tiang agama.
